Revisi UU Pemilu Bisa Jadi Pintu Masuk Penguatan Pengawasan Dana Kampanye
Penguatan pengawasan laporan dana kampanye bisa dilakukan melalui revisi UU Pemilu. Namun, diperlukan komitmen kuat DPR dan pemerintah agar usulan itu tak kembali menguap.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Revisi Undang-Undang Pemilu bisa menjadi pintu masuk memperkuat regulasi pengawasan laporan dana kampanye agar bisa lebih transparan dan akurat. Namun, diperlukan komitmen kuat pembentuk undang-undang, agar wacana penguatan laporan dana kampanye ini benar-benar terealisasi dan tidak kembali menguap.
Dorongan memperkuat pengawasan laporan dana kampanye, salah satunya dengan audit investigatif, kembali muncul di tengah Pilkada 2020. Ini karena persoalan akurasi laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) kembali mencuat. Ada 35 pasangan calon (paslon), atau 4,7 persen dari jumlah pasalon di Pilkada 2020 yang melaporkan sumbangan dana kampanye nol rupiah. Persoalan serupa juga muncul di pilkada 2015, 2017, dan 2018.
Di UU 10/2016 tentang Pilkada, audit laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dilakukan kantor akuntan publik yang ditunjuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Namun, audit terbatas pada kepatuhan pelaporan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dana kampanye. Belakangan, muncul usulan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjalankan audit investigatif kesesuaian laporan dengan kondisi riil.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung saat dihubungi di Jakarta, Jumat (13/11/2020), mengatakan, usulan pemberian kewenangan kepada Bawaslu agar dapat menginvestigasi kebenaran laporan dana kampanye pasangan calon, akan dibahas di revisi UU Pemilu.
Draf revisi UU Pemilu saat ini masih dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Senin depan, Komisi II akan diminta penjelasan resmi oleh Baleg tentang draf itu.
Menurut Doli, revisi UU Pemilu akan mengevaluasi tugas, pokok, dan fungsi, penyelenggara pemilu, baik Bawaslu, KPU, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Itu nanti (fungsi investigasi) akan ada di mana terkait dengan dana kampanye, apakah ada di KPU, Bawaslu, atau lembaga lain, itu akan dibahas lebih jauh. Kami juga mendorong ada pengadilan khusus pemilu di revisi UU Pemilu. Keberadaan pengadilan khusus itu akan mengubah semua tugas pokok dan fungsi semua lembaga penyelenggara pemilu,” ujar Doli.
Doli menjanjikan pengaturan mengenai laporan dana kampanye akan ikut dievaluasi sehingga ke depan kandidat dalam pilkada, pileg, maupun pilpres dapat melaporkan dana kampanyenya lebih jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, penguatan regulasi laporan dana kampanye sudah didorong lama. Bahkan, sempat ada usulan Bawaslu direformulasi menjadi badan khusus yang mengawasi laporan dana kampanye.
"Tapi itu kemudian menguap. Di revisi Undang-Undang Pemilu yang lalu (menjadi UU 7/2017) juga sudah diusulkan," ucap Ninis.
Dari pengalaman pembahasan RUU Pemilu selama ini, menurut Ninis, yang menjadi pusat perhatian isu sistem pemilu. "Jadi isu-isu penting lainnya tidak terbahas mendalam. Kalau tidak salah, di pembahasan revisi undang-undang yang lalu, dari 7 bulan pembahasan di DPR, hampir 3 bulan membahas soal sistem," kata Ninis.
Oleh karena itu, menurut Ninis, janji DPR menguatkan regulasi perlu dikawal bersama agar tidak menguap lagi. Hal ini penting didorong dalam upaya mendorong transparansi dana kampanye. Sebab, jika peran bawaslu diperkuat, maka akan menghindarkan peserta dari mendapatkan dana-dana ilegal.
"Pengawalan harus kuat supaya bisa gol di UU yang baru. Supaya kerja Bawaslu lebih efektif juga," tuturnya.
Lebih substantif
Di sejumlah daerah, keterbatasan kewenangan terkait laporan dana kampanye dikeluhkan pengawas pemilu. Ketua Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah Satriadi mengungkapkan, pihaknya punya keterbatasan wewenang untuk memeriksa dana kampanye.
Oleh karena itu, menurut anggota Bawaslu Kalimantan Barat Faisal Riza, perlu upaya serius dan kemauan politik penyusun undang-undang untuk mengubah regulasi. Hal itu diperlukan supaya ada regulasi yang mengatur hal-hal yang lebih substantif. “Hal yang substantif itu misalnya, apa betul dana kampanye yang diterima dan dikeluarkan sesuai kondisi lapangan? Regulasi yang ada saat ini tidak mengatur sampai ke sana," katanya.
Wakil Ketua Komisi II Arwani Thomafi menuturkan, ke depan, pelaporan dana kampanye harus lebih menitikberatkan pada transparansi dan akuntabilitas, ketimbang sekadar pembatasan. Dengan begitu, proses pelaporan dana kampanye lebih jujur dan menciptakan ruang transparansi di tengah-tengah publik.
Terkait lembaga yang dapat melakukan audit investigatif laporan dana kampanye, dia mengatakan, hal itu seyogiyanya dilakukan penegak hukum yang memiliki kompetensi penanganan transaksi keuangan.
Ketua Bawaslu Abhan sependapat pemberian kewenangan itu harus disertai penguatan kapasitas SDM Bawaslu. Pada prinsipnya, ia menyatakan siap apabila diberikan kewenangan investigasi.
Sementara itu, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menyampaikan, terkait pengawasan dana kampanye, PPATK bekerja sama dengan Bawaslu. Kerja sama difokuskan pada peningkatan penerimaan dana di rekening pribadi paslon.
Penerimaan di rekening pribadi itu akan dibandingkan dengan penerimaan di rekening khusus dana kampanye. Jika jumlah penerimaan di rekening pribadi berbeda jauh dengan di rekening khusus dana kampanye, patut diduga ada manipulasi dana kampanye.
Sementara ini di Pilkada 2020, Dian mengatakan, PPATK belum mendapatkan data transaksi mencurigakan dari rekening pasangan calon. “Kami masih terus melakukan pengamatan dan analisis. Nanti hasilnya akan kami berikan ke Bawaslu atau ke aparat penegak hukum, tergantung jenis kejahatan,” ucapnya.
Jika merujuk temuan PPATK di pilkada sebelumnya, Dian mengungkapkan, Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) tak mencerminkan kekuatan dana calon. Sebab, PPATK menemukan banyak pembiayaan bersumber dari sumber lain di luar RKDK.