Publik Menilai Korupsi Meningkat di Tengah Pandemi Covid-19
Hasil survei oleh Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, sebagian besar responden menilai korupsi meningkat dua tahun terakhir. Di masa pandemi Covid-19, korupsi pun dinilai meningkat dibandingkan sebelum pandemi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia menunjukkan bahwa korupsi di masa pandemi Covid-19 meningkat dibandingkan sebelum ada wabah Covid-19. Persepsi terhadap korupsi diprediksi oleh penilaian warga terhadap penanganan Covid-19, penilaian atas kondisi ekonomi nasional, dan penerimaan bantuan sosial.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyampaikan, dari survei yang dilakukan pada Agustus, September, dan Oktober 2020, persepsi masyarakat terhadap korupsi dalam dua tahun terakhir meningkat dan tidak ada perubahan lebih banyak daripada yang memilih korupsi menurun.
Pada bulan Oktober, 39,6 persen responden menilai bahwa tingkat korupsi dalam dua tahun terakhir meningkat. Sementara itu, 13,8 persen responden menyatakan menurun, 31,9 persen tidak mengalami perubahan, dan 14,8 persen tidak berpendapat.
”Di masa ada pandemi Covid-19, di antara mereka yang mengurus administrasi kependudukan (KTP, kartu keluarga, dan akta kelahiran), sekitar 16 persen pernah dimintai uang atau hadiah di luar biaya resmi,” kata Djayadi dalam rilis survei nasional bertajuk ”Tren Persepsi Korupsi Indonesia di Masa Pandemi Covid-19”, Selasa (3/11/2020).
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut, yakni Inspektur Jenderal Kementerian Sosial Dadang Iskandar; sosiolog Universitas Indonesia, Meuthia Ganie-Rochman; Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko; dan pegiat antikorupsi, Febri Diansyah.
Selain pengurusan administrasi kependudukan, beberapa responden yang mengurus terkait Covid-19 juga mengaku dimintai uang atau hadiah di luar biaya resmi, yakni surat izin keluar masuk atau SIKM (25 persen), surat bebas Covid-19 (18 persen), saat berurusan dengan polisi (24 persen), dan berobat atau mengantar berobat keluarga terkait Covid-19 (28 persen).
Menurut Djayadi, masih adanya pungutan dalam pengurusan administrasi kependudukan ataupun keperluan terkait dengan Covid-19 perlu menjadi perhatian. Kondisi itu ironis tatkala masyarakat sudah sangat terbebani oleh pandemi Covid-19 dan dampak-dampak yang ditimbulkannya.
Meskipun demikian, pengalaman berurusan dan dimintai uang oleh petugas pemerintah tidak memengaruhi prediksi persepsi responden terhadap korupsi. Sebab, hanya 12 persen responden yang mengurus administrasi kependudukan dan 10 persen responden yang berhubungan langsung dengan pegawai pemerintah untuk mengurus terkait Covid-19.
Ia mengungkapkan, dalam kondisi pandemi Covid-19, setidaknya dalam tiga bulan terakhir persepsi terhadap korupsi diprediksi oleh penilaian warga terhadap penanganan Covid-19, penilaian atas kondisi ekonomi nasional, dan penerimaan bantuan sosial (bansos).
”Persepsi atas tingkat korupsi sangat erat terkait dengan penanganan wabah Covid-19, khususnya penanganan yang terkait dengan ekonomi yang efeknya dirasakan langsung oleh warga,” kata Djayadi.
Dadang Iskandar mengatakan, total anggaran Kemensos pada 2020 mencapai Rp 134 triliun. Dari jumlah itu, Rp 128,837 triliun atau 96,14 persen di antaranya digunakan untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kemudian Rp 128,014 triliun dari total anggaran untuk PEN digunakan untuk bantuan sosial yang terdiri dari bansos reguler dan bansos khusus Covid-19.
Dalam penyaluran bansos tersebut, Kemensos bekerja sama dan berkoordinasi dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk pengawasan. Agar tepat sasaran dalam penyaluran bansos, Kemensos melakukan verifikasi DTKS (data terpadu kesejahteraan sosial) dengan seluruh kepala daerah.
Meuthia Ganie-Rochman menegaskan, korupsi di masa pandemi Covid-19 akan bermunculan di luar masalah bansos. Sebab, dalam masa pandemi terdapat pengelolaan situasi baru, seperti pengadaan alat kesehatan dan obat, pelanggaran data, kejahatan dunia maya, penilaian prestasi sekolah, hingga penilaian standar kesehatan usaha.
”Titik-titik urgensi masa pandemi dalam pelayanan publik harus dikenali model akuntabilitasnya yang sesuai. Model digital harus lebih dikembangkan lagi,” kata Meuthia.
Sependapat dengan Meuthia, Danang Widoyoko mengungkapkan, korupsi di masa pandemi tidak hanya sebatas pelayanan publik dan bansos, tetapi ada korupsi lain, seperti pengadaan barang dan jasa.
Persolan penyampaian bansos juga masih bermasalah, tetapi saluran untuk penyampaiannya tidak ada. ”Apakah masyarakat tahu ada korupsi atau tidak? Jika ada yang kurang percaya, mereka mau mengadu ke mana? Harusnya ada pusat pengaduan,” kata Danang.
Febri Diansyah mengatakan, penyaluran bantuan adalah satu hal yang sangat krusial dan penting. Namun, memastikan penyaluran dilakukan secara benar juga tidak kalah pentingnya. Bahkan, mungkin jauh lebih penting karena alokasi anggaran yang sangat besar untuk bantuan tersebut.
”Kalau bantuan tidak disalurkan secara benar, tentu selain tidak akan efektif bisa terjadi penyimpangan-penyimpangan. Dalam konteks penyaluran bantuan secara benar tentu dalam artian target penerimanya benar. Jadi, hanya orang yang berhak yang seharusnya bisa menerima,” kata Febri.
Ia mengungkapkan, KPK, kepolisian, dan kejaksaan pernah menangani kasus-kasus terkait dengan kondisi wabah. Salah satu kasus tersebut terkait dengan alat kesehatan ketika terjadi wabah flu burung.
Menurut Febri, asumsi yang dibangun selama ini, yaitu harus efisien dalam menyalurkan dan membuat pengadaan secara cepat. Namun, hal tersebut justru ditunggangi oleh para pelaku korupsi untuk berlindung di balik prinsip tersebut.