Anggaran Covid-19 Tak Transparan, Publik Kesulitan Mengawasi
Penggunaan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 dinilai tidak transparan. Salah satunya dalam perencanaan pengadaan alat kesehatan. Tidak transparannya penggunaan anggaran rentan mengakibatkan korupsi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transparansi anggaran penanganan Covid-19 dipertanyakan karena rincian penggunaannya tidak disampaikan secara berkala kepada publik. Penggunaan anggaran penanganan Covid-19 yang tidak transparan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi.
Anggota Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraini, mempertanyakan transparansi anggaran itu. Menurut dia, pemerintah belum memaparkan secara rinci kepada publik penggunaan anggaran penanganan Covid-19.
”Penggunaan anggaran yang bersifat rinci tidak diumumkan secara berkala kepada publik sehingga publik kesulitan mengawasi anggaran yang digunakan untuk penanganan Covid-19,” kata Dewi dalam diskusi publik bertajuk ”Menyelisik Anggaran Penanganan Covid-19 dan Upaya Pencegahan Korupsinya” yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII), Jumat (6/11/2020).
Hadir juga sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan, Spesialis Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi Erlangga Dwi Saputro, dan Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan.
Dewi mengungkapkan, ketidaktransparan pemerintah terlihat dari perencanaan pengadaan alat kesehatan yang tidak disampaikan di Rencana Umum Pengadaan (RUP), Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), ataupun situs web resmi badan publik. Metode pengadaan juga tidak terinformasi dengan jelas sehingga tidak dapat dipantau oleh publik.
Misbakhul Hasan mengatakan, anggaran penanganan Covid-19 rawan dikorupsi. Potensi korupsi bisa terjadi karena pengabaian prosedur pengadaan barang/jasa (PBJ) seperti dalam prosedur penawaran dan standar harga.
Potensi korupsi juga terjadi dalam pemotongan pemberian gaji atau insentif dan tunjangan kepada petugas kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Untuk mencegah terjadinya korupsi, dana penanganan Covid-19 harus dikawal oleh publik. Karena itu, dibutuhkan transparansi dan akuntabilitas.
Bantuan sosial
Erlangga Dwi Saputro mengatakan, potensi korupsi dalam penanganan Covid-19 terdapat pada pengadaan barang/jasa, sumbangan, penganggaran, dan penyaluran bantuan sosial (bansos). Titik krusial penganggaran terjadi di daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020.
”Dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 37 daerah atau 13,7 persen menganggarkan Jaring Pengaman Sosial diatas 40 persen,” kata Erlangga.
Ia mengungkapkan, untuk mencegah terjadinya korupsi penanganan Covid-19, Komisi Pemberantasan Korupsi membentuk tim satuan tugas khusus Covid-19 yang berkoordinasi dengan Gugus Tugas Pusat dan Daerah serta pemangku kepentingan lainnya.
KPK menerbitkan surat edaran atau surat imbauan sebagai rambu-rambu pencegahan korupsi penanganan Covid-19. Selain itu, mereka juga membuat aplikasi Jaga Bansos sebagai saluran pengaduan masyarakat khusus bansos.
Upaya pemantauan yang dilakukan ialah dengan mengoptimalkan Direktorat Litbang pada Kedeputian Pencegahan KPK untuk memantau penganggaran kebijakan pusat terhadap anggaran Rp 405 triliun. Selain itu, mengoptimalkan Unit Koordinasi Pencegahan pada Kedeputian Pencegahan KPK untuk melakukan fungsi koordinasi dan pemantauan pada 542 pemerintah daerah terkait penganggaran Rp 67 triliun.
Dalam penindakan, KPK mengoptimalkan saluran pengaduan masyarakat milik KPK dan milik APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) pada setiap instansi pemerintah. Selain itu, mengoptimalkan satgas-satgas penindakan untuk menangani dugaan tindak pidana korupsi pada penganggaran Covid-19.
Rofyanto Kurniawan menegaskan, dalam mengganggarkan untuk penanganan Covid-19, pemerintah merencanakan dan menyusunnya dengan hati-hati. ”Ini sesuai dengan usulan yang disampaikan oleh kementerian dan lembaga. Ketika menyusun program bansos ini, mereka menimbang program bansos yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Rofyanto.
Ia menuturkan, proses penyusunan program tersebut dilaksanakan dengan transparan dan akuntabel. Dalam penyiapannya, kementerian dan lembaga memiliki data sesuai dengan target yang disasar. Namun, ia mengakui, dalam pelaksanaan di lapangan masih terjadi permasalahan karena data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) belum sepenuhnya sempurna.