Polarisasi dampak kontestasi politik yang sengit saat Pemilihan Presiden 2019 masih terasa hingga kini. Langkah konsolidasi tak mudah, karena polarisasi, antara lain menajam akibat berita hoaks dan kebijakan pemerintah.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Jejak pembelahan atau polarisasi akibat kontestasi politik yang sengit di dalam Pemilihan Presiden 2019 masih terasa hingga saat ini. Upaya menghapus jejak pembelahan itu tidak mudah, karena polarisasi yang antara lain menajam karena berita bohong atau hoaks, disinyalir juga turut memengaruhi persepsi masyarakat terhadap hal-hal lainnya, termasuk kebijakan pemerintah.
Survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia yang dirilis, Minggu (25/10/2020), di Jakarta, mengindikasikan jejak pembelahan atau polarisasi itu yang masih tersisa. Kendati tidak menjadi suatu simpulan temuan survei, tetapi latar belakang demografi yang ditunjukkan pula oleh Indikator menunjukkan responden yang merupakan pemilih Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 cenderung memberikan penilaian negatif terhadap indikator kian takutnya warga menyatakan pendapat, tindakan aparat yang semena-mena, dan kesulitan berdemonstrasi. Ketiganya merupakan indikator yang diukur oleh Indikator Politik Indonesia dalam rentang waktu 24-30 September 2020 dengan melibatkan 1.200 responden yang dihubungi per telepon.
Dalam survei yang dirilis oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, responden yang memberikan pendapat juga dikaji dengan melihat basis pemilih dan dukungan terhadap partai politik (parpol). Sebagai hasilnya, sebanyak 33,4 persen responden yang berbasis Partai Gerindra menyatakan sangat setuju atas persepsi warga kian takut menyatakan pendapat.
“Ada situasi di alam bawah sadar masyarakat bahwa mereka mulai takut ngomong. Dalam konteks demokrasi deliberatif, kebebasan warga untuk berbicara itu didorong, apapun isinya, baik pro dan kontra. Dalam konteks demokrasi, mereka yang kontra dengan pemerintah harus mendapatkan tempat yang sama dengan mereka yang pro pemerintah”
Kecenderungan ini lebih kecil jika dibandingkan dengan responden berbasis parpol pendukung pemerintah lainnya, seperti PDI-P dan Golkar, yang masing-masing 12,0 persen dan 19,5. Persentase itu juga lebih tinggi di antara responden yang berbasis partai oposisi, atau parpol yang berada di luar pemerintahan, seperti PKS, yakni 31,3 persen, dan Partai Demokrat 27,1 persen.
Kecenderungan ini kembali terlihat jika responden yang memberikan pendapat juga dikaji dari pilihan saat pilpres. Menurut Burhanuddin, pendukung Prabowo Subianto cenderung sangat setuju terhadap persepsi warga kian takut menyatakan pendapat, yakni sebanyak 32,2 persen, sedangkan pendukung Jokowi hanya 17,3 persen. Konsistensi kecenderungan ini juga ditemui pada indikator lain yang diukur, seperti persepsi mengenai tindakan aparat yang semena-mena, dan kesulitan berdemonstrasi.
“Ada situasi di alam bawah sadar masyarakat bahwa mereka mulai takut ngomong. Dalam konteks demokrasi deliberatif, kebebasan warga untuk berbicara itu didorong, apapun isinya, baik pro dan kontra. Dalam konteks demokrasi, mereka yang kontra dengan pemerintah harus mendapatkan tempat yang sama dengan mereka yang pro pemerintah,” ujar Burhanuddin.
Kecenderungan pendukung pendukung Prabowo untuk mengkritisi kualitas demokrasi saat ini, menurutnya, boleh jadi merupakan residu dari Pilpres 2019. Namun, sebagai sebuah kajian, pendapat atau persepsi mereka sah-sah saja. Demikian halnya dengan hasil kajian terhadap latar belakang responden berbasis etnis, yang menempatkan Sunda, Minang, dan Betawi sebagai kelompok etnis yang konsisten menilai negatif terhadap persepsi atas tiga indikator yang diukur tersebut.
Penurunan syarat
Peneliti politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, masih adanya jejak polarisasi politik yang merupakan residu dari Pilpres 2019 cederung sulit dihindari karena kontestasi politik itu sangat kompetitif dan melibatkan hanya dua pasangan calon. Kondisi itu membuat masyarakat tidak memiliki banyak pilihan. “Kalau hanya dua calon, mau tidak mau polarisasi itu terjadi,” katanya.
Situasi yang ketat saat Pilpres 2019 membuat mobilisasi politik tidak lagi berakar pada aspek-aspek rasional, tetapi sudah masuk ke dalam pertimbangan yang sifatnya sangat psikologis. Misalnya, orang menjadi suka atau tidak suka karena faktor tertentu yang sifatnya tidak selalu rasional. Banyak pula, menurut Arya, yang mendasarkan pertimbangannya terhadap aspek-aspek identitas.
“Ke depan, sistem pemilu yang kompetitif harus diciptakan, yakni dengan membuka kemungkinan kontestasi tidak hanya terbatas pada dua calon. Jika situasi lebih kompetitif, para kandidat akan lenih kreatif dalam menciptakan materi kampanye, dan tidak melulu saling menyerang dengan basis SARA atau identitas”
“Polarisasi itu memburuk karena faktor hoaks yang tinggi. Sampai di akhir pemilu, hoaks itu tidak pernah terklarifikasi dengan baik. Sekalipun ada bantahan, hal itu tidak sepenuhnya bisa memperbaiki keadaan, sehingga pasca-pemilu, hal itu masih bertahan,” katanya.
Masuknya Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintahan, tidak serta-merta membuat rekonsiliasi mulus, atau menghapus hoaks sepenuhnya. Residu dari polarisasi itu pun masih terasa hingga sekarang. “Ke depan, sistem pemilu yang kompetitif harus diciptakan, yakni dengan membuka kemungkinan kontestasi tidak hanya terbatas pada dua calon. Jika situasi lebih kompetitif, para kandidat akan lenih kreatif dalam menciptakan materi kampanye, dan tidak melulu saling menyerang dengan basis SARA atau identitas,” ungkap Arya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan, partainya mendorong agar ambang batas pencalonan presiden (PT) nol persen. “Adanya presidential threshold itu tidak relevan karena desain pemilu itu serentak antara pilpres dengan pileg. Dengan PT nol persen, ruang itu tetap terbuka lebar,” ujarnya.
Anggota Komisi II dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, fraksinya dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu mengusulkan agar PT sebesar 15 persen. Pertimbangannya, ambang batas 15 persen itu dinilai rasional, yakni tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Namun, berapa PT yang disepakati akan tergantung kepada kesepakatan dan pembahasan dengan fraksi-fraksi lainnya.