Disrupsi menjadi hal yang tidak terelakkan. Umat beragama perlu menyikapi perubahan-perubahan secara arif dan berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan yang selalu mengajarkan nilai-nilai keseimbangan dan jalan tengah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Agama Fachrul Razi mengingatkan umat beragama untuk meningkatkan literasi keagamaan di era disrupsi teknologi. Literasi keagamaan yang kuat dinilai mampu membawa ajaran agama yang diskursif dan mencerahkan.
Hal tersebut diungkapkan Fachrul saat International Symposium on Religious Life (ISRL) 2020 bertajuk ”Kehidupan Beragama, Etika, dan Martabat Manusia di Era Disrupsi” yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama di Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/11/2020). Acara yang digelar secara daring dan luring itu turut diikuti oleh sejumlah peneliti dari 12 negara, antara lain Indonesia, Australia, Singapura, Malaysia, Iran, Pakistan, dan Amerika Serikat.
Dalam paparannya, Fachrul menilai disrupsi teknologi telah mengubah sikap dan cara pandang dalam beragama. Ajaran agama yang sebelumnya diajarkan pihak-pihak yang otoritatif kini menjadi terbuka. Siapa saja merasa berhak menafsir agama dengan bantuan mesin pencari meskipun dengan ilmu yang terbatas dan parsial.
”Hal ini dikhawatirkan membentuk sifat beragama yang setengah hati, ekstrem, bahkan menyesatkan,” katanya.
Namun, disrupsi menjadi hal yang tidak terelakkan. Umat beragama perlu menyikapi perubahan-perubahan secara arif dan berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan yang selalu mengajarkan nilai-nilai keseimbangan dan jalan tengah. Sikap ekstrem dalam beragama, misalnya, perlu disikapi dengan moderasi beragama.
Salah satu upaya agar tidak terjebak hal-hal negatif akibat disrupsi yakni meningkatkan literasi keagamaan, edukasi publik, serta membawakan ajaran agama secara diskursif dan mencerahkan. Umat beragama di Indonesia diyakini mampu menjaga nilai-nilai tersebut karena modal sosial yang kuat di masyarakat.
”Semua umat beragama perlu membuka diri terhadap perubahan, berdamai, atau adaptif dengan kondisi disruptif ini sehingga mampu melakukan sikap terbaik dalam menghadapinya,” ujar Fachrul.
Pandemi Covid-19
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Achmad Gunaryo menuturkan, agama memainkan peran penting dalam memberikan bimbingan spiritual, moral, dan etika saat melewati disrupsi.
Seperti saat pandemi Covid-19, agama mendorong penganutnya untuk mendukung komunitas yang rentan secara ekonomi dan terpinggirkan terkena dampak pembatasan sosial.
”Demikian halnya dalam demokratisasi, agama memberi masyarakat dorongan dinamis yang diperlukan untuk mempertahankan semangat, ketahanan, dan keberlanjutannya,” ujarnya.
Aria Nakisa dari Washington University mengatakan, perkembangan internet menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan beragama. Melalui internet, satu kelompok bisa mengirimkan informasi lebih banyak sehingga bisa memprovokasi kelompok lain. Di seluruh dunia, perkembangan internet telah banyak dimanfaatkan oleh gerakan politik non-liberal yang terkait dengan politik identitas agama, ras, dan budaya.
”Politik identitas sering kali mendorong kekerasan terhadap kelompok minoritas. Kadang-kadang kekerasan dilakukan oleh aktor non-negara dan dapat diklasifikasikan sebagai terorisme,” ujarnya.
Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, sektarianisme berbasis agama perlu diatasi dengan politik rekonsiliasi antarumat. Sikap tasawuf atau jalan tengah, adil, dan toleran perlu diperkuat dengan meningkatkan paradigma itu ke berbagai lapisan masyarakat.
Solusi lain yakni dengan mempercepat konsolidasi demokrasi dan penguatan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
”Negara perlu mempercepat pemerataan ekonomi yang berkeadilan dan penegakan hukum yang tegas dan konsisten,” katanya.