Ketua KPK Firli Bahuri kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. Laporan terkait kasus operasi tangkap tangan terhadap pejabat Universitas Negeri Jakarta, Mei lalu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri kembali dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. Laporan yang dilayangkan oleh Indonesia Corruption Watch pada Senin (26/10/2020) itu terkait kasus operasi tangkap tangan terhadap pejabat Universitas Negeri Jakarta pada Mei 2020.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu, KPK melimpahkan perkaranya ke kepolisian karena tidak ditemukan unsur pelaku yang berasal dari penyelenggara negara. Polda Metro Jaya pun menghentikan penyelidikan kasus ini karena tidak ditemukan dugaan pemberian uang yang dilakukan pejabat Universitas Negeri Jakarta.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, sebagai pengirim laporan mengatakan, ICW melaporkan Firli dan Deputi Penindakan KPK Karyoto atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK berdasarkan petikan putusan Dewas atas Pelaksana Tugas Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal.
Sebelumnya, Aprizal sudah disidang oleh Dewas dan terbukti melanggar kode etik. Dewas menganggap perbuatan Aprizal telah menimbulkan suasana kerja yang tidak kondusif dan harmonis karena telah melakukan OTT yang dinilai tanpa koordinasi. Ia dijatuhi hukuman sanksi ringan berupa teguran lisan agar tidak mengulangi perbuatannya (Kompas.com, 12/10/2020).
”Diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan oleh keduanya. ICW mencatat, setidaknya terdapat empat dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi,” kata Kurnia.
Pertama, Firli bersikukuh mengambil alih penanganan yang saat itu dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, Aprizal sudah menjelaskan, setelah Tim Pengaduan Masyarakat melakukan pendampingan, ternyata tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara. Berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang KPK, KPK tidak bisa menindaklanjuti kejadian tersebut.
Kedua, Firli menyebutkan bahwa dalam pendampingan yang dilakukan oleh Tim Pengaduan Masyarakat terhadap Inspektorat Jenderal Kemendikbud telah ditemukan tindak pidana. ICW menduga, ia tidak mengetahui kejadian sebenarnya sehingga menjadi janggal jika Firlilangsung begitu saja menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani KPK.
Ketiga, tindakan Firli dan Karyoto saat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan pelimpahan perkara kepada kepolisian diduga tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara secara internal di KPK. Padahal, dalam aturan internal KPK telah diatur bahwa untuk dapat melakukan dua hal tersebut mesti didahului dengan gelar perkara yang diikuti oleh pemangku kepentingan (stakeholder)kedeputian penindakan dan pimpinan KPK.
Keempat, tindakan Firli untuk mengambil alih penanganan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbud diduga atas inisiatif pribadi tanpa melibatkan ataupun mendengar masukan dari unsur pimpinan KPK lainnya. Padahal, Pasal 21 UU KPK menyebutkan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
ICW menduga tindakan keduanya telah melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf b, Pasal 5 Ayat (1) Huruf c, Pasal 5 Ayat (2) Huruf a, Pasal 6 Ayat (1) Huruf e, Pasal 7 Ayat (1) Huruf a, Pasal 7 Ayat (1) Huruf b, Pasal 7 Ayat (1) Huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
ICW mendesak Dewas menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli dan Karyoto. Dewas diharapkan memanggil dan meminta keterangan dari keduanyaserta saksi-saksi lain yang dianggap relevan dengan pelaporan ini. Selain itu, Dewas diharapkan menjatuhkan sanksi kepada keduanya.
Selain itu, ICW mengingatkan adanya dua pelanggaran etik yang telah terbukti dilakukan Firli. Pada 2018, ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli diketahui bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang yang sedang berperkara di KPK.
Pelanggaran etik yang terbaru, Firli terbukti menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter pada Juni 2020. Dalam kasus ini, Firli dijatuhi hukuman sanksi ringan berupa teguran tertulis II. ”Dewas semestinya dapat menjatuhkan sanksi lebih berat, berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap yang bersangkutan,” kata Kurnia.
Saat dimintai konfirmasi, anggota Dewas KPK, Albertina Ho, menyatakan belum menerima laporan dari ICW tersebut. Sementara itu, Firli dan Karyoto tidak memberikan tanggapan.