KPK menahan Bupati Labuhanbatu, Khairuddin Syah Sitorus, atas dugaan suap terkait proses penganggaran DAK APBN-P 2017 dan APBN 2018. Dalam kasus serupa, KPK pun menersangkakan Wali Kota Tasikmalaya Budi Badiman.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Bupati Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, Khairuddin Syah Sitorus dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait Pengurusan Dana Alokasi Khusus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan atau APBN-P 2017 serta APBN 2018 untuk Kabupaten Labuhanbatu Utara. Selain Khairuddin, KPK juga menahan Wakil Bendahara Umum Partai Persatuan Pembangunan 2016-2019 Puji Suhartono.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, Selasa (10/11/2020), mengatakan, perkara ini merupakan pengembangan dari perkara dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan Tahun Anggaran (TA) 2018 yang diawali dengan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat, 4 Mei 2018 di Jakarta. Dalam perkara ini, KPK juga telah menetapkan tersangka terhadap Walikota Tasikmalaya Budi Budiman.
“Pada 10 April 2017, Pemerintah Kabupaten Labuanbatu Utara mengajukan Dana Alokasi Khusus (DAK) TA 2018 melalui Program e-Planning dengan total permohonan sebesar Rp 504.734.540.000,” kata Lili dalam konferensi pers di Jakarta.
Perkara ini merupakan pengembangan dari perkara dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan Tahun Anggaran (TA) 2018
Lili melanjutkan, Khairuddin menugaskan Agusman Sinaga selaku Kepala Badan Pengelola Pendapatan Daerah Pemkab Labuhanbatu Utara untuk menemui Yaya Purnomo (Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan) dan Rifa Surya di Jakarta untuk membahas potensi anggaran pada Labuhanbatu Utara dan meminta bantuan untuk pengurusannya.
Atas permintaan tersebut, Yaya dan Rifa bersedia untuk membantu serta menyampaikan adanya fee yang harus disediakan sebesar dua persen dari dana yang diterima. Sekitar Mei 2017, Yaya dan Rifa bertemu dengan Agusman di Hotel Aryaduta, Jakarta, untuk menanyakan perkembangan dari pengajuan DAK TA 2018 serta potensi DAK yang dapat diperoleh.
Pada Juli 2017 bertempat di sebuah hotel di Jakarta, Yaya dan Rifa bertemu Agusman dan memberitahukan pagu indikatif DAK Labuhanbatu Utara sebesar Rp 75, 2 miliar. Pada Juli atau Agustus 2017, setelah adanya kepastian perolehan DAK TA 2018 Labuhanbatu Utara, Yaya dan Rifa bertemu Agusman di sebuah hotel di Cikini, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut Yaya dan Rifa diduga menerima uang dari Khairuddin melalui Agusman sebesar 80.000 dollar Singapura.
Setelah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan Labuhanbatu Utara memperoleh Anggaran DAK TA 2018, Khairuddin melalui Agusman kembali memberikan uang sebesar 120.000 dollar Singapura kepada Yaya dan Rifa.
Sekitar Januari 2018, Rifa memberitahukan bahwa anggaran DAK TA 2018 untuk Pembangunan RSUD Aek Kanopan sebesar Rp 30 miliar belum dapat diinput dalam sistem Kementerian Keuangan, sehingga tidak dapat dicairkan.
Atas informasi tersebut, Yaya menghubungi Agusman untuk memberitahukan permasalahan itu dan meminta agar Agusman menyelesaikannya dengan kembali memberikan fee sebesar Rp 400 juta. Atas permintaan fee tersebut, Agusman melaporkan kepada Khairuddin dan disetujui.
Pada April 2018, Yaya dan Rifa kembali bertemu dengan Agusman di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut diduga dilakukan pemberian uang dari Khairuddin melalui Agusman sebesar 90.000 dollar Singapura secara tunai dan mentransfer dana sebesar Rp 100 juta ke rekening atas nama tersangka Puji Suhartono.
“Dugaan penerimaan uang oleh tersangka PJH (Puji Suhartono) tersebut terkait pengurusan DAK pada APBN 2018 untuk Kabupaten Labuhanbatu Utara,” kata Lili.
Atas perbuatannya, Khairuddin disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Korupsi DAK bisa terjadi karena proses penganggaran yang bermasalah.
Puji disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 KUHP.
Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia, Reza Syawawi, mengatakan, korupsi DAK bisa terjadi karena proses penganggaran yang bermasalah. “Pembahasan anggaran yang tertutup. Apalagi, DAK ini kan by program,” kata Reza.
Reza menuturkan, proses pengalokasian atau penganggaran DAK tertutup. Karena itu, pemerintah pusat, khususnya Kemenkeu dan Kementerian Dalam Negeri seharusnya membuka proses tersebut. Ia menambahkan, DAK memiliki tujuan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah pusat. Jadi, kalau proses penganggarannya bermasalah, seharusnya dibuka kepada publik.