MK Meminta Pemerintah Jelaskan Kriteria Pemblokiran Akses Internet
Hakim konstitusi dalam sidang uji materi UU ITE menanyakan kriteria yang diterapkan pemerintah untuk memutus akses internet di suatu wilayah. Tanpa ada kriteria tertentu, maka ada ruang penyalahgunaan wewenang.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi meminta pemerintah, yang diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, menjelaskan kriteria yang ditetapkan sebelum pemerintah memutuskan memadamkan internet (internet shutdown) di Papua, dan Papua Barat tahun 2019. Mahkamah menilai, kriteria tersebut penting untuk dijelaskan kepada publik agar tidak terjadi potensi penyalahgunaan wewenang.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Arnoldus Belau, wartawan dari situs berita suarapapua.com, mengajukan uji konstitusionalitas Pasal 40 Ayat (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal itu mengatur tentang pemblokiran internet untuk mencegah informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Perkara uji materiil itu tercatat bernomor 81/PUU-XVIII/2020. Uji materi diajukan setelah terjadi pemadaman internet di Papua, dan Papua Barat tahun 2019. Selain pemadaman internet di wilayah tersebut, situs berita suarapapua.com juga diblokir karena dianggap menyebarkan konten separatisme.
Hakim konstitusi Suhartoyo, dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR, Selasa (17/11/2020), menanyakan, apa saja kriteria yang diterapkan pemerintah untuk memutus akses internet di suatu wilayah. Di Pasal 40 Ayat 2 (b) UU ITE disebutkan, pemerintah berwenang melakukan pemutusan dan atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.
Menurut Suhartoyo, kriteria-kriteria tersebut seharusnya ada dalam produk administrasi pemerintahan. Tanpa ada kriteria tertentu itu, apalagi jika kebijakan bersifat diskresi, ada ruang terjadi penyalahgunaan wewenang.
”Tolong kami diberi kriteria-kriterianya dalam konteks apa pemblokiran itu dilakukan? Dan, dalam kriteria seperti apa yang kemudian harus ada produk administrasi pemerintahan dulu. Ini sebagai konsekuensi dihadapkannya UU ITE dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” kata Suhartoyo.
Hakim konstitusi Saldi Isra menanyakan hal yang sama. Saldi mengatakan, dalam kasus pemblokiran internet di Papua, apakah ada langkah yang dilakukan pemerintah sebelum memutuskan internet. Selain itu, dia menanyakan apakah langkah tersebut dituangkan dalam kebijakan tertulis.
”Hal itu harus dijelaskan agar pemohon mengetahui tahapan yang dilakukan pemerintah sebelum memblokir internet. Sebab, hal itu berkaitan dengan petitum yang diajukan pemohon,” katanya.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 40 Ayat 2 (b) UU ITE karena bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tak dimaknai dengan frasa setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara tertulis.
”Pemohon meminta agar sebelum akses internet ditutup, dilakukan dengan produk yang berbentuk tertulis. Pemohon meminta agar jika ada lagi tindakan seperti itu, ada kepastian hukum,” kata Saldi.
Hakim konstitusi Aswanto menambahkan, pemblokiran internet yang dilakukan secara serta-merta tanpa kriteria yang jelas berpotensi menjadi sebuah tindakan sewenang-wenang. Di UUD 1945 pun, banyak diatur norma yang berkaitan dengan hak asasi manusia, termasuk hak untuk bebas menyatakan pendapat. Pemerintah harus bisa menjamin dan memenuhi hak warga negara tersebut.
”Apa argumen yang dijadikan dasar bahwa pemblokiran secara serta-merta itu tidak merupakan sebuah kesewenang-wenangan?” kata Aswanto.
Tindakan yang cepat
Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan, berdasarkan UU ITE, pemerintah memiliki kewajiban menjaga ruang digital agar tetap kondusif dan tidak melanggar hukum. Pada era digital, semua tindakan yang dilakukan oleh pemerintah ada dokumennya, tetapi dalam bentuk digital.
Contohnya adalah permintaan untuk melakukan pemblokiran internet yang dilakukan secara digital. Sebelum internet diblokir, tim dari Kominfo melakukan evaluasi forensik apakah informasi atau dokumen elektronik tertentu melanggar hukum. Tim harus mengumpulkan bukti digital konten apa yang melanggar serta aturan hukum apa yang dilanggar. Apabila konten tersebut dinyatakan melanggar hukum dan diblokir, akan diumumkan resmi di laman Kominfo.
”Di website resmi Kominfo itu selalu ada informasi siapa saja yang diblokir, kapan saja diblokirnya, ada. Kami tidak pernah menyembunyikan apa yang diblokir,” kata Samuel.
Samuel juga mengatakan, pengajuan pemadaman internet, apabila ada konten yang melanggar, selalu didahului dokumen resmi pemerintah kepada penyelenggara sistem informasi elektronik (Kominfo). Namun, permintaan itu juga kerap diajukan dalam bentuk dokumen kebijakan digital. Sebab, karakteristik informasi elektronik atau dokumen elektronik bergerak tanpa kenal batas, tempat, dan waktu.
Oleh karena itu, pemerintah juga harus mencegah penyebarluasan muatan yang dilarang dengan tindakan cepat, bukan melalui keputusan tertulis. Dalam kasus pemblokiran situs suarapapua.com, kata Samuel, sebelumnya tim Kominfo telah melakukan verifikasi. Hasilnya, beberapa konten berupa artikel berita dan video yang mendukung Gerakan Papua Merdeka ditemukan di situs tersebut.
Karena keberadaan konten separatis itu, pemerintah memutuskan memblokir laman tersebut. Namun, meskipun dilakukan pemutusan akses, pemerintah setelah itu juga membuka ruang untuk normalisasi situs tersebut. Mekanisme complain pemulihan atas pemblokiran atau penghapusan konten juga telah diatur dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014.
Lebih lanjut, Samuel mengatakan, pemerintah berkewajiban mencegah penyebarluasan penggunaan informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum. Ini dilakukan untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia di dalam ruang siber. UUD 1945, terutama Pasal 28F, memang menjamin hak asasi manusia untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Namun, kata dia, Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 memberi batasan bahwa dalam menjalankan hak kebebasan itu, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan UU. Pembatasan itu dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas kebebasan orang lain.
Selain itu, juga untuk memenuhi ketentuan yang adil sesuai dengan pertimbangan norma, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum di masyarakat. Oleh karena itu, pihak pemerintah berpendapat bahwa Pasal 40 Ayat (2) UU ITE tidak melanggar norma konstitusi.