Anggaran Daerah yang ”Diendapkan” di Bank Rawan Gratifikasi
Penempatan deposito pemda mendapat bunga yang masuk ke kas daerah. Penempatan deposito pemda akan mendapatkan imbalan atau ”kickback” dari bank. Hal ini membuka kerawanan gratifikasi.
JAKARTA, KOMPAS — Penempatan dalam bentuk deposito yang dilakukan pemerintah daerah di bank rawan terjadi gratifikasi. Motivasi penempatan anggaran daerah di bank bisa berujung pada perilaku kickback atau pemberian imbalan kepada kepala daerah yang tidak pernah dilaporkan sebagai gratifikasi.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri mendapati Rp 252,78 triliun dana pemerintah daerah mengendap di perbankan. Berdasarkan data Kemendagri per 30 September 2020, realisasi belanja secara nasional baru Rp 612,55 triliun atau 51,83 persen dari target Rp 1.181 triliun.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan, pencairan anggaran daerah yang rendah menunjukkan bahwa uang tak beredar di masyarakat. Padahal, saat pandemi, belanja daerah menjadi instrumen terpenting untuk pemulihan ekonomi masyarakat (Kompas, 24/10/2020).
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Senin (26/10/2020), mengatakan, pemerintah daerah memang memiliki dana di perbankan terutama di bank pembangunan daerah (BPD), yakni rekening kas umum daerah.
Oleh karena itu, dari Rp 252,78 triliun tersebut, sebagian berada di perbankan untuk operasional sehari-hari pemerintah daerah, misalnya untuk pembayaran gaji dan operasional pemda termasuk tagihan yang sudah jatuh tempo.
”Sebagian lagi adalah deposito senilai Rp 75,2 triliun atau hampir 30 persen dari dana pemda,” kata Pahala.
Dia menyebutkan, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah adalah tiga wilayah yang dana pemdanya terbanyak ada di perbankan. Jatim dan Jabar masing-masing Rp 27 triliun dan Jateng Rp 21 triliun. Maluku Utara dan Gorontalo adalah terendah masing-masing Rp 1,4 triliun dan Rp 1,3 triliun.
Penempatan dalam bentuk deposito dalam sistem perbankan saat ini hanya dapat dicatat berdasarkan wilayah bank berada. Sebanyak Rp 35,9 triliun deposito di bank berada di ibu kota provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jatim, dan Jateng dengan masing-masing total deposito Rp 14 triliun, Rp 10 triliun, dan Rp 7,3 triliun. Penempatan terendah di ibu kota provinsi Maluku Utara, yaitu Rp 85 miliar.
”Penempatan di ibu kota provinsi ini sulit untuk dianalisis karena bisa jadi pemda di luar DKI Jakarta menaruh deposito di bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), bank swasta nasional, dan Bank DKI. Jadi, tidak dapat diidentifikasi pemda mana yang menaruh dana di Jakarta,” kata Pahala.
Dibandingkan dengan tahun anggaran 2019, pada bulan September, jumlah simpanan pemda di perbankan Rp 254 triliun. Tidak jauh berbeda dengan kondisi ini.
Demikian juga laju serapan anggaran di provinsi maupun kabupaten kota hingga September tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dibandingkan dengan tahun 2019, yaitu berkisar 66-68 persen. Karena itu, tidak ada indikasi pelambatan penyerapan karena dana parkir dalam bentuk deposito.
Pahala mengatakan, tidak ada kewajiban pemda untuk menempatkan dana di BPD dalam bentuk deposito. Namun, sebagai pemegang saham dari BPD, sulit diterima motif penempatan dana di luar BPD di wilayahnya, apalagi sampai harus menempatkan dana di Jakarta.
Penempatan deposito pemda mendapat bunga yang masuk ke kas daerah. Bunga yang diperoleh tidak boleh bersaing setinggi-tingginya terikat dengan tingkat bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Karena itu, penempatan deposito pemda akan mendapatkan imbalan atau kickback dari bank.
Pada 2008, KPK menangani kickback dana deposito pemda yang ditempatkan di BPD. KPK menerjunkan tim yang ditempatkan di Bank Indonesia untuk memeriksa pemberian imbalan dari BPD ke kepala daerah karena penempatan dana pemda. Hasilnya, seluruh BPD memberikan imbalan tersebut.
Kebijakan pimpinan KPK waktu itu adalah meminta BPD untuk tidak lagi memberikan imbalan kepada kepala daerah sebagai individu dan bagi yang menerima agar mengembalikan ke kas daerah. Pemberian kepada kepala daerah tergolong gratifikasi.
Penerimaan gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan ke KPK dalam bentuk laporan gratifikasi. Karena sudah melampaui 30 hari tidak dilaporkan, dapat dikategorikan sebagai suap.
Kemudian praktiknya bergeser. Penempatan dana cenderung ke bank non-BPD. Beberapa pemda bahkan lebih agresif dengan penggunaan non-BPD untuk transaksi operasional hingga pembayaran gaji pegawai pemda. Padahal, pegawai melakukan pinjaman pribadi ke BPD dengan jaminan gajinya.
”Secara regulasi memang tidak ada larangan untuk pemda menaruh deposito di bank umum, selain di BPD. Namun, motivasi penempatan di bank lain, dengan tingkat bunga yang sama, pastilah kickback ke pribadi kepala daerah yang tidak pernah dilaporkan sebagai gratifikasi. Apalagi, penempatan deposito di bank non-BPD di luar wilayah provinsi,” kata Pahala.
Ia menuturkan, pemberian dari bank umum dan BPD untuk pemda tidak dapat disamakan dengan nasabah biasa. Pegawai pemda adalah aparatur sipil negara sehingga pemberian terkait jabatan tentu termasuk dalam penerimaan gratifikasi yang harus dilaporkan dalam 30 hari untuk kemudian ditetapkan oleh KPK menjadi milik negara.
Meskipun bank sudah menyiapkan anggaran untuk nasabahnya, untuk pemda perlakuannya harus berbeda. KPK sudah pernah berkomunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melarang pemberian dari bank umum (Himbara dan swasta nasional) dan BPD setelah berkaca pada kondisi tahun 2008.
Hal lain yang dikomunikasikan dengan OJK adalah pemberian fee dari bank kepada bendahara pemda sebagai upah bagi pengumpulan cicilan pinjaman pegawai ke bank. Praktik ini sudah biasa dan terjadi hampir di seluruh pemda.
KPK merekomendasikan pemberian upah bukan ke bendahara sebagai individu melainkan ke institusi pemda sehingga bukan gratifikasi. Misalnya, atas penempatan dana pemda, bank memberikan bantuan berupa kendaraan dinas, pembangunan fasilitas kerja di pemda, seperti tempat ibadah dan kantin. Alhasil, tercatat sebagai aset pemda dan bukan tergolong gratifikasi.
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Misbakhul Hasan mengatakan, ada tiga persoalan mengapa terjadi dana APBD mengendap di bank.
Pertama, pemda masih gagap dalam realokasi dan refocusing anggaran sebagaimana mandat berbagai peraturan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan dan Kemendagri. Kegagapan juga terjadi dalam penyerapan anggaran karena pemda sibuk melakukan perubahan/penyesuaian APBD. Berdasarkan riset Fitra, APBD 2020 bisa berubah empat kali.
Kedua, karena faktor politis, terutama di daerah-daerah yang saat ini pilkada dan petahana atau pejabat daerah berkontestasi. Anggaran belanja pemda sengaja ditahan dan tidak segera direalisasikan di bulan awal, tetapi akan digelontorkan di akhir tahun menjelang pemilihan. Hal itu dimaksudkan untuk pencitraan politik sekaligus mendompleng pembiayaan politik.
Ketiga, karena pola pikir dan kinerja birokrasi yang masih lama. Alhasil, terlalu santai di awal tahun, tetapi menggenjot serapan di akhir tahun. Selain itu, bisa juga terjadi indikasi korupsi, yakni jika dana APBD yang sengaja diendapkan di bank karena ingin mendapatkan bunganya. Mereka memanfaatkan bunga bank untuk kepentingan pribadi atau pengusaha tertentu.
”Saat pandemi seperti sekarang ini, sangat disayangkan masih ada dana APBD yang sengaja diendapkan di bank. Padahal, anggaran tersebut bisa dibelanjakan untuk program-program yang menyasar masyarakat terdampak Covid-19 atau program-program padat karya, dukungan modal ke UMKM, atau bantuan ke kelompok-kelompok rentan di masyarakat,” kata Misbakhul.