Dalam pertemuan dengan Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyindir keberadaan partai politik rasa organisasi kemasyarakatan atau ormas. Seperti apa partai rasa ormas itu?
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengkritik partai politik yang malah bertindak seperti organisasi masyarakat. Sebaliknya, ada pula organisasi masyarakat yang terlalu mencampuri ranah partai politik. Padahal, setiap elemen bangsa memiliki perannya masing-masing dalam membangun Indonesia.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (12/11/2020), mengatakan, sekarang ini, partai-partai politik cenderung tidak mengambil peran politik sebagaimana mestinya. Ironisnya, mereka justru berekspresi politik, seperti organisasi masyarakat (ormas).
”Partai itu, kan, menggunakan saluran-saluran politiknya dan pernyataan-pernyataannya melalui lembaga-lembaga negara, seperti di DPR. Tetapi, kan, selama ini justru ada kecenderungan partai-partai ini tidak bertarung di gedung DPR, malah memilih bertarung di jalan, dalam pengertian membawa aspirasinya itu ke luar parlemen,” ujar Abdul.
Persoalan itu mencuat dalam diskusi antara Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono bersama PP Muhammadiyah. Agus ditemani oleh Sekretaris Jenderal Demokrat Teuku Riefky Harsya dan Bendahara Umum Demokrat Renville Antonio. Adapun dari PP Muhammadiyah, selain Abdul, pertemuan tersebut juga dihadiri oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melalui sarana telekonferensi.
Abdul pun menyayangkan ormas yang justru kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan politis. Bahkan, ada ormas menyinggung sesuatu yang pragmatis di mana seharusnya menjadi ranah partai politik, seperti jabatan politik.
Ormas, lanjut Abdul, tak sepatutnya menunjukkan kekuatan yang bersifat eksekutif atau legislatif. Ormas itu bersifat partisipatif. Hal ini berbeda dengan parpol yang memang memiliki kewenangan politik sebagai penyalur aspirasi masyarakat di parlemen.
"Partai hendaknya menggunakan peran-perannya sebagai partai, ormas juga ormas. Jangan ditukar. Jangan partai menjadi ormas dan ormas menjadi partai. Yang lebih punya otoritas dan lebih vokal di politik itu, kan, seharusnya parpol sehingga ormas berperan sebagai ormas yang memberikan suara-suara sebagai kekuatan masyarakat sipil yang menyuarakan moralitas," ucap Abdul.
Kebikakan inklusif
Agus sependapat bahwa parpol harus bisa memperjuangkan hak masyarakat yang salah satunya tecermin melalui hasil legislasi di DPR. Setiap keputusan atau kebijakan politik pun harus melibatkan rakyat.
”Sebab, ini menyangkut masa depan kita semua maka seyogianya segala proses legislasi itu dilakukan dengan seksama, dengan cermat, secara inklusif melibatkan semua elemen yang menjadi bagian dari kebijakan atau perundang-perundangan yang disahkan,” tutur Agus.
Untuk itu, Agus berjanji akan terus mengawal aspirasi rakyat meski komposisi Demokrat di parlemen sangat kecil. Itu, lanjutnya, tecermin dari sikap Demokrat yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja.
”Walaupun kami kalah di parlemen, suara kami kurang, tetapi tidak menghentikan kami untuk terus menyuarakan rakyat. Kami tidak kecil hati, tetapi kami akan terus bersama rakyat. Bukan tanpa tujuan, bukan tanpa alasan, tetapi kami merasa ada hal-hal yang belum dituntaskan. Artinya, masih menyisakan banyak permasalahan bagi masyarakat, termasuk kaum buruh dan para pekerja,” kata Agus.
Menurut Agus, ke depan, terutama di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, seyogianya para elite politik lebih mendekatkan diri dengan masyarakat. ”Dengarkan jeritan suara mereka. Dan sebisa mungkin menjadi bagian dari solusi, dan bukan menjadi bagian dari masalah,” ujarnya.