Ungkap Pihak Lain di Kasus Joko Tjandra, KPK Diminta Gunakan Perpres Supervisi
ICW menengarai masih ada pihak lain yang belum terungkap, baik oleh kepolisian maupun kejaksaan, dalam kasus pelarian Joko Tjandra. KPK diminta menggunakan Perpres No 102/2020 untuk mengungkap pihak-pihak itu.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch menengarai masih ada pihak lain yang belum terungkap, baik oleh kepolisian maupun kejaksaan, dalam kasus pelarian Joko Tjandra. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi diminta menggunakan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 untuk mengejar pihak-pihak lain yang belum terungkap tersebut.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, ketika dihubungi, Minggu (1/11/2020), mencontohkan penyidikan kasus penghapusan Joko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) Interpol. Sejauh ini penyidikan dari kepolisian sebatas mengungkap pihak-pihak yang terlibat di internal Polri. Padahal, Kurnia mencurigai, ada pula keterlibatan oknum di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, dalam penyidikan kasus pengurusan fatwa bebas dari Mahkamah Agung untuk Joko Tjandra, Kurnia melihat kejaksaan belum tuntas mengungkap pihak-pihak yang terlibat dari internal Kejaksaan Agung (Kejagung). Sejauh ini, kejaksaan baru mengungkap satu orang dari internal Kejagung yang diduga pelaku yang mengurus fatwa tersebut, yaitu Pinangki Sirna Malasari. Padahal, di luar Pinangki, ia curiga masih ada pihak lain yang terlibat.
”Kluster politik (kemungkinan adanya politisi yang terlibat dalam kasus Joko Tjandra) juga tidak diungkap atau belum tersentuh,” tambahnya.
Berangkat dari hal itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimintanya untuk menyelidiki kasus-kasus yang melibatkan Joko Tjandra. Menurut Kurnia, KPK dapat menjadikan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. yang baru-baru ini diterbitkan, jadi dasar untuk menelusuri kemungkinan adanya pihak lain yang belum terungkap.
”Karena banyak keping yang belum tersusun dengan baik dalam kasus Joko Tjandra, KPK harus bisa masuk karena hukum acaranya sudah ada, yaitu Perpres tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Kurnia.
Menurut dia, pelaksanaan Perpres itu sebenarnya tidak perlu menunggu penandatanganan nota kesepahaman antara KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Sebab, nota kesepahaman itu tidak diatur secara formal dan fungsinya lebih bersifat sebagai pemberitahuan saja.
Gambaran utuh
Selain meminta KPK turun tangan, Kurnia juga mengkritik penanganan perkara terkait Joko Tjandra yang terpisah-pisah, yaitu oleh Bareskrim Polri dan Kejagung. Hal ini dinilainya akan menghilangkan gambaran utuh atas rangkaian peristiwa terkait Joko Tjandra.
Saat ini, persidangan untuk terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Adapun untuk kasus dugaan pembuatan surat jalan palsu bagi Joko Tjandra, sidangnya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Satu kasus lainnya, yaitu penghapusan nama Joko Tjandra dari DPO Interpol, menurut rencana, akan digelar sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (2/11/2020).
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, seharusnya rangkaian perkara itu bisa menjadi satu kasus dengan pasal tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan dugaan gratifikasi atau suap.
”Bahwa ada surat palsu dan segala macam itu, kan, sebenarnya merupakan rangkaian kejadian pegawai negeri sipil (PNS), pejabat negara, atau penegak hukum yang diduga menerima hadiah atau janji,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, pemisahan perkara tersebut memang bisa dilakukan. Namun, dikhawatirkan hal itu akan menyulitkan. Semisal, jika kasus dugaan pemalsuan surat jalan tidak terbukti, lantas bagaimana dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi, dan sebaliknya. Dengan kata lain, pemisahan akan membuat rangkaian cerita atau peristiwa menjadi tidak utuh.
Salah satu hal yang bisa mengungkap kasus tersebut adalah jika para tersangka mau transparan. Tentu akan lebih baik jika ada pihak yang mengajukan diri menjadi justice collaborator.
Secara terpisah, penasihat hukum Napoleon Bonaparte, salah satu tersangka dalam kasus penghapusan Joko dari DPO Interpol, Gunawan Raka, mengatakan, kliennya tidak mengajukan menjadi justice collaborator karena dia bukan pelaku. Namun, mengenai pernyataan Napoleon yang berjanji akan mengungkap semua pihak dalam kasus itu, beberapa waktu lalu, Gunawan memastikan hal itu akan dilakukan oleh Napoleon.
Penasihat hukum Pinangki, Jefri Moses Kam, mengatakan, pihaknya siap untuk memasuki sidang dengan agenda pembuktian. Pihaknya akan menghadirkan saksi yang meringankan terkait hal itu. ”Kami akan hadirkan saksi pada waktunya, tetapi masih menunggu perkembangan pemeriksaan saksi jaksa penuntut umum dulu,” katanya.