MK Diminta Lebih Serius Tangani Uji Formil UU
Mahkamah Konstitusi diminta untuk lebih serius menangani perkara uji formil undang-undang. Sejak berdiri tahun 2003, MK belum pernah mengabulkan satu pun dari 48 pengujian formil undang-undang yang ditangani MK.
JAKARTA, KOMPAS — Sejak berdiri tahun 2003, belum pernah ada perkara uji formil UU yang dikabulkan. MK dinilai belum serius menangani perkara yang menyangkut prosedur pembentukan undang-undang. Pedoman yang baku dan jelas dalam penyusunan sangat penting karena UU berlaku umum dan berdampak hukum luas.
Catatan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), sejak tahun 2003 ada 48 pengujian formil yang masuk ke MK. Dari seluruh pengajuan formil itu, belum pernah ada yang dikabulkan oleh MK.
Sejak 2003, belum pernah ada perkara uji formil yang dikabulkan MK.
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif Violla Reininda, saat dihubungi, Rabu (4/11/2020), mengatakan, sejak 2003 belum pernah ada perkara uji formil yang dikabulkan MK. Namun, dalam uji formil UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, MK hampir mengabulkan. MK menunjukkan bahwa ada pelanggaran prosedural, yaitu syarat kuorum dalam pengambilan keputusan di DPR tidak terpenuhi. Secara tidak langsung, MK mengisyaratkan bisa mengoreksi praktik prosedur yang menyimpang dalam pembentukan UU. Namun, karena alasan asas kemanfaatan, MK tidak membatalkan UU tersebut.
Selain asas manfaat, dalam kajian Kode Inisiatif, juga ada sejumlah pertimbangan yang digunakan MK terhadap pengujian formil UU dan perppu. Pertimbangan hukum itu, antara lain, perkara kehilangan obyek, tidak terbukti, ada pelanggaran formil tetapi pelanggaran itu tidak bisa membatalkan undang-undang, lewat waktu, mengeluarkan ketetapan, permohonan kabur atau tidak jelas, asas kemanfaatan, pemohon tidak memenuhi kedudukan hukum (legal standing), tidak ada dasar hukum untuk memutus perkara, pemohon tidak hadir, dan wewenang pembentuk undang-undang.
”Dari sisi pembuktian hukum, cukup berat bagi pemohon untuk membuktikan karena ada posisi yang timpang antara pemohon dan pembentuk UU. Dokumen sering susah diakses pemohon karena semuanya berasal dari pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah,” kata Violla.
MK masih kurang serius dalam menitikberatkan pembuktian pengujian formil. Meskipun pemohon mendalilkan hal tersebut, tidak semua hakim aktif dan kritis mempertanyakan secara detail kepada pembentuk UU mengenai proses yang terjadi.
Dokumen-dokumen yang menjadi alat bukti pengujian formil itu, misalnya, tanda tangan kehadiran anggota DPR. Dokumen itu sulit diakses karena pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DPR mengategorikan sebagai dokumen tertutup.
Di sisi lain, dari pengalaman Kode Inisiatif bersidang di MK, MK masih kurang serius dalam menitikberatkan pembuktian pengujian formil. Meskipun pemohon mendalilkan hal tersebut, tidak semua hakim aktif dan kritis mempertanyakan secara detail kepada pembentuk UU mengenai proses yang terjadi. Hanya sedikit hakim yang proaktif menanyakan bukti-bukti fisik ataupun pembuktian secara utuh proses pembentukan UU.
Violla juga menilai bahwa di internal MK sendiri masih ada perdebatan mengenai apa dasar hukum yang digunakan sebagai batu uji dalam pengujian formil. Sebab, konstitusi hanya mengatur proses pembentukan UU secara terbatas.
Terkait dengan dasar hukum yang digunakan sebagai batu uji pengujian formil ini, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, mengatakan, MK tak perlu ragu karena sudah diatur dalam Pasal 22 A UUD 1945. Pasal 22 A UUD 1945 menyebutkan, ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan UU diatur dengan UU. Ini merupakan bentuk open legal policy. Oleh karena itu, MK bisa menggunakan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang asas pembentukan perundang-undangan yang baik.
”Tujuan pengujian formil itu, kan, supaya tertib administrasi prosedur. Jika proses penyusunan UU dibiarkan melanggar formalitas tersebut, UU akan kacau. Kalau dari prosesnya saja sudah salah, bagaimana kita mau melihat substansinya?” kata Feri.
Uji formil di MK sebenarnya dapat menjadi sebuah mekanisme kontrol demokrasi di parlemen. DPR, misalnya, tidak bisa terus dibiarkan melanggar prinsip kuorum kehadiran ketika mengesahkan UU.
Feri juga mengatakan, uji formil di MK sebenarnya dapat menjadi sebuah mekanisme kontrol demokrasi di parlemen. DPR, misalnya, tidak bisa terus dibiarkan melanggar prinsip kuorum kehadiran ketika mengesahkan UU. Jika ini dibiarkan dilanggar, tidak akan ada ketertiban dalam pembentukan UU. Bahkan, praktik tersebut bisa diikuti oleh lembaga negara lain. Oleh karena itu, mekanisme koreksi dari MK terhadap aspek prosedural itu sangat penting.
”Jika ini dilakukan, akan menjadi kontrol proses demokrasi di parlemen. Ini juga memberikan sinyal agar seluruh lembaga negara tertib administrasi dan prosedur saat penyusunan UU,” kata Feri.
Agar lebih serius dalam menangani uji formil, Feri menyarankan agar hakim konstitusi lebih bersikap aktif. Hakim bisa mendatangkan ahli hingga meminta bukti-bukti kepada pembentuk UU. Ada berbagai cara yang bisa dijangkau oleh MK. Sebab, kewenangan itu dimiliki oleh MK. Feri berharap, ke depan MK lebih tegas dalam menguji formil sebuah UU. Walaupun substansinya benar, apabila UU cacat prosedural, norma-normanya dapat dibatalkan seluruhnya.
Ke depan MK lebih tegas dalam menguji formil sebuah UU. Walaupun substansinya benar, apabila UU cacat prosedural, norma-normanya dapat dibatalkan seluruhnya.
Pernah batalkan UU
Namun, di luar putusan pengujian formil, sebenarnya MK sudah pernah membatalkan seluruh UU dalam putusannya. Misalnya, putusan MK No 85/PUU-XII/2013 tentang Pengujian UU Sumber Daya Air dan putusan MK Nomor 28/PUU-XI/2013 tentang Pengujian UU Koperasi.
Dalam putusan MK 85/PUU-XII/2013, MK menilai UU SDA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal-pasal yang mengatur tentang privatisasi sumber daya air dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 sehingga harus dibatalkan. MK menghapus seluruh pasal-pasal di UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air tersebut. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa air sebagai unsur yang menguasasi hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara sesuai Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Adapun dalam putusan MK No 28/PUU-XI/2013 tentang Pengujian UU Koperasi, MK membatalkan seluruh pasal UU No 17/2012 tentang Perkoperasian. Menurut MK, UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena bernuansa korporasi, dan menghilangkan asas kekeluargaan, gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Saat itu, meskipun pemohon hanya mengajukan uji materiil sejumlah pasal, MK membatalkan seluruh UU. Sebab, pasal-pasal yang diuji dinilai mengandung materi muatan substansial yang menjadi inti UU Perkoperasian.
Di masa pandemi Covid-19 sudah ada beberapa UU yang digugat secara formil di MK karena dianggap cacat prosedur. Di antaranya, UU Penanganan Covid-19, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi. MK diminta lebih serius dan membuat terobosan untuk memberikan perlindungan konstitusional kepada warga negara.