Masyarakat sipil menilai Indonesia menghadapi tantangan kualitas demokrasi, terutama terkait kebebasan berpendapat. Adapun pemerintah menyatakan tak menghalangi masyarakat berpendapat.
Oleh
Iqbal Basyari
·5 menit baca
Pada 20 Oktober 2020, genap setahun Presiden Joko Widodo, yang di periode kedua pemerintahannya berpasangan dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, bertugas. Di tengah momentum ini, sejumlah elemen masyarakat sipil mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap penguatan demokrasi.
Dalam beberapa pembuatan undang-undang, seperti RUU Cipta Kerja, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (akhir periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi), serta UU Pertambangan Mineral dan Batubara, masyarakat turun ke jalan, berdemonstrasi menyuarakan aspirasi. Unjuk rasa tersebut diakui kelompok masyarakat sipil dilakukan karena saluran-saluran politik formal di eksekutif dan legislatif dinilai tidak mampu merepresentasikan kehendak rakyat.
Di sisi lain, kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu prinsip demokrasi dinilai menjadi persoalan yang paling mendesak diselesaikan pemerintah di bidang politik dan keamanan. Hasil jajak pendapat melalui telepon oleh Litbang Kompas, 14-16 Oktober 2020, menunjukkan 33,5 persen responden menilai kebebasan berpendapat menjadi persoalan paling mendesak diselesaikan di sektor politik dan keamanan. Ada di urutan kedua adalah polemik pembentukan UU (19,1 persen).
Survei terbaru Indo Barometer menunjukkan, 56 persen responden menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan di tahun pertama periode kedua Presiden Jokowi. Adapun 37 persen responden tak puas, sedangkan 6 persen tak menjawab dan tidak tahu.
Responden yang menyatakan tidak puas mayoritas berkaitan dengan kebijakan dan demokrasi. Ketidakpuasan itu disebabkan kebijakan pemimpin hanya untuk golongan tertentu (30 persen), demokrasi berjalan belum sepenuhnya (16 persen), pelaksanaan demokrasi kurang sehat (15 persen), keadaan ekonomi belum berubah (9,8 persen) dan banyaknya korupsi (9,4 persen).
Sementara itu, responden yang menyatakan puas terhadap kinerja pemerintah, beralasan bebas memilih pemimpin (35,9 persen), melahirkan pemimpin sesuai keinginan masyarakat (16 persen), sesuai hati nurani (8 persen), sistem demokrasi terlaksana dengan aman (5,8 persen), dan ada perubahan lebih baik (5 persen).
”Situasi pandemi Covid-19 sangat berpengaruh,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Setahun Jokowi, Demokrasi Jalan di Tempat?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (21/10/2020) malam.
Menurut Qodari, agak sulit membandingkan penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi di periode pertama dan kedua. Sebab, pada awal periode kedua Indonesia berada dalam kondisi pandemi Covid-19 yang sangat memengaruhi penilaian masyarakat.
Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu hadir pula narasumber lain yang tersambung melalui telekonferensi video, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, dan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira.
Tantangan demokrasi
The Australian National University dan ISEAS Singapura baru-baru ini menerbitkan buku bertajuk Demoracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? (2020). Allen Hicken, dalam salah satu bab di buku itu, yang bertajuk ”Indonesia’s Democracy in a Comparative Perspective” berpendapat, demokrasi di Indonesia tidaklah sempurna. Namun, ia mengatakan, secara umum, demokrasi Indonesia dapat dikatakan sehat apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangganya.
Hanya, ia juga mencatat, ada beberapa indikator yang memberi peringatan yang perlu mendapat perhatian untuk menghindarkan Indonesia menuju otokratisasi. Hal itu ialah parpol yang lemah, klientelisme elektoral, polarisasi politik dan sosial yang berkontribusi pada lingkungan yang buruk bagi kelompok masyarakat sipil, serta melemahkan kepercayaan pada hasil pemilihan, dan memicu upaya kriminalisasi terhadap perbedaan pendapat.
Dalam diskusi, Asfinawati menyoroti skor indeks demokrasi Indonesia yang cenderung turun. Indeks Demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan, pada 2016 skor Indonesia 6,97 dan menurun jadi 6,39 pada 2017. Kemudian, pada 2018 skornya konsisten di 6,39 dan pada 2019 menjadi 6,48. Dari skala 0-10, makin mendekati 10, makin baik capaian demokrasi.
Menurut dia, ada perbedaan antara jargon dan kenyataan dalam setahun di periode kedua, pemerintahan Presiden Jokowi. Salah satunya tentang kebebasan berpendapat yang diklaim selalu digaungkan pemerintah.
Gejalanya, kata dia, ialah penangkapan dan kekerasan terhadap demonstran, aktivis, dan jurnalis. Saat unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja, 5.198 demonstran ditangkap polisi, tetapi hanya puluhan orang yang diproses. Menurut Asfinawati, penangkapan itu dilakukan sewenang-wenang dan tak untuk keperluan proses pidana karena alat bukti yang tak cukup.
Bahkan, ada upaya mempersulit pengacara yang akan mendampingi orang-orang yang ditangkap. Ia menduga hal itu lantaran kondisi korban yang mengalami luka sehingga baru bisa ditemui ketika lukanya sudah sembuh.
Qodari menuturkan, penangkapan aktivis atau jurnalis menjadi dinamika dalam semua pemerintahan. Namun, secara garis besar, Presiden Jokowi, kata dia, masih menjaga pilar demokrasi, yakni kontrol politik dan terpenuhinya hak sipil dan politik.
Merespons Asfinawati, Mahfud MD menekankan, pemerintah tidak pernah menghalangi masyarakat menyampaikan pendapat. Pengunjuk rasa yang ditangkap merupakan mereka yang terbukti melakukan perusakan.
”Adanya demonstrasi menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik. Pemerintah menghormati kebebasan berpendapat seperti diamanatkan dalam konstitusi,” kata Fadjroel.
RUU Cipta Kerja
Bhima menuturkan, penolakan terhadap RUU Cipta Kerja tidak hanya berasal dari kalangan buruh, tetapi juga pelaku industri dari luar negeri. Keberadaan UU itu dikhawatirkan membuat industri dari negara maju merelokasi pabriknya karena pemerintah dinilai tidak lagi melindungi hak-hak pekerja dan lingkungan.
”Mereka merasa UU ini tidak sesuai dengan kebutuhan. Ini langkah mundur, bukan langkah maju. Harusnya yang diciptakan UU tentang perlindungan hak pekerja yang lebih baik karena pekerja rentan terkena dampak pandemi,” ujarnya.
Menurut Mahfud, pemerintah telah melibatkan partisipasi masyarakat, terutama kelompok buruh. Ada enam kali pertemuan dengan Kemenko Polhukam dan 63 pertemuan dengan Kementerian Ketenagakerjaan. ”Undang-undang ini sudah melalui proses diskusi, jadi tidak ada kebijakan sepihak,” tutur Mahfud.
Fadjroel menambahkan, pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan selama setahun. Prosesnya melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Salah satunya seperti pengurangan dari 15 kluster menjadi 11 kluster.
”Dinamika perubahan pembahasan UU mencerminkan pemerintah dan DPR sebenarnya terus-menerus berupaya menerima masukan dari masyarakat,” ujarnya.