Menilik Sumbangan Dana Kampanye dan Kekayaan Kandidat
Transparansi sumbangan dana kampanye akan menguatkan kepercayaan publik pada proses pilkada yang lebih berkualitas dan akuntabel. Bagaimana laporan sumbangan kampanye kandidat dibandingkan dengan kekayaannya?
Oleh
Eren Marsyukrilla/ Litbang Kompas
·4 menit baca
Sejumlah persoalan menyangkut besaran dana sumbangan yang disampaikan dalam laporan penerimaan sumbangan dana kampanye menunjukkan betapa lemahnya komitmen transparansi kandidat kepala daerah-wakil kepala daerah. Tak hanya laporan dana senilai nol rupiah, besaran sumbangan dana kampanye yang dilaporkan juga kerap tak sebanding dengan tingginya nilai kekayaan pasangan calon.
Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) yang dihimpun Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, nilai sumbangan nol rupiah dari 35 pasangan calon kepala daerah. Lebih dari separuhnya (54,29 persen) merupakan kandidat yang memiliki latar belakang pekerjaan di sektor swasta atau pengusaha. Sementara 28,57 persen lainnya adalah calon petahana yang kembali maju untuk jabatan periode kedua.
Keseluruhan kandidat yang memiliki laporan dana nol rupiah itu merupakan pasangan calon yang berkontestasi pada pilkada tingkat kabupaten dan kota. Selain pengusaha dan petahana kepala daerah, enam kandidat lainnya berlatar belakang pekerjaan sebagai anggota legislatif dan aparatur sipil negara (ASN).
Jumlah kandidat pengusaha dengan LPSDK nol rupiah itu sebanyak 19 pasangan calon, yang mayoritas (47,37 persen) memiliki harta kekayaan berkisar Rp 1 miliar-10 miliar. Sekitar separuh lainnya mencatatkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) puluhan miliar. Dua calon berlatar belakang pengusaha itu bahkan berharta lebih dari Rp 40 miliar.
Pelaporan penerimaan sumbangan dana kampanye dalam bentuk LPSDK merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12 Tahun 2020.
Pasal 20 PKPU itu menjelaskan, selain LPSDK, pelaporan terkait dengan pengelolaan dana kampanye lainnya juga harus dilakukan di pilkada, yaitu berupa laporan awal dana kampanye (LADK) serta laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).
Secara umum, pelaporan dana kampanye bertujuan agar semua aliran dana dalam pencalonan dapat terawasi dengan baik tak hanya oleh penyelenggara dan pengawas, tetapi juga publik secara luas.
Lebih lanjut, PKPU No 12/2020 mengatur secara detail teknis pengawasan dan audit yang dilakukan dan sejumlah larangan terhadap pendanaan kampanye. Terkait dengan dana sumbangan kampanye, Pasal 49 menjelaskan, partai politik atau gabungan partai politik serta pasangan calon perseorangan dilarang menerima sumbangan atau bantuan kampanye yang berasal dari sejumlah pihak di antara negara atau lembaga asing, penyumbang yang tak jelas identitasnya, pemerintah pusat dan daerah, serta badan usaha milik negara dan badan usaha daerah.
Berdasarkan data KPU, rata-rata dana sumbangan yang tercatat di LPSDK Rp 1,4 miliar untuk pilkada tingkat provinsi, Rp 490 juta di pilkada kabupaten, dan Rp 600 juta untuk pilkada tingkat kota. Berdasarkan data itu, sebanyak 14 pasangan calon dari 25 pasangan calon yang mengikuti pilkada provinsi mencatatkan jumlah LPSDK di atas jumlah rata-rata tersebut.
Sementara di rumpun pemilihan bupati dan wali kota, 407 pasangan calon memiliki besaran LPSDK di bawah rata-rata. Kondisi serupa terlihat pada pilkada tingkat kota, di mana tak kurang 67 persen LPSDK yang disampaikan pasangan calon berada di bawah besaran rata-rata.
LPSDK dan LHKPN
Sumbangan pendanaan kampanye yang terekam di LPSDK bersumber dari pasangan calon, partai politik dan sponsor, baik berbentuk perseorangan maupun badan usaha. Sejauh ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, dari total keseluruhan sumbangan dana kampanye yang dilaporkan, sekitar 54,76 persen sumber dana kampanye yang mengalir ke pasangan calon pada pilkada tingkat provinsi berasal dari sponsor.
Donasi dari sponsor ditengarai berpotensi menjerat kepala daerah dan wakil kepala daerah jika terpilih nanti. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan, donasi dari sponsor dalam pilkada tak ada yang gratis. Jika calon terpilih, pengusaha akan berharap balas budi. ”Jadi, tidak ada makan siang yang gratis,” ujarnya (Kompas, 2/11/2020).
Selain dari sponsor, sumbangan umumnya juga berasal dari kocek pribadi. Lihat saja di tingkat pilkada kabupaten atau kota, sumber sumbangan dana kampanye terbesar berasal dari pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah itu sendiri. Porsi sumbangan dari pasangan calon tersebut sebesar 57,4 persen dari sumbangan yang diterima. Sumber sumbangan dana kampanye dari partai politik memang tercatat paling kecil, hanya sekitar 2 persen.
Dominasi sumber sumbangan dana yang berasal dari para pasangan calon sebetulnya tak terlepas dari kekuatan modal yang dimiliki kandidat. Meski demikian, banyak besaran LPSDK yang dilaporkan justru menunjukkan angka yang begitu senjang dibandingkan dengan LHKPN pasangan calon.
Berdasarkan olahan data yang dilakukan Litbang Kompas, sejumlah dana sumbangan kampanye untuk pilkada tingkat provinsi tercatat begitu kecil jika dibandingkan dengan harta kekayaan pasangan calon. Di kelompok lima besar, nilai LPSDK tertinggi saja, misalnya, besaran dana sumbangan kampanye berada pada rentang tak lebih dari 20 persen dari nilai kekayaan pasangan calon.
Berbeda dengan itu, di deretan lima besar laporan dana sumbangan kampanye untuk pilkada tingkat kabupaten dan kota justru memiliki proporsi yang besar jika dibandingkan dengan nilai kekayaan yang dimiliki pasangan calon.
Kewajiban pelaporan dana kampanye hanya menjadi salah satu upaya administratif untuk menjaga terselenggaranya pilkada yang transparan dan berkeadilan. Transparansi sumbangan dana kampanye akan lebih menguatkan kepercayaan publik pada proses pilkada yang lebih berkualitas dan akuntabel.