Di sidang eksepsi, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte menepis dakwaan dan barang bukti berupa uang yang diajukan jaksa penuntut umum di kasus penghapusan red notice Joko Tjandra.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte membantah seluruh dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum dalam kasus penghapusan red notice Joko S Tjandra. Dalam surat bantahan (eksepsi) itu, Napoleon mengklaim bahwa barang bukti berupa uang 20.000 dollar Amerika Serikat dalam perkara korupsi itu tidak berkekuatan hukum.
Barang bukti yang dimaksud, selain uang tunai 20.000 dollar AS, juga rekaman kamera pemantau (CCTV) di gedung Transnasional Crime Center (TNCC) Mabes Polri. Sidang pembacaan surat bantahan (eksepsi) terdakwa Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (9/11/2020).
Eksepsi dibacakan oleh tim kuasa hukum Irjen Napoleon Bonaparte, yang dipimpin oleh Santrawan T Paparang. Ia mengatakan bahwa barang bukti yang digunakan penyidik untuk menjerat tindak pidana korupsi dalam kasus penghapusan red notice tidak berkekuatan hukum. Barang bukti uang 20.000 dollar AS misalnya diakui adalah milik Kepala Biro Pengawas PPNS Bareskrim Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo. Fakta tersebut didapatkan anggota tim hukum Napoleon, yaitu Petrus Bala Patyona, saat pelimpahan perkara tahap II di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, 16 Oktober lalu.
"Barang bukti yang digunakan penyidik untuk menjerat tindak pidana korupsi dalam kasus penghapusan red notice tidak berkekuatan hukum. Barang bukti uang 20.000 dollar AS misalnya diakui adalah milik Kepala Biro Pengawas PPNS Bareskrim Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo. Fakta tersebut didapatkan anggota tim hukum Napoleon, yaitu Petrus Bala Patyona, saat pelimpahan perkara tahap II di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, 16 Oktober lalu"
"Bahwa uang 20.000 dollar AS dijadikan barang bukti dalam perkara pidana atas nama klien kami Irjen Pol Napoleon Bonaparte adalah uang milik sah dari istri Brigjen Prasetijo Utomo. Di mana ketika itu Divisi Propam Polri meminta kepada Brigjen Prasetijo Utomo agar menyiapkan barang bukti," ujar Santrawan.
Uang tersebut, lanjut Santrawan, diminta oleh Brigjen Prasetijo kepada istrinya. Uang tersebut diminta oleh Divisi Propam Polri sebagai barang bukti. Karena tidak memiliki sejumlah uang tersebut, Prasetijo kemudian menulis sepucuk surat kepada istrinya.
Namun, dalam
dakwaan jaksa penuntut umum disebutkan bahwa uang itu adalah milik Napoleon. Padahal, uang tersebut tidak disita dari tangan Napoleon.
"Keberadaan uang USD 20.000 yang dijadikan barang bukti oleh penyidik Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri terhadap Irjen Napoleon Bonaparte melawan hukum, cacat hukum, dan tidak berkekuatan hukum sehingga dapat dibatalkan demi hukum," kata kuasa hukum Napoleon.
CCTV Tak punya keterkaitan langsung
Selain itu, barang bukti lain yang digunakan penyidik yaitu rekaman CCTV dari gedung TNCC Mabes Polri dianggap tidak ada keterkaitan langsung dengan Napoleon. Sebab, dalam rekaman CCTV, yang terlihat hanya seorang laki-laki dengan ciri-ciri seperti Tommy Sumardi yang beberapa kali keluar-masuk gedung TNCC Mabes Polri. Laki-laki tersebut masuk melalui pintu utama lobi lantai 1 TNCC Mabes Polri dan sempat terlihat bersama-sama dengan Brigjen Prasetijo.
"Rekaman CCTV itu tidak ada hubungannya secara langsung atau tidak langsung dengan terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte yang berkantor di lantai 11 gedung TNCC Mabes Polri," imbuh kuasa hukum.
Karena rekaman CCTV tersebut tidak berasal langsung dari lantai 11 gedung TNCC Mabes Polri, Santrawan menilai barang bukti tersebut cacat hukum, tidak berkekuatan hukum sehingga dapat dibatalkan demi hukum.
Kesimpulan tim kuasa hukum, barang bukti tersebut tidak sesuai dengan Pasal 39 ayat 1 huruf a sampai dengan huruf e Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang persyaratan keberadaan barang bukti. Barang bukti tersebut juga dianggap bertentangan dengan azas hukum akan dihargai apabila didukung dengan bukti yang masuk akal.
Konstruksi penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri juga dianggap sebagai kesalahan yang bertentangan dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Selain mempertanyakan keabsahan barang bukti, Santrawan, juga mempertanyakan kasus korupsi penghapusan red notice yang didakwakan kepada Napoleon. Menurutnya, Napoleon sebagai mantan Kadivhubinter Polri tidak memiliki kewenangan untuk menghapus red notice. Red notice tersebut diketahui sudah dihapus dari NCB Interpol Pusat Prancis sejak tahun 2014.
Persoalkan Kejakgung
Lebih jauh, menurut Santrawan, Napoleon justru mempertanyakan pihak kejaksaan sebagai jaksa eksekutor negara yang tidak memperpanjang red notice Joko Tjandra. Terkait surat yang diajukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham, hal itu justru untuk memberitahukan bahwa status red notice Joko Tjandra sudah terhapus sejak 2014.
"Itu bukan surat penghapusan nama Joko Tjandra dari daftar pelintasan imigrasi. Itu justru pemberitahuan bahwa red notice sudah terhapus sejak 2014," kata Santrawan.
"Itu bukan surat penghapusan nama Joko Tjandra dari daftar pelintasan imigrasi. Itu justru pemberitahuan bahwa red notice sudah terhapus sejak 2014"
Terkait dengan dugaan aliran dana yang disebut sampai pada petinggi Polri, Santrawan mengatakan bahwa hal itu diungkap dalam berita acara pemeriksaan (BAP) terdakwa Tommy Sumardi. Namun, pihaknya tidak mengetahui siapa yang dimaksud dengan petinggi tersebut. Santrawan justru mengatakan bahwa kesaksian tentang penyerahan dan penerimaan uang tidak jelas waktu dan tempatnya (locus dan tempus delictienya).
Hal senada diungkap Napoleon Bonaparte. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menghapus red notice Joko Tjandra. Dakwaan dari jaksa yang menyebut bahwa dirinya menghapus red notice dianggap salah besar. Menurutnya, dalam kapasitas jabatannya sebagai Kadivhubinter Polri, dia justru berupaya untuk memperpanjang red notice tersebut. Upaya perpanjangan diajukan ke kejaksaan.
"Saya merasa dizolimi oleh pers dengan statement pejabat negara yang salah. Kami yang paling tahu mekanisme kerja NCB Interpol. Tuduhan penerimaan uang (dalam kasus penghapusan red notice Joko Tjandra), saya siap buktikan bahwa itu rencana untuk mendzolimi kami," ujar Napoleon.
Sebelumnya, dalam sidang dakwaan di PN Tipikor Jakarta, Napoleon Bonaparte didakwa telah menjanjikan penghapusan red notice Joko Tjandra dengan imbalan tertentu. Napoleon juga sempat meminta tambahan uang dari Rp 3 miliar menjadi Rp 7 miliar untuk diberikan kepada seseorang yang disebut "petinggi kita". Jaksa penuntut umum juga menyebut bahwa Napoleon menerima uang 270.000 dollar AS atau setara Rp 3,95 miliar dan 200.000 dollar Singapura atau Rp 2,92 miliar sebagai imbalan penghapusan red notice buronan cessie Bank Bali Joko Tjandra.