Pembuatan Aturan Turunan RUU Cipta Kerja Perlu Melibatkan Pemda
Pemerintah pusat diminta untuk melibatkan pemerintah daerah dalam membuat peraturan sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah pusat diminta menghargai hak otonomi daerah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat diminta melibatkan pemerintah daerah dalam penyusunan aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan begitu, aturan yang muncul bisa menyelesaikan persoalan yang ada, baik mengundang investasi maupun tetap menghargai hak otonomi daerah.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dalam diskusi bertajuk ”Omnibus Law dan Otonomi Daerah”, Sabtu (24/10/2020), mengatakan, substansi UU Cipta Kerja sejatinya tidak menarik kewenangan daerah. Undang-undang tersebut hanya memberikan kewenangan bagi pusat untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam proses perizinan.
Penetapan NSPK melalui peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri itu juga harus melalui kajian bersama dengan pemda.
Namun, lanjut Djohermansyah, penetapan NSPK melalui peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri itu juga harus melalui kajian bersama dengan pemda. Pelibatan ini penting agar pemda tidak merasa dilangkahi kewenangannya oleh pusat.
”Jadi, tidak serta-merta daerah itu dilupakan. Daerah tentu akan marah. Mereka harus ikut terlibat atau diajak dalam perumusan PP atau peraturan menteri supaya kepentingan daerah bisa dimunculkan di sana,” ujar Djohermansyah.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, di antaranya, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, dan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sulawesi Selatan Andi Rahmat.
Sebelumnya, berdasarkan kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sejumlah kewenangan pelaksanaan urusan, seperti diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditata ulang di UU Cipta Kerja. Persetujuan mengenai kesesuaian pemanfaatan ruang, tarif retribusi pajak, serta penetapan NSPK, misalnya, berada di pemerintah pusat. Padahal, kewenangan-kewenangan itu menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah selama ini.
Selama ini, pemberian kewenangan penuh kepada pemda terkait perizinan malah menciptakan persoalan, di antaranya layanan perizinan yang tidak ramah investor, penyalahgunaan izin, kerusakan ekologis, serta sulitnya pembinaan dan pengawasan dari pusat.
Djohermansyah menduga, sebenarnya ada sejumlah alasan mengapa kontrol itu akhirnya diambil alih oleh pusat. Ia melihat, selama ini, pemberian kewenangan penuh kepada pemda terkait perizinan malah menciptakan persoalan, di antaranya layanan perizinan yang tidak ramah investor, penyalahgunaan izin-izin, kerusakan ekologis, serta sulitnya pembinaan dan pengawasan dari pusat.
”Karena itu, konsep terbaik adalah mencari titik moderat, yang mana yang bisa diurus oleh daerah harus diserahkan ke daerah. Tetapi, in case mereka tidak patuh NSPK, baru ditarik. Ini yang disebut desentralisasi terkendali,” tuturnya.
Djohermansyah pun berpesan, apabila kelak daerah tidak bisa mematuhi NSPK yang telah ditetapkan, pusat juga harus memberikan penguatan kapasitas daerah terlebih dahulu, baik infrastruktur maupun kapasitas sumber daya manusia.
Siti Zuhro sependapat bahwa undang-undang apa pun tidak boleh melepaskan nuansa filosofi, teks, dan konteks dari desentralisasi. Pusat harus menghargai hak otonomi daerah.
Siti mengingatkan, pada 1958, pemberontakan dari pemda terhadap pusat pernah muncul ketika daerah merasa tidak puas, baik dari aspek ekonomi, rasa keadilan, maupun politik.
”Jangan lupakan sejarah dan itu tentu menjadi pelajaran berharga bagi kita. Ketika ada gerakan reformasi tahun 1998, kita bersepakat untuk melaksanakan sistem desentralisasi. Semangat ini tidak boleh mundur kembali,” ujarnya.
Penyelesaian persoalan UU Cipta Kerja ini, menurut Siti, harus belajar dari pengalaman itu. Pengabaian terhadap hak otonomi daerah rentan memunculkan konflik. Karena itu, pusat dan daerah harus saling memperkuat pola relasi yang sinergis dan harmonis sehingga dapat bermanfaat untuk masyarakat lokal.
”Dalam keadaan era disrupsi saat ini, dibutuhkan sinergi koordinasi pembinaan dan pengawasan terhadap daerah atau antarjenjang pemda. Daerah tak perlu resisten terhadap kebijakan pusat. Begitu pula sebaliknya, pusat tak perlu membuat aturan-aturan yang menekan hak daerah. Jadi, pola relasi itu yang harus dibenahi,” tuturnya.
Dalam keadaan era disrupsi saat ini, dibutuhkan sinergi koordinasi pembinaan dan pengawasan terhadap daerah atau antarjenjang pemda.
Pusat, kata Siti, juga harus memikirkan dampak negatif dari penarikan kewenangan daerah yang sewenang-wenang. Menurut dia, hal itu bisa membuat daerah lepas tanggung jawab jika terjadi persoalan kerusakan ekologis dan lain-lain di daerah.
”Daerah-daerah bisa saja merasa tidak memiliki tanggung jawab, termasuk pascapenambangan dan kemungkinan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan,” katanya.
Andi Rahmat menghargai niat pusat yang ingin membuat terobosan aturan untuk mempermudah proses perizinan di daerah. Namun, ia pun berharap agar hak otonomi daerah dihargai karena nyatanya selama ini investasi di daerah tetap bisa berjalan. Ekonomi lokal pun tetap bisa tumbuh.
Dari kacamata ekonomi, sebenarny, konflik perizinan antara pusat dan daerah ini lebih bersifat teknis, misalnya tumpang tindih izin. ”Jadi, menurut saya, bukan pada kerangka otonomi daerah itu sendiri. Saya sependapat agar jangan sampai UU Cipta Kerja ini malah menghilangkan semangat desentralisasi,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan, setelah RUU Cipta Kerja ditandatangani Presiden Joko Widodo sebagai tanda RUU sah sebagai undang-undang, pemerintah akan segera menerbitkan aturan turunan dari UU itu.
Dalam menyusun peraturan turunan, dia berjanji untuk melibatkan asosiasi pemerintah daerah. ”Kami masukkan dalam tim. Mari kita identifikasi jenis-jenis usaha apa saja yang harus disederhanakan dan bagaimana prosedurnya, itu NSPK. Kriterianya seperti apa, yang penting intinya adalah mempermudah,” ujar Tito.