Indonesia Bisa Belajar dari Mekanisme Pelaporan Dana Kampanye Negara Lain
Ada dua model laporan dana kampanye yang umum digunakan di dunia, yakni penerapan akuntabilitas pelaporan yang sangat ketat dan pembatasan sumbangan atau pengeluaran dana kampanye. Indonesia perlu kombinasi keduanya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembuat undang-undang di Indonesia dalam memperkuat regulasi pelaporan dana kampanye dapat belajar dari mekanisme pelaporan di negara lain. Dua model pelaporan yang umum digunakan di tingkat global adalah penerapan aturan transparansi dan akuntabilitas pelaporan yang sangat ketat serta pembatasan sumbangan ataupun pengeluaran dana kampanye.
Berdasarkan survei yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Pilkada 2015, 2017, dan 2018, ditemukan bahwa pasangan yang melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dengan kondisi sebenarnya kurang dari 50 persen. Hal tersebut menunjukkan, selama ini laporan dana kampanye masih formalitas (Kompas, 13/11/2020).
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, ada dua kelompok besar pelaporan dana kampanye dalam praktik global. Pertama, yang tidak terlalu membatasi besaran sumbangan dan pengeluaran, tetapi menerapkan aturan transparansi dan akuntabilitas pelaporan yang sangat ketat.
”Jadi, dengan transparansi tersebut, kontrol publik dan sesama kontestan untuk mengawasi bisa optimal dilakukan. Ini berlaku, misalnya, di Amerika Serikat,” kata Titi, Sabtu (14/11/2020).
Ia menambahkan, laporan seperti itu biasanya diterapkan di negara-negara yang kultur politik warganya sudah cukup baik dalam melakukan pengawasan terhadap proses politik dan pemilu. Dengan transparansi itu, bisa ditelusuri aliran sumbangan ataupun potensi terjadinya benturan kepentingan antara penyumbang dan kandidat setelah terpilih.
Kelompok kedua adalah negara yang memberlakukan pembatasan sumbangan ataupun pengeluaran dana kampanye dengan tujuan untuk memberikan tingkat kompetisi yang setara antarkandidat. Biasanya cara ini dilakukan untuk menekan aliran dana ilegal di pilkada dan menghindari politik biaya tinggi yang bisa memicu korupsi.
Selain itu, karena dana kampanye rentan disimpangi dan memicu praktik korupsi, ada negara yang mendesain lembaga khusus untuk fokus mengawasi dana kampanye. Misalnya, Federal Election Commission (FEC) di Amerika Serikat yang dibentuk khusus hanya untuk mengawasi dana kampanye kandidat.
”Untuk formula Indonesia, melihat rendah dan belum baiknya komitmen aktor politik pada keterbukaan dan akuntabilitas dana kampanye, maka diperlukan kombinasi pendekatan,” ujar Titi.
Ia menjelaskan, selain mendesak adanya institusi yang khusus mengawasi pelaporan dana kampanye secara menyeluruh untuk memeriksa kepatuhan dan kebenaran pelaporan dana kampanye, juga diperlukan pengaturan pembatasan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye.
Selain itu, kata Titi, harus ada pembatasan transaksi tunai setidaknya di masa kampanye untuk mencegah transaksi ilegal yang dilakukan kandidat yang tak terjangkau pengawasan dan penegakan hukum.
Menurut Titi, juga perlu penataan institusi penegakan hukum menjadi lebih integratif dengan kejelasan otoritas. Misalnya, terkait penelusuran aliran uang dan juga sanksi yang memberi efek jera atas ketidakpatuhan dan ketidakjujuran kandidat dalam melaporkan dana kampanye.
Di Meksiko, pengawasan juga didesain melalui kombinasi kewenangan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan institusi pengadilan pemilu, yaitu secara administratif (Instituto Federal Electoral/IFE) dan yudisial (Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federación/TEPJF).
Dua institusi tersebut telah berkontribusi pada peningkatan kontrol publik atas sumber daya partai melalui serangkaian mandat peraturan dan resolusi yudisial yang mereka keluarkan.
Titi mengungkapkan, tingkat transparansi dana kampanye di Amerika Serikat dan Meksiko cukup baik. Bahkan, di Meksiko, kontrol yudisialnya cukup efektif.
Meskipun di Amerika Serikat ada keinginan untuk merevitalisasi FEC yang saat ini diisi oleh wakil-wakil partai politik, untuk kemudian diisi oleh figur independen, di FEC transparasinya sangat baik dan cukup radikal membuka besaran dan nama penyumbang.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, mekanisme pelaporan dana kampanye yang tepat adalah sesudah resmi ditetapkan, pasangan calon menyetorkan satu rekening. Kemudian, diberi format laporan keluar dan masuk dana atau natura yang dinilai uang.
”Setiap minggu laporan ini di-WA (disampaikan melalui Whatsapp) ke KPUD/Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk update. Bawaslu periksa ke lapangan. Kalau ada yang belum dilaporkan, bisa koreksi langsung. Jadi, saldo bank dan semua pendapatan biaya termonitor mingguan,” tutur Pahala.
Ia menegaskan, jika tidak menyampaikan atau tiga kali ketahuan tidak memasukkan sumbangan, langsung didiskualifikasi. Ketika memasuki masa tenang, tinggal konfirmasi ke bank dan periksa laporan. ”Ketahuan ada rekening lain. Tiga kali sumbangan atau biaya tidak dicatat di laporan mingguan, langsung hukum,” ujar Pahala.