Sejak MK didirikan, lembaga ini belum pernah membatalkan undang-undang dalam uji formil. Terkait uji formil, para hakim konstitusi diharapkan berpikir progresif, melampaui hal yang tersurat dalam konstitusi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Akhir-akhir ini, Mahkamah Konstitusi kebanjiran permohonan pengujian formil undang-undang. Namun, sepanjang 17 tahun sejak MK berdiri, belum ada undang-undang yang dibatalkan melalui uji formil. Publik berharap sembilan negarawan di MK bersikap progresif dalam menangani perkara uji formil UU.
Dalam dua sidang berbeda, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengutarakan hal yang sama tentang uji formil UU. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Kamis (12/11/2020), Arief mengatakan bahwa mahkamah ingin mempelajari bangunan untuk menguji prosedur pembentukan UU. Sebab, pengujian tersebut dapat berpotensi menggugurkan sebuah UU.
”Tolong, mahkamah diberi bangunan formilnya bagaimana (pengujian formil). Karena mahkamah juga ingin mempelajari yang formil itu bagaimana,” ujar Arief Hidayat kepada pemohon perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyoal UU Cipta Kerja.
Ungkapan serupa juga muncul dalam sidang pemeriksaan pendahuluan uji formil UU No 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi, Selasa (10/11/2020). Arief Hidayat meminta pemohon untuk membantu MK dalam membangun argumentasi teoretis terkait uji formil UU.
Arief mengatakan, sudah banyak pengujian formil yang diajukan ke MK. Namun, hampir semuanya ditolak. MK hanya pernah mengabulkan uji formil UU No 3/2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam putusannya, MK mengamini, ada pelanggaran prosedural, yaitu syarat kuorum dalam pengambilan keputusan di DPR tidak terpenuhi. Namun, karena alasan asas kemanfaatan, MK tidak membatalkan UU tersebut.
”Batu uji di UUD 1945 mengenai uji formil hanya sedikit sekali, hampir enggak ada, kan? Coba kami diberi formula mengenai bangunan pengujian formil itu bagaimana?” katanya.
Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) mencatat, sejak tahun 2003 ada paling tidak 48 pengujian formil yang masuk ke MK. Dari semua pengajuan formil itu, belum ada yang dikabulkan MK. MK hampir mengabulkan uji formil UU MA, tetapi tidak membatalkan UU tersebut.
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif Violla Reininda, awal November, mengatakan, putusan MK tentang uji formil UU MA secara tidak langsung mengisyaratkan, mahkamah bisa mengoreksi praktik prosedur yang menyimpang dalam pembentukan UU. Namun, berdasarkan pengalamannya beracara di MK, MK masih belum menitikberatkan pada aspek pembuktian formil. Meskipun pemohon kerap mendalilkan uji formil, tidak semua hakim aktif dan kritis mempertanyakan secara detail kepada pembentuk UU mengenai proses yang terjadi.
Dia juga mengatakan, di kalangan internal MK masih ada perdebatan dasar hukum yang jadi batu uji pengujian formil. Sebab, UUD 1945 hanya mengatur proses pembentukan UU secara terbatas dalam Pasal 22a.
Penjaga demokrasi
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Jumat (13/11/2020), berharap MK lebih berperan dan memprioritaskan pengujian formil UU terhadap UUD 1945. Sebab, pengujian formil sangat penting dalam membangun kualitas negara hukum demokratis. Uji formil juga bisa jadi kontrol demokrasi di parlemen. Dengan demikian, cabang kekuasaan yudikatif dapat menjalankan perannya lebih signifikan dalam mengawal, mengontrol, dan mengimbangi sistem demokrasi.
”Menguji formil itu lebih tajam dan menyasar langsung pada kinerja demokrasi dalam proses pembentukan UU. Peran MK di situ adalah menjalankan fungsinya sebagai the guardian of democracy,” kata Jimly.
Terkait batu uji uji formil, Jimly mengingatkan bahwa hakim konstitusi harus berpikir melampaui apa yang tersurat dalam konstitusi. Hakim konstitusi tidak boleh krisis ide dan berpaku pada satu acuan referensi. Sebagai negarawan, daya jangkau hakim konstitusi dituntut jauh ke depan, menangkap pesan sejarah pendiri bangsa yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945.
Terkait keterbatasan batu uji, katanya, hakim konstitusi jangan hanya berpaku pada norma di batang tubuh UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 harus dianggap sebagai keseluruhan norma yang bisa menguji konstitusionalitas UU. Prinsip sila keempat Pancasila soal musyawarah, misalnya, bisa dilihat dalam prosedur pembentukan UU. Apakah dalam proses pembentukan UU sudah ada debat substantif, mekanisme mendengar antarparpol pendukung pemerintah ataupun kubu nonpemerintah. Menurut Jimly, itu bisa menjadi alat uji formil yang jelas bagi MK.
”Sekaranglah tiba waktunya untuk menggunakan asas dalam UUD 1945 sebagai batu uji, bukan hanya norma. Itu sudah saya sampaikan ke MK pada saat saya menjadi saksi ahli dalam uji formil UU KPK,” kata Guru Besar Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijati.
Susi juga mengatakan, secara teoretis, pengujian formil adalah kewenangan yang melekat pada hakim saat memeriksa perkara perundang-undangan. Sebab, uji formil adalah pengujian untuk mempertanyakan bentuk, prosedur, dan kewenangan peraturan perundang-undangan. Sesuai asas peradilan, hakim tak boleh menolak perkara dengan alasan tak ada aturan hukum atau aturan tak memadai.
”Hakim konstitusi tidak boleh menampakkan sikap gamang. Sikap gamang hanya akan menunjukkan bahwa dia punya beban,” katanya.
Hakim konstitusi tidak boleh menampakkan sikap gamang. Sikap gamang hanya akan menunjukkan bahwa dia punya beban.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari berpendapat, MK seharusnya tak perlu ragu dalam menentukan alat uji formil karena sudah diatur dalam Pasal 22a UUD 1945. Pasal itu menyebutkan, ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan UU diatur dengan UU. Ini merupakan bentuk open legal policy.
Oleh karena itu, katanya, MK bisa menggunakan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dua pasal itu berisi asas pembentukan perundang-undangan yang baik.
Lalu, bagaimana sikap para hakim konstitusi? Kita tunggu saja putusannya.