Pilihan Perbaikan Pasal Masih Dibicarakan DPR dan Pemerintah
Pasca kekeliruan penulisan pasal rujukan di UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah dan DPR masih terus membicarakan pilihan mekanisme perbaikan untuk mencari mencari jalan keluar yang terbaik dan konstitusional.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat masih sedang membicarakan pilihan mekanisme perbaikan terhadap kekeliruan penulisan pasal rujukan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Perbaikan dengan melakukan revisi pada penulisan pasal rujukan itu dinilai bukan merupakan perubahan subtansi dan memengaruhi makna dari UU sehingga menjadi salah satu opsi yang dapat diambil
Di sisi lain pakar hukum memberikan pandangan berbeda tentang mekanisme perbaikan pasal yang keliru tersebut. Para pakar mendorong agar perbaikan itu mengikuti mekanisme konstitusional, sebab UU yang keliru itu telah diundangkan, sehingga diketahui oleh umum dan bersifat mengikat bagi semua orang. Perbaikan tanpa mengikuti ketentuan konstitusional akan memicu pelanggaran formil dalam penyusunan UU Cipta Kerja.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, dalam waktu 1-2 hari ini, DPR dan pemerintah akan mencari jalan keluar dalam memperbaiki pasal-pasal yang keliru dalam menuliskan pasal rujukan. Sebagaimana diketahui, kesalahan ditemui dalam penyebutan pasal dan dan ayat rujukan di dalam UU Cipta Kerja, antara lain pada Pasal 6 di dalam Bab III, dan pasal 175 di Bab IX, persisnya di dalam Pasal 53 Ayat (5) yang merupakan perubahan dari Pasal 53 UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Baca Juga: Lakukan Perbaikan UU Cipta Kerja Sesuai Prosedur
”Intinya, kami mengakui adanya kekeliruan itu. Tetapi kekeliruan itu tidak berpengaruh terhadap materi atau substansi UU, karena itu kan hanya soal kesalahan pengetikan mengenai pasal dan ayat rujukan. Bagaimana mekanisme perbaikannya, ini sedang kami bicarakan bersama dengan pemerintah,” kata Supratman, saat dihubungi Rabu (4/11/2020).
”Intinya, kami mengakui adanya kekeliruan itu. Tetapi kekeliruan itu tidak berpengaruh terhadap materi atau substansi UU, karena itu kan hanya soal kesalahan pengetikan mengenai pasal dan ayat rujukan. Bagaimana mekanisme perbaikannya, ini sedang kami bicarakan bersama dengan pemerintah.”
Salah satu solusi yang sempat mengemuka ialah penerbitan Distribusi II terhadap UU Cipta Kerja. Menurut Supratman, penerbitan Distribusi II itu bagian dari konvensi tidak tertulis dalam mekanisme pembuatan UU selama ini. Sebab, pada praktiknya, Rancangan UU (RUU) yang dikirim dari DPR ke presiden tidak sepenuhnya bebas dari kesalahan ketik atau redaksional.
”Akan tetapi, ini tidak mengubah substansi. Distribusi II itu hanya konvensi terkait dengan typo (kesalahan mengetik) sehingga perbaikan redaksional dan kesalahan tik dapat dilakukan. Apakah pemerintah dan DPR akan melakukan itu? Nanti akan dibicarakan lagi,” katanya.
Mengenai pendapat dan masukan dari sejumlah ahli hukum mengenai penggunaan mekanisme konstitusional dalam perbaikan pasal yang keliru, menurut Supratman, itu boleh saja, tetapi ia memastikan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja itu sama sekali tidak memengaruhi substansi. ”Orang boleh punya pandangan, tetapi kan yang harus kita ketahui ialah maksud pembuat UU itu seperti apa. Oleh karena itu, sekali lagi dalam 1-2 hari ini DPR bersama pemerintah akan mencari sebuah jalan untuk sesegera mungkin bagaimana mekanisme perbaikan itu dilakukan,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, mantan Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, banyaknya kesalahan pengetikan di dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini terjadi karena proses pembentukan UU ini dilakukan tergesa-gesa, sehingga mengabaikan asas kecermatan.
”Namun, seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. UU yang banyak kesalahan ketiknya itu sudah ditandatangani presiden dan sudah diundangkan dalam lembaran negara. Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak,” ujarnya.
Yusril berpendapat, jika kesalahan itu hanya salah tik saja tanpa membawa pengaruh pada norma yang diatur dalam undang-undang itu, presiden, bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg, dan pimpinan DPR dapat mengadakan rapat untuk memperbaiki salah tik seperti itu. Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam lembaran negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah tiknya itu.
Selama ini, lanjut Yusril, adanya salah tik dalam naskah yang telah disetujui bersama antara Presiden dan DPR dan dikirim ke Sekretariat Negara telah beberapa kali terjadi. Mensesneg yang segera mengetahui hal tersebut karena harus membaca naskah RUU secara teliti sebelum diajukan ke presiden untuk ditandatangani, biasanya melakukan pembicaraan informal dengan DPR untuk melakukan perbaikan teknis. Setelah diperbaiki baru diajukan lagi ke Presiden dengan memo dan catatan dari Mensesneg.
”Kesalahan ketik kali ini memang beda. Karena kesalahan itu baru diketahui setelah presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam lembaran negara,” ujar Yusril, yang juga mantan Mensesneg ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Nasdem Willy Aditya menyebutkan adanya rencana perbaikan melalui penerbitan Distribusi II dari UU Cipta Kerja. Telah ada sedikitnya dua preseden UU yang menggunakan mekanisme perbaikan ini, yakni UU No No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU No 49/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Lampung (Kompas, 3/11/2020).
Tempuh jalur konstitusional
Akan tetapi, menurut pandangan pakar hukum lainnya, perubahan titik-koma pun tidak boleh dilakukan terhadap suatu RUU yang telah disetujui oleh DPR dan dibawa ke Setneg untuk ditandatangani oleh presiden dan disahkan menjadi UU. Perubahan berupa pengurangan atau penambahan pasal dan ayat yang merupakan bagian dari substansi suatu UU adalah suatu kekeliruan prosedur dalam pembentukan UU. Apalagi jika perubahan itu dilakukan ketika suatu UU telah diterbitkan di dalam lembaran negara.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf menuturkan, jika merujuk pada UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sudah jelas tidak boleh ada perubahan apapun terhadap isi suatu UU. Ketika suatu UU telah ditandatangani presiden dan diterbitkan di dalam Lembaran Negara, itu adalah finalisasi dari prosedur pembentukan UU, baik secara hukum maupun teknis. Selanjutnya, UU harus disosialisasikan.
Asep mengkritik pernyataan pemerintah melalui Mensesneg Pratikno yang mengatakan kesalahan dalam penulisan pasal dan ayat rujukan di dalam UU Cipta Kerja itu adalah persoalan teknis administratif.
”Pembentukan UU itu bagian dari hukum ketatanegaraan, bukan administrasi kenegaraan. Jadi, tidak bisa pemerintah bilang ke DPR, pasal ini diubah saja, tidak boleh karena hukum tata negara mempunyai aturan, dan sudah ada produk hukum yang final dan telah berproses. Jika sudah berproses di DPR, itu bukan lagi persoalan administratif atau diturunkan menjadi persoalan teknis administratif,” ujarnya.
Suatu pembentukan UU, lanjut Asep, telah jelas diatur di dalam konstitusi, melibatkan dua lembaga negara, yakni DPR dan pemerintah. Oleh karena itu, pembentukan UU adalah suatu proses hukum ketatanegaraan yang ketika terjadi persoalan di dalamnya tidak cukup diselesaikan dengan tindakan administratif belaka. Misalnya, dengan mengubah suatu pasal atau ayat tanpa melalui prosedur ketatanegaraan yang diatur di dalam UU.
”Tindakan memperbaiki UU yang sudah disahkan dan diterbitkan di dalam lembaran negara adalah suatu perbuatan yang melanggar prinsip pembuatan UU yang baik. Ini bahaya bagi kepastian hukum dan menjadi preseden buruk karena berikutnya ketika terjadi hal yang sama, maka bisa saja pemerintah dan DPR di belakang meja mengubah pasal dan ayat dengan alasan kesalahan tulis atau tik. Tolonglah sistem ketatanegaraan kita ini dihormati,” ujarnya.
Penerbitan Distribusi II, menurut Asep, justru akan memperumit persoalan, karena ketidakpastian hukum itu kian nyata. Publik menjadi bingung UU mana yang berlaku karena ada dua UU yang beredar di masyarakat. Hal itu pun kian menguatkan problem formil di dalam prosedur pembentukan UU Cipta Kerja.
Tiga cara konstitusional
Ada tiga cara konstitusional yang dapat ditempuh oleh pemerintah dalam menyikapi kekeliruan penulisan pasal di dalam UU Cipta Kerja. Tiga hal itu, menurut Asep, uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK), perbaikan UU melalui legislative review maupun executive review, dan pembentukan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).
”Jadi, bisa saja MK mengatakan salah satu pasal itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai demikian, atau merujuk pada ayat tertentu yang benar. Dengan demikian, ini cara yang konstitusional untuk mengoreksi suatu kesalahan substansi di dalam UU.”
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, MK telah memiliki pengalaman membatalkan suatu pasal di dalam UU yang pasalnya keliru ditulis. Namun, pembatalan itu bersyarat. Salah satu contohnya ialah pembatalan salah satu pasal di dalam UU Pemda yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. ”Jadi, bisa saja MK mengatakan salah satu pasal itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai demikian, atau merujuk pada ayat tertentu yang benar. Dengan demikian, ini cara yang konstitusional untuk mengoreksi suatu kesalahan substansi di dalam UU,” katanya.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Revisi Pasal yang Keliru
Cara lainnya, yakni menerbitkan perppu, dapat dilakukan jika presiden merasa ada kegentingan memaksa, dan perlu segera ada kepastian hukum menyangkut suatu hal. Sekalipun kegentingan ini sifatnya subyektif karena tergantung kepada subyektivitas presiden, tetapi dengan pertimbangan itu dapat dikeluarkan perppu untuk mengubah subtansi suatu UU yang dinilai keliru atau tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh pembentuk UU.
Cara ketiga, menurut Bayu, melakukan legislastive review, yang artinya DPR dapat mengajukan revisi UU Cipta Kerja melalui mekanisme normal. Hal serupa dapat diajukan juga oleh pemerintah melalui executive review.
”Memperbaiki UU di luar cara-cara konstitusional adalah praktik menyimpang yang membahayakan prosedur legislasi kita. Penerbitan Distribusi II itu sekalipun disebut konvensi, tetap tidak boleh menyimpangi prosedur ketatanegaraan. Konvensi baru dapat diambil manakala tidak ada jalan keluar lain yang disediakan oleh UU atau konstitusi,” ujarnya.
Menurut Bayu, UU maupun konstitusi telah menyediakan jalan keluar untuk memperbaiki suatu UU. Oleh karena itu, konvensi tidak perlu diterapkan. ”Distribusi II tidak dikenal dalam prosedur pembuatan UU kita, dan penerbitan Distribusi II itu hanya akan menimbulkan persoalan yang lebih kompleks,” ucapnya.