Dewan Pengawas KPK Nyatakan Firli Tidak Langgar Etik Terkait OTT UNJ
Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto dinyatakan Dewas KPK tidak melanggar etik dalam kasus OTT terhadap pejabat Universitas Negeri Jakarta pada Mei 2020. ICW selaku pengadu menyesalkan putusan itu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyatakan Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto tidak melanggar etik dalam kasus operasi tangkap tangan terhadap pejabat Universitas Negeri Jakarta pada Mei 2020. Penerbitan surat perintah penyelidikan dinilai telah dikoordinasikan antarkedeputian dan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di KPK.
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Syamsudin Haris, mengatakan, Dewas sudah menyurati Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait laporan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua KPK dan Deputi Penindakan yang disampaikan ICW pada 26 Oktober 2020.
”Setelah laporan pengaduan tersebut dipelajari, Dewas tidak menemukan indikasi pelanggaran etik. Kasus UNJ yang diadukan ICW sudah diputus dalam sidang etik tanggal 12 Oktober 2020,” kata Syamsudin, Jumat (13/11/2020) malam.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, Dewas KPK telah mengirimkan surat kepada ICW pada 9 November 2020. Surat tersebut menyebutkan, Firli dan Karyoto tidak terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku dalam penanganan perkara OTT UNJ.
Dalam surat tersebut Dewan Pengawas mendasari kesimpulannya pada empat hal, yakni penanganan kasus OTT terhadap dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilakukan oleh KPK atas perintah Firli. Kasus OTT tersebut terjadi akibat laporan yang kurang lengkap dari Pelaksana Tugas Direktur Pengaduan Masyarakat yang menyebutkan telah membantu OTT di Kemendikbud.
Penerbitan surat perintah penyelidikan telah dikoordinasikan antarkedeputian dan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di KPK. Selain itu, keputusan Firli agar penanganan kasus OTT atas dugaan korupsi di Kemendikbud dilakukan KPK telah dikoordinasikan dengan pimpinan KPK lainnya melalui media komunikasi daring sehingga keputusan itu bukan inisiatif pribadi Firli.
Kasus yang ditangani dalam penyelidikan KPK belum ditemukan bukti permulaan yang cukup dan belum terpenuhi ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, KPK wajib menyerahkan penyelidikan ke penegak hukum lain.
Mekanisme pelimpahan dalam keadaan tertentu dimungkinkan tidak melalui gelar perkara berdasarkan kebijakan pimpinan KPK.
Kurnia mengatakan, dalam surat tersebut Dewan Pengawas KPK juga mengakui terdapat kelemahan-kelemahan dalam penanganan kasus OTT atas dugaan korupsi di Kemendikbud. Melihat kesimpulan dari Dewas KPK tersebut, ICW menyatakan, argumentasi Dewas melenceng dari substansi putusan yang sebelumnya dijatuhkan terhadap Plt Direktur Pengaduan Masyarakat.
Koordinasi melalui media komunikasi tidak dapat dibenarkan. Sebab, sebelum perkara naik pada tahap penyelidikan, pimpinan KPK terlebih dahulu melakukan gelar perkara bersama dengan Tim Pengaduan Masyarakat.
Selain itu, Kurnia mengatakan, Dewas mengingkari prosedur pelimpahan perkara ke penegak hukum lain. Dewas juga kerap tidak profesional dalam menegakkan kode etik dan pedoman perilaku KPK.