Pembentuk Undang-undang Manfaatkan Situasi Pandemi Covid-19
Padahal, di negara hukum, prinsip ”due process of law” atau proses hukum yang baik, benar, dan adil tidak hanya diterapkan saat penegakan hukum, tetapi juga pembuatan hukum.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Pandemi Covid-19 seolah dimanfaatkan untuk membuat regulasi tanpa mendengarkan aspirasi publik. Padahal, di negara hukum, prinsip due process of law atau proses hukum yang baik, benar, dan adil tidak hanya diterapkan saat penegakan hukum, tetapi juga pembuatan hukum. Jika politisasi hukum terus dibiarkan, hal itu akan memicu kekacauan hukum yang lebih masif.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie dalam webinar ”Evaluasi Bidang Hukum dan Demokrasi” yang diadakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Minggu (25/10/2020), mengatakan, pandemi Covid-19 seolah dibajak dan dimanfaatkan untuk membuat kebijakan publik tanpa mendengarkan aspirasi publik.
Selain Jimly, pembicara dalam webinar itu adalah Direktur Pusat untuk Demokrasi Media Wijayanto, Senior Editor LP3ES Malik Ruslan, dan Peneliti LP3ES Gerardi Yudhistira.
Jimly mencatat sudah ada lima undang-undang yang disahkan di DPR dengan partisipasi publik yang minim. UU dimaksud, antara lain, UU Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19, UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Mahkamah Konstitusi, dan yang terbaru UU Cipta Kerja.
Padahal, sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya memegang teguh prinsip due process of law. Proses hukum yang baik, benar, dan adil itu seharusnya diimplementasikan tidak hanya saat penegakan hukum, tetapi juga pembuatan hukum. Prinsip ini kerap diabaikan dan bahkan ada kecenderungan praktik ugal-ugalan dalam proses pembuatan hukum.
”Politik semakin menentukan perbuatan hukum. Hukum seolah dibuat berdasarkan pesanan. Ini harus diantisipasi ke depan agar tidak menimbulkan dampak yang lebih masif,” ujar Jimly.
Menurut Jimly, seharusnya politik tidak boleh terlalu jauh menentukan hukum di suatu negara. Jika hal itu terjadi, hukum akan menunggu momentum politik, dan menjadi pembenaran terhadap upaya kriminalisasi, politisasi, maupun praktik hukum ”pesanan”.
Jimly memberikan contoh UU Penanganan Covid-19, misalnya, yang memberikan imunitas hukum kepada Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Adapun pejabat lainnya tidak mendapatkan keistimewaan, seperti pejabat keuangan negara. Di sisi lain, peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak diubah di UU 2/2020 tersebut. Akibatnya, diperkirakan akan banyak temuan potensi korupsi di institusi lain tentang penanganan Covid-19.
”Ini akan ribut dan menimbulkan kekacauan hukum nantinya. Bisa muncul banyak temuan dari BPK di luar empat pejabat keuangan yang dilindungi dengan UU Covid-19,” kata Jimly.
Untuk menghentikan politisasi hukum, menurut Jimly, kepemimpinan presiden sangat menentukan. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan dipilih langsung oleh rakyat, presiden sangat menentukan arah pembangunan sistem hukum tersebut.
Presiden diharapkan dapat membuat sistem hukum yang mencerahkan bagi publik. Presiden juga harus bisa mewariskan sistem hukum yang kuat, yang berkontribusi pada kemajuan bangsa. Ketika bangunan sistem itu selesai, harapan akan sistem hukum yang baik bisa terwujud jika ada kesadaran kolektif dan teladan dari para pejabat negara.
Sensitivitas
Malik Ruslan mengatakan, saat ini terlihat tidak ada sensitivitas dari pemerintah dan DPR. Dalam aspek penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, misalnya, tidak ada komitmen yang ditunjukkan untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketika korupsi masih merajalela, KPK justru diamputasi kewenangannya melalui revisi UU KPK pada 2019. Akibatnya, Indonesia berpotensi menjadi tempat bertumbuh dan berkembangnya korupsi dengan baik.
”Kemampuan KPK untuk memberantas korupsi semakin lemah. Dan, itu juga diperparah dengan pasal-pasal imunitas yang ada di UU Penanganan Covid-19 maupun di omnibus law Cipta Kerja,” kata Malik.
Malik mengibaratkan, korupsi di Indonesia sudah seperti pohon yang besar. Korupsi telah menjadi budaya dan merambah ke mana-mana. Namun, dengan revisi UU KPK, korupsi justru ditangani dengan cara yang mundur ke belakang. Cara-cara itu tidak sepadan dengan korupsi yang terjadi di Indonesia.
”Komitmen penegakan hukum terutama pemberantasan KKN sangat lemah. Regulasi yang ada justru disimplifikasi untuk menumbuhsuburkan praktik korupsi,” kata Malik.
Kualitas demokrasi menurun
Adapun Wijayanto menyoroti kian mundurnya kualitas demokrasi di Indonesia. Kemunduran demokrasi ini menjadi fenomena global karena demokrasi yang terjadi di dunia saat ini semakin liberal. Itulah yang pada akhirnya membuat resesi demokrasi secara global.
”Meskipun kita memiliki pemimpin yang dipilih berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, justru pemimpin tersebut sekarang memunggungi prinsip-prinsip demokrasi,” kata Wijayanto.
Dari aspek kebebasan sipil, misalnya, Wijayanto melihat ada pola pelemahan masyarakat sipil yang kritis pada RUU yang bermasalah. Pola-pola pelemahan itu terutama terlihat di ruang publik digital. Ada pasukan siber yang sengaja digerakkan untuk memadamkan sikap kritis publik. Bahkan, kerap terjadi teror siber pada para pengkritik dengan modus peretasan akun sosial media, surat elektronik, maupun aplikasi pesan.
Selain itu, kerap dijumpai tindakan aparat kepolisian yang eksesif dalam menangani unjuk rasa, juga pada jurnalis yang meliput unjuk rasa.
Kooptasi juga dinilainya terjadi di kampus. Sejumlah regulasi dibuat untuk membatasi kebebasan berekspresi pelajar dan mahasiswa.
”Pelemahan terhadap kebebasan sipil itu pada akhirnya membuat orang semakin takut untuk bersuara dan menyatakan pendapatnya,” kata Wijayanto.
Gerardi Yudhistira menambahkan, demokrasi semakin menurun di ruang publik karena terdampak oleh pandemi Covid-19. Covid-19 menekan ruang-ruang kritis dan meneguhkan kembali narasi kebenaran ala negara. Hal itu tidak bisa terus dibiarkan karena mengancam kebebasan sipil dan mendegradasi nilai-nilai demokrasi.