Selain Prajurit TNI, Mahfud MD: Anggota OPM Juga Harus Dihukum
Menko Polhukam Mahfud MD mengapresiasi TNI AD yang menindak prajuritnya karena diduga terlibat pembakaran di Intan Jaya, Papua. Hukum harus ditegakkan juga untuk anggota OPM yang terlibat kasus kekerasan di Intan Jaya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/EDNA C PATTISINA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengapresiasi langkah TNI Angkatan Darat yang sudah menindak delapan prajuritnya yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran rumah dinas kesehatan di Intan Jaya, Papua. Ia berharap, hukum juga ditegakkan pada anggota Organisasi Papua Merdeka atau OPM yang ditengarai terlibat dalam kasus kekerasan yang terjadi di Intan Jaya, September lalu.
Mahfud MD melalui siaran pers, Jumat (13/11/2020), mengatakan, langkah cepat yang diambil oleh TNI AD selaras dengan yang diharapkan sebagai tindak lanjut dari hasil kerja tim gabungan pencari fakta (TGPF) bentukan pemerintah.
TGPF dimaksud dibentuk pemerintah, awal Oktober lalu, untuk mengusut kasus kekerasan dan penembakan yang menimbulkan korban jiwa di Intan Jaya, Papua. Sebanyak dua warga sipil dan dua personel TNI jadi korban karena kekerasan yang terjadi pada pertengahan September lalu. Peristiwa pembakaran rumah dinas kesehatan di Intan Jaya menjadi bagian dari rangkaian kekerasan tersebut, yang turut diselidiki oleh TGPF.
”Panglima dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat kemarin sudah mengonfirmasi tindakan yang dilakukan oleh tersangka dan siap diajukan ke pengadilan militer,” kata Mahfud.
Sebelumnya, Kamis (12/11/2020), Pusat Polisi Militer TNI AD (Puspomad) menetapkan delapan prajurit TNI AD sebagai tersangka dalam kasus pembakaran rumah dinas kesehatan di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua.
Kedelapan tersangka tersebut adalah Kapten Inf SA, Letda Inf KT, Serda MFA, Sertu S, Serda ISF, Kopda DP, Pratu MI, dan Prada MH.
Komantan Puspomad Letnan Jenderal Dodik Widjanarko menjelaskan, tersangka ditetapkan berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Tim Investigasi Gabungan TNI AD dan Kodam XVII/Cenderawasih. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, tim investigasi gabungan TNI AD dan Kodam XVII/Cenderawasih akan melengkapi berkas perkara untuk membawa para tersangka ke pengadilan militer atau Oditur Militer III-19 Jayapura, (Kompas.com, 12/11/2020).
Akibat perbuatan pembakaran rumah dinas kesehatan itu, para tersangka dijerat Pasal 187 Ayat (1) KUHP tentang pembakaran dan Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang perbantuan tindak kejahatan.
Namun tak cukup berhenti di situ. Mahfud meminta aparat keamanan juga menindak anggota OPM yang ditengarai terlibat dalam kekerasan di Intan Jaya dan membawanya ke pengadilan.
Temuan keterlibatan itu disebutkannya tertuang pula dalam hasil penyelidikan TGPF dan ada kecocokan dengan temuan investigasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. ”Pokoknya, hukum harus ditegakkan dan langkahnya dilakukan secara bertahap,” kata Mahfud.
Ia menekankan, proses hukum atas seluruh tindakan kekerasan yang terjadi di Intan Jaya merupakan upaya untuk menjaga Papua. Mahfud pun mengimbau kepada semua pihak untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
”Apa pun ujung dari perbedaan politik, nantinya di ujung harus tetap NKRI, dari Sabang sampai Merauke yang mencakup Papua, itu tidak boleh lepas dari NKRI,” lanjutnya.
Adapun terkait kasus tewasnya pendeta Yeremia Zanambani, di Intan Jaya, September lalu, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Achmad Riad mengatakan, TNI masih berpedoman pada pernyataan TGPF dalam pengusutan kasus tewasnya pendeta Yeremia Zanambani.
Berpatokan pada TGPF, kasus tersebut diserahkan pengusutannya kepada kepolisian.Hasil investigasi Komnas HAM menyebutkan prajurit TNI diduga jadi pelakunya. Kepolisian saat ini masih menyelidiki kasus tersebut.
Ia memperkirakan proses penyelidikan masih akan memakan waktu karena masih perlu dilakukan uji balistik. Proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian ini, diharapkannya tetap berjalan di samping LSM dan Komnas HAM yang juga mencari informasi atas tewasnya Yeremia.
Sebelumnya, Dodik Widjanarko mengatakan, untuk kasus penembakan Yeremia, penyelidikan oleh TGPF TNI AD masih berjalan. “Yakini kalau kasus ini melibatkan oknum TNI AD akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum dengan transparan dan tuntas,” kata Dodik.
Untuk kasus penembakan di sekitar Bandara Sugapa, Intan Jaya, pada 7 Oktober 2020, dengan korban gembala gereja katolik bernama Agustinus Dawitau, TGPF TNI AD telah memeriksa 5 anggota TNI dan 3 masyarakat.
Dari hasil pemeriksaaan ditemukan bahwa Pratu TD anggota Yonif 400/BR telah menembak menggunakan senjata SPR AW kaliber 7.62 terhadap orang yang diduga bagian dari Kelompok Kriminal Bersenjata. Namun Pratu TD dan prajurit TNI lainnya, yaitu Pratu Z, melihat bahwa postur dan rambut Agustinus Dawitau berbeda dengan sosok KKB yang ditembak itu.
Dari hasil wawancara dokter di RSUD Nabire, dr Amos Nomba mengatakan, Agustinus Dawiau tidak luka serius dan melarikan diri dari RS. Dari hasil pemeriksaan juga tidak ditemukan pecahan proyektil. “Oleh karena itu, tim belum bisa menyimpulkan kalau Pratu TD menembak Agustinus Dawitau, pengurus gereja katolik,” kata Dodik.
Belajar dari kasus kekerasan di Intan Jaya, Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menekankan pentingnya cara-cara penanganan konflik di Papua oleh aparat keamanan dievaluasi.
”Aparat yang ditugaskan di daerah konflik tidak cukup hanya dibekali pemahaman tentang hak asasi manusia. Mereka juga harus memahami konteks budaya dan adat istiadat masyarakat,” ucap Elisabeth.
Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) Bambang Purwoko menilai, cara-cara yang dilakukan oleh aparat, baik TNI maupun Polri, di Papua belum mengedepankan pendekatan sosial budaya. Apalagi, di daerah dengan eskalasi konflik tinggi seperti Intan Jaya, yang ditempatkan kerap kali aparat non-organik dari satgas pusat tanpa dibekali aspek sosial budaya masyarakat sebelum bertugas.
Hal itu, ujarnya, sangat berbahaya karena sudah ada trauma mendalam dan prasangka terhadap aparat yang bertugas di Papua. Banyaknya kekerasan dan pelanggaran HAM yang belum diselesaikan secara hukum membuat masyarakat Papua trauma dengan aparat.