Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto yang telah masuk daftar pencarian orang sejak 11 Februari 2020. Dia diduga menyuap bekas Sekretaris MA Nurhadi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto alias HS yang telah masuk daftar pencarian orang sejak 11 Februari 2020. HS telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung tahun 2011-2016 bersama bekas Sekretaris MA Nurhadi dan menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono.
Dalam konferensi pers di Gedung KPK di Jakarta, Kamis (29/10/2020), Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, sejak ditetapkan masuk daftar pencarian orang (DPO), KPK dibantu Polri mencari HS dengan menggeledah rumah di beberapa tempat di sekitar Jakarta dan Jawa Timur.
”Pada Rabu, penyidik KPK mendapat informasi dari masyarakat mengenai keberadaan HS yang datang ke salah satu apartemen di daerah BSD (Bumi Serpong Damai), Tangerang Selatan, sekitar pukul 15.30 WIB yang dihuni temannya,” kata Lili.
Pada Kamis (29/10/2020) pukul 08.00 WIB, ketika teman HS ingin mengambil barang di mobilnya, penyidik KPK dengan disaksikan pengelola apartemen, petugas keamanan, dan polisi menangkapnya. Sementara itu, HS ditangkap di unit apartemen tersebut.
Penyidik KPK membawa HS dan temannya ke kantor KPK. Mereka juga membawa dua kendaraan yang diduga digunakan HS dalam pelarian selama ini. Alat komunikasi, dan barang-barang pribadi milik HS juga disita untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Lili menjelaskan, perkara ini merupakan pengembangan Operasi Tangkap Tangan pada 20 April 2016 di Jakarta. KPK telah menetapkan empat tersangka dalam perkara ini, yaitu Doddy Ariyanto Supeno, Edy Nasution, Eddy Sindoro, dan Lucas.
Untuk pihak penerima, yaitu Nurhadi dan Rezky Herbiyono, saat ini dalam tahap persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. HS diduga memberikan hadiah atau janji berupa uang sejumlah Rp 45.726.955.000 kepada Nurhadi melalui Rezky terkait dengan pengurusan perkara.
Pada 27 Agustus 2010, HS melalui kuasanya, yaitu Mahdi Yasin, dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo kontainer milik PT KBN.
Pada 16 Maret 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan PT MIT dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo kontainer tetap sah dan mengikat serta menghukum PT KBN untuk membayar ganti rugi materiil kepada PT MIT sebesar Rp 81 miliar.
Atas putusan PN Jakarta Utara tersebut, PT KBN mengajukan upaya hukum banding sampai dengan kasasi. MA dalam putusannya Nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan dalam pokok perkara bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo kontainer melalui surat nomor 0106/SBA/DRT.12.3/07/2010 tanggal 30 Juli 2010 adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi Rp 6 miliar secara tunai serta seketika kepada PT KBN.
Isi putusan MA tersebut, PT KBN meminta segera dilakukan pelaksanaan eksekusi. Namun, HS meminta bantuan Hengky Soenjoto untuk dikenalkan kepada H Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky yang berprofesi sebagai advokat.
Pada Juli 2014 di Jakarta Selatan, HS bertemu dengan Hengky dan Rahmat. Dalam pertemuan tersebut HS meminta Rahmat sebagai kuasanya dalam pengajuan peninjauan kembali (PK) perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi terhadap Putusan PN Jakarta Utara.
Pada 25 Agustus 2014 Rahmat mengajukan PK ke MA melalui PN Jakarta Utara dan juga permohonan penangguhan eksekusi atas putusan kasasi MA kepada PN Jakarta Utara dengan alasan sedang diajukan PK serta gugatan yang kedua terhadap PT KBN.
Sebagai realisasi pengurusan perkara PT MIT, awal tahun 2015, Rezky melalui Calvin Pratama membuat perjanjian dengan HS dan akan memberikan fee pengurusan administrasi terkait penggunaan lahan depo kontainer Rp 15 miliar.
Sekitar awal 2015, bertempat di kantor PT Herbiyono Energi Industri di Office 8 Senopati lantai 11, Rezky memperkenalkan HS kepada Iwan Cendekia Liman. Iwan disebut bisa membantu HS mendapatkan pendanaan dari Bank Bukopin Surabaya yang akan digunakan untuk membiayai pengurusan perkara PT MIT dan untuk merealisasikan kesepakatan pengurusan perkara PT MIT.
Pada 22 Mei 2015, Rezky menerima uang Rp 400 juta dari HS yang ditransfer ke rekening bank atas nama Rezky Herbiyono sebagai pembayaran uang muka yang dilakukan beberapa kali hingga akumulasinya mencapai Rp 45.726.955.000.
”Walaupun gugatan kedua di PN Jakarta Utara dan PK ditolak, Nurhadi dan Rezky tetap menjanjikan kepada HS akan mengupayakan pengurusan perkara lahan depo kontainer,” kata Lili.
Atas perbuatannya, HS disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sebelumnya, dalam sidang dakwaan yang diselenggarakan Kamis (22/10/2020) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Nurhadi menegaskan, dakwaan yang disampaikan jaksa tidak benar. ”Semua dakwaan yang didakwakan tidak benar. Nanti saya buktikan,” kata Nurhadi.
Selain menerima suap dari HS, Nurhadi dan Rezky disebut menerima gratifikasi sebesar Rp 37,287 miliar dari pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Mereka menerima di antaranya dari Handoko Sutjitro, Renny Susetyo Wardani, Donny Gunawan, Freddy Setiawan, dan Riadi Waluyo (Kompas, 23/10/2020).
Buru DPO lain
Deputi Penindakan KPK Karyoto menegaskan, KPK juga masih berusaha menangkap DPO lain, salah satunya Harun Masiku, buron KPK dalam kasus suap untuk bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan.
”Mudah-mudahan dalam waktu segera juga bisa menyusul ditangkap terhadap DPO lain,” kata Karyoto.
Ia mengungkapkan, KPK sudah melakukan berbagai macam evaluasi, salah satunya terkait kerja sama dengan instasi lain. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kepastian gerak dari para DPO tersebut.