Kembalinya Gerakan Pemuda
Lama tak terlihat, gerakan pemuda tiba-tiba menguat dalam setahun terakhir. Elemen penting dari demokrasi yang tak boleh padam.
Lama tak terlihat, gerakan pemuda tiba-tiba menguat dalam setahun terakhir. Dibangkitkan keresahan yang sama, mereka ”turun” mengingatkan penguasa. Tak ubahnya bak gerakan pemuda di masa-masa sebelumnya, mereka pun mendorong perubahan. Elemen penting dari demokrasi yang tak boleh padam.
”Pantas kalau kami marah, sebab dipercaya susah. Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah. Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya”.
Demikian penggalan lagu band Efek Rumah Kaca (ERK) yang berjudul ”Mosi Tidak Percaya” yang kembali naik daun setahun terakhir. Lagu itu ditulis pada akhir 2008. Vokalis ERK, M Cholil, bercerita, lagu itu didasari rasa marah ketika mendengar kabar puluhan anggota DPR menerima cek pelawat pasca-pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia.
Lebih dari satu dasawarsa kemudian, tagar #mositidakpercaya menjadi topik perbincangan utama di sejumlah media sosial sebagai simbol perlawanan dan mobilisasi ketika mahasiswa dan pelajar bergabung bersama elemen masyarakat lain menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, 8 Oktober 2020.
Ini demonstrasi yang tak kalah besar dengan gerakan mahasiswa dan pelajar pada September 2019 saat mereka menolak sejumlah RUU kontroversial, salah satunya pengesahan revisi UU KPK yang dinilai akan melemahkan KPK.
Baca juga: Pesan dari Tempat Kongres Sumpah Pemuda II
Menurut Cholil, walaupun latar belakang situasi yang melahirkan lagu ERK dengan tagar tersebut berbeda, ide dasarnya sama, yakni luapan kemarahan kepada institusi-institusi demokrasi, seperti DPR dan pemerintah.
”Mereka berharap suara mereka didengar orang-orang yang mewakili mereka. Lalu karena tidak didengar, muncul ketidakpercayaan kepada legislatif dan eksekutif,” ujarnya.
Melalui musik pula, kelompok musik anak-anak muda asal Yogyakarta, Tashoora, menggaungkan keadilan. Sebagai contoh, lagu berjudul ”Aparat” yang dirilis pada pertengahan bulan ini. Lagu tersebut berisi kritik tentang kekerasan oleh oknum aparat yang kerap terjadi.
”Kalau ada yang bilang, kok bisa kami seperti ini? Ya, karena kami resah. Justru kami bertanya balik, kok bisa kalian enggak resah? Bukan berarti itu (ketidakadilan) tidak menimpa kita, berarti tidak terjadi,” tutur salah satu personel Tashoora, Danang Joedodarmo.
Cholil yang sempat mengambil master dalam bidang Seni dan Politik di Amerika Serikat mengatakan, musik dapat menjadi medium untuk menggugah kesadaran warga akan hak-hak politiknya. ”Mungkin lagu bukan penggerak atau bukan segalanya, tetapi bisa jadi pintu masuk,” ujarnya.
Kalangan K-Popers
Masifnya penggunaan media sosial turut jadi pintu masuk untuk menggugah kesadaran anak-anak muda pada politik dan hukum. Menjelang hingga pasca-pengesahan RUU Cipta Kerja, 5 Oktober lalu, misalnya, hal ini terlihat sangat jelas. Bahkan, tak dinyana, anak-anak muda pencinta lagu-lagu Korea atau kerap disebut K-Popers menjadi motor penggeraknya.
Analisa Drone Emprit, platform analisis media sosial, pada 4-5 Oktober menunjukkan akun-akun K-Popers di media sosial dengan foto profil aktor dan aktris Korea mendominasi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. ”Akun-akun dengan foto profil aktor dan aktris Korea menaikkan tagar penolakan RUU Cipta Kerja,” ujar Ismail Fahmi, pegiat media sosial.
Iza (20), mahasiswi di Bandung, salah satunya. ”Ada obrolan sesama K-Popers di grup. Kami ngobrol bagaimana dampak dari RUU Cipta Kerja terhadap orangtua si A dan orang lain. Dari situ, mulai sebarluaskan informasi tentang RUU ini kepada teman-teman K-Popers lain,” katanya.
Pesan yang ditulis atau dicuit ulang pun tak asal-asalan. ”RUU ini banyak suara (pendapat) dan adu argumen sehingga kami memilih suara yang kredibel dan mudah ditelaah,” ujar Iza.
Baca juga: K-Popers Satukan Keresahan Tolak RUU Cipta Kerja
Turun ke jalan
Tak hanya bersuara lantang di media sosial, banyak K-Popers lantas tergerak untuk ikut turun ke jalan, bergabung dengan kelompok mahasiswa, pelajar, dan buruh. ”Perbincangan di sesama K-Popers menyadarkan tentang dampak negatif dari UU Cipta Kerja. Saat mendengar akan ada unjuk rasa, saya terdorong untuk ikut,” kata Khusniatul Amri (25).
Lantas bagaimana ceritanya dengan mahasiswa dan pelajar yang bergerak serentak berunjuk rasa di banyak daerah? Padahal, sejak Reformasi 1998, tak sedikit yang mengira gerakan mahasiswa sudah tertidur.
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus mantan Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) kawasan Jabodetabek, Erfan Kurniawan, menjelaskan, revisi UU KPK pada 2019 menjadi titik didih keresahan mahasiswa. Sebab, korupsi merupakan isu yang paling disoroti mahasiswa. Konsolidasi antar-BEM yang menguat di 2019 lantas kembali menemukan momentumnya saat RUU Cipta Kerja disetujui disahkan pada 5 Oktober lalu.
Menurut Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, Dinno Ardiansyah, keterlibatan mahasiswa dalam dua unjuk rasa besar setahun terakhir menunjukkan tumbuhnya generasi yang melek sosial-politik. ”Kami mendapat akses informasi yang memadai mengenai isu sosial-politik yang sedang berkembang. Jadi, ketika ada hal-hal yang kurang sesuai dan tak sesuai dengan prosedur, kami terpantik dan mau berjuang bersama-sama,” jelasnya.
Apalagi dengan fungsi pengawasan DPR yang tak berjalan optimal karena dikuasai koalisi partai politik pendukung pemerintah, mahasiswa meneguhkan posisinya, yakni menjadi mitra kritis pemerintah.
Wahyu Ramadhan (23), mahasiswa angkatan 2016 jurusan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malan Wahyu adalah koordinator lapangan Aliansi Malang Melawan (AMM), aliansi gabungan buruh dan mahasiswa di Malang.
Menurut Wahyu, walau ada hal positif dalam UU Cipta Kerja seperti kemudahan untuk Usaha Mikro Kecil Menengah, hal penting yang harus dilawan adalah upaya pengurangan hak-hak normatif buruh. Wahyu yang aktif mengadvokasi buruh sejak tahun 2019 ini prihatin karena buruh kerap menjadi korban ketidakadilan. Misal yang paling terlihat, berkurangnya nilai pesangon.
“Sebelum UU Cipta Kerja saja pesangon buruh yang di PHK sudah sering kali tidak diberikan. Dari buruh saya merasakan betapa berat beban masyarakat kecil,” kata mahasiswa yang tengah skripsi tentang perburuhan.
Rahman Paramai (28), mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) juga merasa perlu untuk terus menyuarakan suara orang-orang terpinggirkan. Terlebih lagi, kondisi sekitarnya selalu mendapat ketidakadilan dari mereka yang berkuasa.
Pemuda yang rutin ikut diskusi, bedah buku dan demonstrasi ini juga merasa tergerak dengan tewasnya dua mahasiswa UHO, Randi dan Yusuf yang meninggal terkena tembakan saat bentrok dengan kepolisian ketika unjuk rasa menolak revisi UU KPK, September 2019. Rahman membentuk gerakan Aliansi Mahasiswa Sedarah, yang melakukan aksi diam berbulan-bulan di depan Polda Sultra, demo di DPRD Sultra, hingga Kejaksaan Negeri Kendari.
Rahman juga kembali demonstrasi setelah RUU Cipta Kerja disahkan DPR. Ia menilai UU itu menciderai rasa keadilan.
Merujuk banyaknya tambang perusahaan besar di Sulawesi Tenggara untuk nikel dan emas yang marak belakangan ini, Rahman menilai ruang gerak daerah dibatasi dalam UU Cipta Kerja. Pasalnya, sejumlah perizinan ditarik ke pusat. Ia juga menilai penyusunan UU Cipta Kerja bermasalah.
“Pemerintah dan DPR sering tidak berpihak pada masyarakat. Protes dari bawah malah dihadapkan dengan aparat kepolisian yang seringkali berujung bentrok, dan menelan korban,” katanya.
Baca juga: Mengapa Gerakan Mahasiswa Kembali Galak?
Kesadaran politik
Pengamat politik dari Australia, Edward Aspinall, dalam tulisannya di New Mandala melihat, gerakan mahasiswa pada 2020 dilatarbelakangi sejumlah faktor, di antaranya, kesadaran mahasiswa tentang pentingnya gerakan mahasiswa dalam politik Indonesia. Tak heran, mereka merujuk gerakan tahun 1998 dengan slogan Reformasi Dikorupsi, yaitu hasil gerakan mahasiswa yang dirusak elite.
Menurut dia, gerakan mahasiswa secara alamiah akan pudar kalau demokrasi terkonsolidasi. Hal ini yang tampak selama sepuluh tahun usai reformasi. ”Kembalinya mahasiswa ke jalan adalah salah satu tanda memburuknya demokrasi di Indonesia,” kata Aspinall.
Adapun dari sudut pandang sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, gerakan pemuda yang menguat setahun terakhir kian meneguhkan peran kepeloporan pemuda Indonesia dalam perjalanan bangsa. Rekam jejak kepeloporan pemuda telah terukir sejak Budi Utomo 1908 dan berlanjut pada Sumpah Pemuda 1928, fase menjelang kemerdekaan 1945, dan tumbangnya Orde Lama dan Orde Baru.
”Jadi, ini satu kesinambungan yang berlanjut. Pemuda selalu terpanggil dan memainkan peran strategis,” ucapnya.
Melihat pemuda yang mulai melek politik dan kian kritis, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan menilai, hal itu positif untuk perkembangan demokrasi. Artinya, kontrol terhadap penguasa tak hanya lahir dari DPR.
Namun, tak cukup hanya itu, kontrol akan lebih sempurna jika ditopang pula dengan gagasan-gagasan atas persoalan yang dikritisi. Hal ini yang dilihatnya belum terlihat dari gerakan mahasiswa dan pelajar setahun terakhir.
Baca juga: Merawat Ingatan untuk Masa Depan
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali berharap sikap para pemuda yang makin kritis tetap dilandaskan pada keinginan membuat negara lebih baik. Unjuk rasa yang digelar, misalnya, jangan sampai ”ditunggangi”. Setiap tuntutan pun hendaknya disertakan dengan solusi. Pemuda masa kini diharapkan seperti pemuda di masa lalu yang menjadi bagian penting dari kemajuan bangsa.(JAL/DIA/IAN/ANA/EDN/BOW/DAN/FAI)