Pada hasil olah data laporan dana kampanye kandidat yang diunggah di situs https://infopemilu2.kpu.go.id/ terhadap 739 pasangan calon (paslon) kepala dan wakil kepala daerah, per 11 November 2020, ditemukan ada 31 paslon yang melaporkan LADK nol rupiah. Kemudian pada LPSDK, sebanyak 35 paslon (4 persen) melaporkan sumbangan dana kampanyenya nol rupiah. Paslon yang melaporkan LPSDK nol rupiah itu terdiri dari dua paslon yang berkontestasi di tingkat provinsi, 23 paslon tingkat kabupaten, dan 10 paslon tingkat kota.
Dari 739 pasangan calon (paslon) kepala dan wakil kepala daerah, per 11 November 2020, ditemukan ada 31 paslon yang melaporkan LADK nol rupiah.
Dari 35 paslon yang melaporkan LPSDK nol rupiah, sebanyak sembilan paslon di antaranya merupakan petahana. Mereka bertarung di Kota Gunungsitoli, Kota Bukittinggi, Kuantan Singingi, Karawang, Lamongan, Badung, Lombok Tengah, Sintang, dan Bone Bolango.
Baca juga: Mengawal Dana Kampanye Calon
Selain itu, sebanyak 563 paslon (76 persen) melaporkan LPSDK antara Rp 1 dan Rp 1 miliar. Paslon yang melaporkan sumbangan senilai Rp 1 miliar hingga 5 miliar sebanyak 108 paslon (14 persen), sedangkan yang menerima sumbangan dana kampanye lebih dari Rp 5 milar sebanyak 3 paslon (0,4 persen). Dari semua laporan sumbangan dana kampanye, tidak ada satu pun yang nilainya melebihi batas maksimal dana kampanye yang ditentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
LPSDK memuat penerimaan sumbangan dari pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik, sumbangan pihak lain perseorangan, sumbangan pihak lain kelompok, serta sumbangan pihak lain badan hukum swasta. Sumbangan bisa berbentuk uang, barang, dan jasa. Terkait dengan nilai sumbangan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatasi sumbangan yang berasal dari perseorangan maksimal Rp 75 juta, sedangkan dari partai politik, kelompok, dan atau badan hukum swasta maksimal Rp 750 juta.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatasi sumbangan yang berasal dari perseorangan maksimal Rp 75 juta, sedangkan dari partai politik, kelompok, dan atau badan hukum swasta maksimal Rp 750 juta.
Pelaporan LPSDK nol rupiah tidak hanya terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Pada Pilkada 2018, ada empat paslon yang juga melaporkan sumbangan dana kampanye nol rupiah. Hal tersebut ditemukan di Barito Timur (Kalimantan Tengah), Jombang (Jawa Timur), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Parigi Moutong (Sulawesi Tengah) (Kompas, 30/4/2018).
Salah satu kandidat yang melaporkan LPSDK nol rupiah, Lalu Makmur Said, di Mataram, Rabu (11/11/2020), mengatakan, pihaknya mengaku menerima sumbangan berupa alat peraga kampanye. Namun, sumbangan itu tidak dimasukkan dalam LPSDK karena masalah administrasi.
”Sekarang ada lebih dari 150 sumbangan yang masuk. Kami akan laporkan agar tidak mendapat teguran dari KPU dan Bawaslu,” kata Calon Wali Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang LADK senilai Rp 125 juta.
Baca juga: Bawaslu Perlu Diberi Kewenangan Audit Investigasi Dana Kampanye
Komisioner KPU, Ilham Saputra, mengatakan, LPSDK nol rupiah menunjukkan bahwa memang tidak ada penerimaan sumbangan, baik berupa uang, barang dan jasa. KPU sudah melakukan pengecekan di Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam) online terkait laporan tersebut. Penyebab lain ialah paslon menggunakan sumbangan yang diterima pada LADK untuk kebutuhan kampanye pada masa periode LPSDK sehingga penerimaan sumbangannya nol rupiah.
Namun, dari 35 paslon yang melaporkan LPDSK nol rupiah tersebut, LADK mayoritas kurang dari Rp 1 miliar. Sebanyak 20 paslon memiliki LADK kurang dari Rp 100 juta, 12 paslon LADK berkisar Rp 125 juta hingga Rp 501 juta, dan hanya tiga paslon yang dana awal kampanyenya di atas Rp 1 miliar.
”Pelaporan sumbangan para paslon akan diketahui secara detail transparan dan patuh pada saat audit dana kampanye oleh kantor akuntan publik,” ujar Ilham.
Aturan lemah
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengingatkan agar paslon dan tim pemenangan mencatat dengan baik semua pemasukan dan pengeluaran. Dengan banyaknya kampanye tatap muka atau pertemuan terbatas, kelengkapan dokumen menjadi lebih banyak, seperti pengeluaran untuk konsumsi, bahan kampanye, pengganti transportasi, penyewaan alat, dan kebutuhan pendukung lainnya.
”Selain memudahkan pelaporan, hal itu juga penting untuk transparansi laporan akhir dana kampanye, yaitu LPPDK,” katanya.
Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, mempertanyakan anggaran yang digunakan paslon untuk berkampanye jika dana yang dilaporkan sangat rendah. Pada masa pandemi yang didominasi oleh kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas, diperlukan biaya kampanye yang cukup besar.
Jika ada paslon yang melaporkan tidak ada sumbangan dana kampanye, transparansi dan kepatuhan terhadap peraturan patut dipertanyakan.
Dengan demikian, sangat kecil kemungkinannya jika paslon tidak mendapatkan sumbangan dari pihak lain. Jika ada paslon yang melaporkan tidak ada sumbangan dana kampanye, transparansi dan kepatuhan terhadap peraturan patut dipertanyakan.
”Pemilih bisa mencermati laporan dana kampanye untuk melihat komitmen transparansi, akuntabilitas, kejujuran, dan sikap antikorupsi paslon,” katanya.
Menurut dia, terulangnya LPSDK nol rupiah setidaknya dalam dua kali penyelenggaraan pilkada disebabkan aturan yang lemah. Laporan dana kampanye hanya dianggap sebagai formalitas sehingga paslon terkesan menyepelekan kewajiban tersebut.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, Bawaslu perlu melakukan pengecekan dana kampanye paslon. Bawaslu bisa membandingkan penerimaan dana kampanye dengan aktivitas kampanye yang dilakukan kandidat.
Beberapa indikator yang bisa digunakan, antara lain, adalah kegiatan kampanye, alat peraga kampanye, dan bahan kampanye yang dibagikan kepada pemilih. ”Penyelenggara tidak bisa menutup mata jika melihat sumbangan dana kampanye dengan aktivitas kampanye yang sudah dilakukan,” katanya.
Pelaporan dana kampanye masih sebatas formalitas. Aturan yang ada hanya mengukur kepatuhan paslon tentang ketepatan waktu pelaporan dan jumlah maksimal sumbangan dana kampanye.
Pengecekan masih sangat diperlukan karena komitmen paslon untuk membuat laporan dana kampanye yang transparan dan akuntabel masih rendah. Laporan dana kampanye hanya menjadi formalitas tanggung jawab sebagai paslon tanpa menjunjung nilai-nilai kejujuran.
Menurut dia, pelaporan dana kampanye masih sebatas formalitas. Aturan yang ada hanya mengukur kepatuhan paslon tentang ketepatan waktu pelaporan dan jumlah maksimal sumbangan dana kampanye sehingga prinsip transparansi dan akuntabilitas belum sepenuhnya hadir dalam tahapan ini.
”Salah satu masalah dalam pemerintahan daerah adalah tingkat korupsi yang tinggi, dan saya yakin hulunya adalah ketidakjujuran dalam pelaporan dana kampanye,” ucap Titi.