Kandidat Minus Harta Ikut Pilkada, Potensial Politik "Balas Jasa" untuk Pemodal
Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang dihimpun KPK, ada 12 calon kepala daerah yang melaporkan hartanya minus. Mulai dari Rp 8 juta hingga Rp 3,5 miliar. Dikhawatikran, calon bergantung pemilik modal.
JAKARTA, KOMPAS – Kontestasi pemilihan kepala daerah langsung serentak 2020 tak hanya diikuti oleh kandidat yang memiliki harta melimpah, belasan calon kepala daerah yang berharta minus pun ikut bertarung memperebutkan kursi nomor satu di daerah. Kondisi ini dikhawatirkan membuat kandidat bergantung kepada donatur untuk membiayai pemenangan. Dan, pada akhirnya, harus "membalas jasa" pemilik modal sehinga berpotensi terbukanya ruang transaksi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dihimpun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi per 19 Oktober 2020, ada 12 calon kepala daerah (cakada) yang melaporkan hartanya minus. Harta minus yang dilaporkan kepada KPK bervariasi, antara minus Rp 8 juta hingga minus Rp 3,5 miliar. Dari 12 cakada itu, sembilan di antaranya berlatar belakang anggota dewan perwakilan rakyat daerah, dua swasta, dan satu kepala desa.
Jumlah cakada berharta minus pada pilkada kali ini meningkat dibandingkan pilkada 2018 sebanyak dua kandidat. Adapun pada pilkada sebelumnya yang melaporkan harta minus adalah Syapuani, calon bupati Murung Raya, Kalimantan Tengah, dengan laporan harta kekayaan minus Rp 115 juta dan Paskalis Sirajudin, calon wakil bupati Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, dengan laporan harta kekayaan minus Rp 94 Juta.
BacaJuga: Belasan Kontestan Pilkada 2020 Berharta Minus
Cakada dengan harta minus terbesar adalah calon wakil bupati Sijunjung, Indra Gunalan yang melaporkan hartanya minus Rp 3,5 miliar. Cakada berlatar belakang kepala desa itu berpasangan dengan Hendri Susanto yang memiliki kekayaan Rp 265 juta. Keduanya diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa.
"Cakada dengan harta minus terbesar adalah calon wakil bupati Sijunjung, Indra Gunalan yang melaporkan hartanya minus Rp 3,5 miliar. Cakada berlatar belakang kepala desa itu berpasangan dengan Hendri Susanto yang memiliki kekayaan Rp 265 juta. Keduanya diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa"
Cakada dengan harta kekayaan terbesar adalah calon wakil gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, dengan total harta pengumuman Rp 674 miliar. Mantan Wali Kota Banjarmasin 2010-2015 itu berpasangan dengan petahana, Sahbirin Noor, yang melaporkan hartanya senilai Rp 22,9 miliar. Paslon Muhidin-Sahbirin akan bertarung melawan paslon Denny Indrayana-Difriadi yang total harta kekayaan keduanya sebanyak Rp 16,8 miliar atau 2,4 persen dari total harta kekayaan lawannya.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, Minggu (25/10/2020), LHKPN merupakan salah satu cara untuk pencegahan korupsi karena komponen yang dituju adalah transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara (PN) secara individual.
“Dalam undang-undang secara jelas, salah satu upaya pencegahan adalah mendorong transparansi harta individual penyelenggara negara. Dengan transparansi diumumkan ke publik, partisipasi masyarakat dapat terjadi untuk kontrol,” kata Pahala.
Melalui LHKPN, masyarakat dapat mengukur komitmen transparansi PN dalam pencegahan korupsi. Komitmen dapat diukur dari kepatuhan penyampaian dan kebenaran isi laporan. LHKPN juga dapat untuk mengukur komitmen kepala daerah, menteri, dan kepala lembaga.
Masyarakat dapat mengakses menu e-announcement melalui website elhkpn.kpk.go.id. untuk melihat isian harta dari penyelenggara negara. Jika masyarakat merasa tidak yakin terhadap kesesuaian harta atau memiliki informasi harta lain yang belum diharapkan, maka masyarakat dapat memberikan informasi atau komentar pada menu e-announcement tersebut.
Meskipun tidak ada aturan yang melarang kandidat yang berharta minus maju menjadi calon kepala daerah, menurut peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, keberadaan kandidat yang hartanya minus menunjukkan bahwa masyarakat semakin nekat untuk mencalonkan diri. Bahkan kecenderungan kenekatan itu meningkat yang ditandai dengan jumlah kandidat berharta minus lebih banyak dibanding pilkada sebelumnya.
Menurut dia, seluruh kandidat pasti sudah paham bahwa uang memiliki peran penting untuk melakukan pemenangan. Jika harta yang dimiliki minus, kandidat dipastikan kesulitan membiayai segala keperluan untuk kampanye. Kandidat akhirnya akan sangat bergantung pada donatur untuk membiayai keperluan selama pilkada.
“Pilihan yang sangat nekat bagi kandidat berharta minus untuk berkontestasi di saat pilkada masih berbiaya mahal. Kandidat kemungkinan besar sulit memenangkan kontestasi karena sulit memenuhi kebutuhan untuk berkampanye dan menempatkan saksi,” kata Arya.
Kajian yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri menemukan bahwa biaya politik yang diperlukan untuk menjadi bupati/ wali kota sebesar Rp 20-30 miliar. Sedangkan untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur mencapai Rp 20-100 miliar. Artinya, setiap paslon memerlukan setidaknya Rp 20 miliar untuk memenangkan kontestasi.
"Jika harta yang dimiliki minus, kandidat dipastikan kesulitan membiayai segala keperluan untuk kampanye. Kandidat akhirnya akan sangat bergantung pada donatur untuk membiayai keperluan selama pilkada"
Dengan biaya politik yang mahal, lanjut Arya, biasanya partai politik cenderung mengusung paslon yang memiliki kekuatan finansial yang cukup untuk membiayai proses pilkada. Jika dalam laporannya harta kekayaan kandidat yang diusung minus, ada kemungkinan uangnya telah habis untuk membiayai sosialisasi yang berlangsung sebelum masa kampanye.
LHKPN menunjukkan, paslon yang diusung melalui jalur partai politik cenderung memiliki harta yang lebih tinggi dibandingkan calon perseorangan. Hanya kandidat yang diusung oleh jalur partai politik yang memiliki harta di atas Rp 75 miliar (18 kandidat). Adapun harta kekayaan rata-rata kandidat yang berkontestasi pada pilkada kali ini sebesar Rp 10,4 miliar.
Buka ke publik untuk transparansi
Menurut Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia, Reza Syawawi, LHKPN hanya instrumen administrasi untuk melengkapi syarat pencalonan. “Seharusnya KPK dan penyelenggara pemilu membuka data LHKPN tersebut kepada publik sebelum disahkan dan memenuhi syarat,” kata Reza.
Ia menegaskan, jika ada indikasi memberikan informasi yang tidak benar atau menyembunyikan harta/aset tertentu, seharusnya LHKPN itu dinyatakan tidak valid, tidak sah, dan tidak memenuhi syarat, sehingga pencalonan bisa dibatalkan.
Menurut Reza, dari hasil kajian KPK menunjukkan ketidakmampuan calon kepala daerah membiayai kampanye sendiri membuat mereka bergantung pada pemodal atau cukong. Sebab, kandidat tidak punya cara lain untuk menaikkan elektabilitas kecuali dengan uang untuk kampanye maupun membayar suara.
“Problem utamannya ya parpol dan calon yang diajukan tidak punya track record yang baik di hadapan publik,” kata Reza.
“Problem utamannya ya parpol dan calon yang diajukan tidak punya track record yang baik di hadapan publik”
Akibat adanya bantuan dari pemodal tersebut, maka akan ada penerimaan keuntungan ilegal atau kickback yang berhubungan dengan kebijakan dan kewenangan kepala daerah. Sebab, pemodal kampanye mempunyai alasan politik atau ekonomi tertentu untuk mendukung calon kepala daerah tersebut.
Dalam studi benturan kepentingan pada pendanaan pemilihan kepala daerah berdasarkan hasil survei pada 2015,2017, dan 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa pasangan calon mengeluarkan dana kampanye lebih dari setengah atau melebihi total hartanya. Karena itu, harta yang dimiliki pasangan calon bukanlah satu-satunya penentu kemenangan.
Responden mengakui, dana terbesar yang dikeluarkan adalah biaya sosialisasi atau pertemuan (60,1 persen); biaya operasional meliputi logistik, transportasi, konsumsi, atribut, baliho, dan lain-lain (42,4 persen); biaya saksi (28,3 persen); serta dana kampanye (24,2 persen).
Dalam survei tersebut ditemukan, terdapat benturan kepentingan yang berhubungan erat dengan profil penyumbang. Dominasi donatur sebagai pengusaha memiliki konsekuensi pada kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, mengikuti proyek barang dan jasa pemerintah, serta keamanan dalam menjalankan bisnis.
Terdapat indikasi Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak dilaporkan secara benar serta tepat.
Peran parpol kurang berfungsi
Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, menuturkan, keberadaan kandidat yang berharta minus kemungkinan tidak akan terjadi apabila partai politik mampu melaksanakan fungsinya untuk rekrutmen politik di daerah tersebut. Parpol pasti akan sangat mempertimbangkan modal ekonomi kandidat karena menjadi salah satu prasyarat membiayai pemenangan.
“Selisih harta kekayaan yang terlalu lebar antar pasangan calon yang bertarung di suatu daerah itu tidak baik karena terkait dengan keadilan dan kesetaraan dalam berkontestasi”
“Selisih harta kekayaan yang terlalu lebar antar pasangan calon yang bertarung di suatu daerah itu tidak baik karena terkait dengan keadilan dan kesetaraan dalam berkontestasi,” katanya.
Baca Juga: Integritas Calon Kepala Daerah Diawali dari Keterbukaan Isi LHKPN
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, meskipun ada paslon yang secara harta kekayaan cukup untuk membiayai pilkada, mereka tetap menerima sumbangan dari donatur. Donatur itu berkepentingan untuk mengamankan bisnisnya saat terjadi suksesi kekuasaan di wilayah sehingga perlu dukungan dari kandidat.
Ironisnya, donatur kerap meminta balas jasa kepada kandidat saat sudah terpilih. Daerah akhirnya sulit berkembang karena kepala daerah tidak berorientasi kepada publik, melainkan kepada donatur sehingga potensi terjadinya korupsi meningkat.