Peringatan Hari Pahlawan yang jatuh Selsa (10/11/2020), diharapkan tak hanya dimanfaatkan untuk mengenang jasa para pahlawan, tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai kepahlawanan. Terlebih di tengah ujian Covid-19.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Pahlawan menjadi momentum yang tepat untuk menyinergikan seluruh kekuatan elemen bangsa guna menghadapi pandemi Covid-19 dan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh pandemi. Rasa cinta terhadap Tanah Air, harus dipupuk sejak dini.
Menteri Sosial Juliari Batubara, dalam webinar bertema ”Momentum Hari Pahlawan, Sinergi untuk Negeri”, Senin (9/11/2020), mengingatkan, Indonesia bisa merdeka karena para pahlawan bangsa bersinergi melawan para penjajah. Nilai itu masih sangat relevan dan harus terus dijaga hingga saat ini.
”Negara kita terlalu besar untuk tidak kita kelola, kita rawat dengan sinergis, apalagi di tengah situasi pandemi. Tidak ada satu atau dua kelompok saja yang lebih penting dari yang lain. Kita semua penting. Kita semua setara,” ujar Juliari.
Acara yang diinisiasi oleh Kemensos tersebut dihadiri sejumlah narasumber, di antaranya sejarawan dan Ketua Komunitas Historia Indonesia Asep Kambali, sejarawan Anhar Gonggong, Kepala Dokumentasi Pusat Sejarah TNI Kolonel Junaidi, dan Miss Grand Indonesia 2018 Nadia Purwoko.
Juliari melanjutkan, sinergi tidak tiba-tiba muncul. Semua harus berawal dari rasa cinta terhadap Tanah Air. Rasa cinta itu pun harus dipupuk sejak dini dengan memperlihatkan perjuangan para pahlawan.
”Kalau tidak ada rasa cinta, susah sekali. Dan rasa cinta Tanah Air itu tak perlu dipaksa. Kita harus cinta dan bangga sebagai bangsa Indonesia, lalu bersama-sama bergerak membangun bangsa,” kata Juliari.
Namun, menurut Juliari, itulah tantangan dan ancaman besar saat ini. Generasi muda mulai tidak memiliki kepedulian terhadap perjuangan para pahlawan. ”Generasi muda agar tak hanya mengingat, tetapi juga menjiwai dan mempraktikkan nilai-nilai kepahlawanan,” katanya.
Berkontribusi bagi negara
Asep Kambali menyampaikan, tanpa perjuangan para pahlawan pada masa lalu, kemerdekaan tak akan dirasakan. Karena itu, semua perjuangan hari ini harus dilihat demi kemajuan bangsa ke depan. ”Masa depan diciptakan oleh kita yang berjuang. Jadi, kita yang berjuang hari inilah yang akan menciptakan masa depan itu,” tutur Asep.
Asep pun melihat, tantangan saat ini sangat kompleks akibat pandemi. Karena itu, semua harus berkolaborasi dan tak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Pengertian pahlawan, lanjut Asep, harus dipahami sebagai orang yang berjasa. Pada masa lalu, pahlawan identik dengan memegang senjata. Namun, di sisi lain, ada pahlawan yang berjasa menulis surat, seperti Kartini. Ada pula pahlawan yang membuat lagu, seperti WR Supratman dan Ismail Marzuki.
Jika melihat situasi sekarang, pola perjuangan mulai bergeser dan tak bisa hanya mengandalkan otot, tetapi otak. Asep menyebut, anak zaman sekarang sebagai generasi otak. ”Ada satu pemahaman bahwa tidak hanya yang berjuang secara fisik, tetapi kita sekarang ini bisa juga menjadi pahlawan pada masa depan kalau kita bisa berkontribusi bagi negara ini, sekecil apa pun,” tuturnya.
Menjadi inspirasi
Anhar Gonggong pun menekankan, generasi muda harus disadarkan tentang sosok pahlawan. Pahlawan memiliki latar belakang keberanian yang tak dimiliki orang lain. Jadi, pahlawan itu bersedia melampaui diri bahkan mengorbankan apa yang seharusnya bisa dinikmati.
Generasi muda, lanjut Anhar, membutuhkan fakta dan pandangan yang seperti itu. Namun, sayangnya, kelemahan museum di Indonesia adalah benda sejarah hanya seperti tumpukan barang. ”Tidak dikemas dengan baik. Padahal, itu di mana kita bisa memperoleh inspirasi,” katanya.
Nadia Purwoko (28) membenarkan bahwa museum saat ini belum cukup menarik bagi anak muda. Menurut dia, anak muda sekarang lebih memilih tempat-tempat yang bisa dijadikan spot fotografi.
Ia mengakui, terakhir ke museum pada saat masih di sekolah dasar. Saat itu ia hanya berkunjung ke Museum Gajah, Jakarta.
Selain itu, asupan pelajaran sejarah semasa sekolah juga tidak optimal. Nadia mencontohkan, tidak ada sama sekali pelajaran sejarah yang diterimanya selama masih duduk di bangku kelas XI hingga XII. Padahal, menurut dia, nilai-nilai sejarah tetap sangat berguna di apapun bidangnya.