Membuka ruang partisipasi publik sejak penyusunan prolegnas akan meminimalkan resistensi terhadap rancangan undang-undang. Selain itu, RUU yang diputuskan masuk dalam prolegnas bisa selaras dengan kebutuhan publik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ruang partisipasi publik diharapkan dipertimbangkan dalam mengevaluasi prioritas Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2020 sekaligus dalam penyusunan Prolegnas 2021. Dibukanya ruang partisipasi publik sejak Prolegnas diharapkan akan meminimalkan potensi resistensi dari publik terhadap rancangan undang-undang yang dibahas DPR dan pemerintah.
Pekan depan, Panitia Kerja (Panja) Prolegnas DPR bersama perwakilan pemerintah akan rapat serta memutuskan rancangan undang-undang (RUU) yang disepakati masuk dalam Prolegnas 2020 dan 2021.
Rapat awal, Kamis (12/11/2020), memunculkan sejumlah RUU, antara lain RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU Haluan Ideologi Pancasila atau yang diubah menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, sebagai bagian dari sejumlah RUU yang sedang berproses.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan, evaluasi prolegnas itu suatu hal yang bagus dilakukan.
Akan tetapi, berkaca dari persoalan pembahasan sejumlah UU yang menimbulkan resistensi kuat dari publik, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan UU Cipta Kerja, DPR diharapkan sejak awal membuka ruang partisipasi publik dalam menyusun prolegnas.
”Berkaca pada tiga RUU ini, yakni UU KPK, UU MK, dan UU Cipta Kerja, ini persoalannya sama, yaitu tentang partisipasi publik. Oleh karena itu, yang harus dievaluasi bukan hanya daftar RUU apa saja yang sudah dan belum disahkan, atau dibahas oleh DPR, tetapi penting juga memastikan bagaimana kualitas legislasi yang dihasilkan,” katanya, saat dihubungi, Jumat (13/11/2020).
Fajri mengatakan, ruang-ruang partisipasi publik sejak awal sebaiknya dibuka dan menjadi perhatian pembentuk UU. Dengan demikian, evaluasi tidak hanya berkutat tentang daftar legislasi dan urutan RUU, tetapi perlu adanya pertimbangan menjaga ruang-ruang demokrasi. Salah satunya dengan menyerap aspirasi publik soal RUU yang menjadi kebutuhan publik.
Munculnya RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU HIP/BPIP, menurut Fajri, sekalipun telah masuk ke dalam daftar prolegnas yang disepakati DPR dan pemerintah, hendaknya juga mengakomodasi pendapat masyarakat umum mengenai rancangan legislasi itu.
”Ruang-ruang diskusi dan dialog itu yang harus didahulukan sehingga dapat mewarnai pembahasannya kemudian. Sebab, di masa pandemi ini, publik kesulitan memberikan masukan kepada pembentuk UU. Oleh karena itu, DPR perlu mengawali dengan membuka ruang publik itu yang lebih partisipatif. Janganlah partisipasi publik dalam pembentukan UU ini hanya menjadi formalitas,” ujarnya.
Penentuan syarat prolegnas
Sebelumnya, dalam rapat evaluasi prolegnas yang dipimpin oleh Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas, perbedaan pendapat masih terjadi di antara anggota fraksi mengenai mekanisme penentuan skala prioritas sebuah RUU. Ada usulan agar RUU yang telah memiliki naskah akademik dan draf RUU diteruskan pembahasannya serta tidak dikeluarkan dari daftar prolegnas prioritas.
”Untuk bisa masuk prioritas, harus ada naskah akademik dan RUU. Periode lalu (DPR 2014-2019), tidak bisa masuk ke dalam prioritas jika barangnya belum ada. Kalau ukurannya itu RUU yang sudah ada naskah akademik dan RUU, maka kami tidak setuju jika RUU yang telah memiliki syarat itu ditarik dengan alasan pemerintah tidak mau membahasnya,” kata Muzzamil Yusuf, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sementara itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo, mengatakan, sebaiknya DPR berkomunikasi dulu dengan pemerintah sebelum menyusun suatu prolegnas. Sebab, bisa jadi pemerintah ternyata tidak sepakat membahas RUU tertentu. Akibatnya, DPR akan mendapatkan pertanyaan dari publik karena sejumlah RUU tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Firman mencontohkan RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) yang pada periode sebelumnya juga tidak diteruskan pembahasannya karena terjadi jalan buntu dalam persoalan rumusan judul. Pemerintah menghendaki pengaturan, sementara DPR menghendaki pelarangan minuman beralkohol.
”Tentang RUU Minol juga mohon betul dikomunikasikan dan dikonfirmasikan dengan pemerintah. Kalau saya setuju pengaturan karena bagaimanapun keanekaragaman kita harus dijaga. Ada masyarakat yang membutuhkan alkohol untuk kepentingan ritual keagamaan, pariwisata, dan hotel. Mohon konfirmasi kepada pemerintah. Kalau tidak, maka dua RUU ini (RUU Minol dan RUU Ketahanan Keluarga) dikeluarkan saja,” katanya.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, komunikasi antara DPR dan pemerintah dalam penentuan prioritas prolegnas itu boleh saja dilakukan. Selain itu, dalam penentuan prolegnas nantinya diharapkan juga mendengarkan aspirasi dan kebutuhan publik.
Menurut dia, pemerintah dan DPR saat ini dalam sorotan publik. Bahkan, ada gerakan-gerakan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR terkait dengan proses legislasi, lantaran publik menilai secara obyektif UU yang disahkan tidak mendesak dan dibutuhkan oleh rakyat. ”Kita bisa evaluasi lagi ini dari Prolegnas 2020, mana sekarang UU yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jangan sampai frekuensi kita ketika membahas prolegnas prioritas ini tidak sama dengan frekuensi publik,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan pertanyaan mengenai RUU HIP atau BPIP, Supratman mengatakan, RUU itu masih ada di tangan pimpinan DPR. Badan Musyawarah DPR juga belum melakukan rapat dan menugasi alat kelengkapan dewan (AKD) tertentu untuk membahas RUU tersebut.
”Sepanjang yang saya ketahui, terkait dengan HIP, pemerintah sudah mengirimkan surpres (surat presiden) dan DIM (daftar inventarisasi masalah), tetapi sampai sekarang belum turun dari pimpinan untuk menugaskan kepada AKD siapa yang akan membahas. Saya mendengar pemerintah mengusulkan perubahan judul dari RUU HIP menjadi RUU BPIP. Prinsipnya, kita tunggu saja apakah dari pimpinan DPR segera menurunkan dan menugaskan kepada AKD untuk membahas,” ujarnya.
Senin atau Selasa, pekan depan, kata Supratman, akan dimulai rapat untuk membahas secara detail RUU apa saja yang akan dituntaskan dan dijadikan prioritas.