Penghapusan Pasal Dinilai Cerminan Ketergesaan Proses
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, terdapat koreksi terhadap Pasal 46 Undang-Undang Migas yang dicantumkan di RUU Cipta Kerja. Hal ini dinilai sebagai ketidakcermatan penyusunan undang-undang.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu pasal di Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan dihapus Sekretariat Negara setelah berkonsultasi dan melakukan konfirmasi kepada Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Baleg DPR menyebut penghapusan pasal itu disetujui, baik oleh DPR maupun pemerintah, karena tak mengubah substansi yang disepakati di rapat Panitia Kerja Baleg DPR.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, terdapat koreksi terhadap Pasal 46 Undang-Undang Migas yang dicantumkan di dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 46 itu isinya tentang tugas Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pasal itu disebut telah disepakati untuk dikembalikan kepada UU Migas atau UU yang sudah ada.
”Jadi, kebetulan Setneg yang menemukan. Jadi, itu seharusnya memang dihapus. Karena itu terkait dengan tugas BPH Migas. Awalnya itu ada keinginan pemerintah mengusulkan pengalihan kewenangan BPH Migas mengenai toll fee, yakni dari BPH ke ESDM. Atas dasar itu, kami bahas di Panja dan diputuskan tidak diterima di Panja. Tetapi, dalam naskah yang tertulis itu, yang kami kirim ke Setneg ternyata masih tercantum ayat 1-4,” kata Supratman.
Terkait perubahan itu, karena masih merujuk pada keputusan Panja, Supratman menilai, tidak ada perubahan substansi di RUU Cipta Kerja. Perubahan di Setneg itu hanya terkait dengan teknis karena masih ada pencantuman pasal yang memang seharusnya dihapuskan di dalam rapat Panja Baleg.
Dalam koreksi Pasal 46 yang dilakukan oleh Setneg, menurut Supratman, Setneg memang mengklarifikasi terlebih dulu kepada Baleg. Selanjutnya, selaku pimpinan Baleg, ia berkonsultasi dengan anggota Panja yang lain dan mendapatkan keyakinan bahwa memang pasal itu seharusnya tidak ada.
”Sebab, seharusnya dihapus dan kembali ke UU eksisting. Jadi, tidak ada di UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Ahli perundang-undangan dari Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, penambahan atau pengurangan pasal setelah suatu RUU disetujui dalam Rapat Paripurna DPR seharusnya tidak boleh terjadi. ”Menurut aturan, tidak boleh lagi seharusnya menghapus pasal atau substansi itu ketika sudah tidak lagi masuk di dalam tahap pembahasan UU. Ini, kan, sudah selesai pembahasan tingkat kedua (persetujuan DPR), harusnya tidak ada lagi perubahan substansi,” katanya.
Perubahan apa pun terkait dengan materi, baik penambahan maupun pengurangan pasal, menurut Bayu, seharusnya diselesaikan sebelum tahap persetujuan di DPR diambil. ”Peristiwa ini menunjukkan ketidakcermatan, ketergesa-gesaan, dan tidak hati-hati dalam penyusunan RUU,” ujarnya.
Idealnya, ketika diketahui terjadi kesalahan dalam pengundangan, koreksinya dilakukan melalui legislative review atau perbaikan legislasi melalui kajian lembaga legislatif. Bayu mengatakan, mekanisme itu dapat diambil guna menghindari celah adanya persoalan formil dalam perubahan suatu RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dan pemerintah.
Sementara itu, terkait format pengundangan yang berbeda antara DPR dan Setneg, hal itu diatur di Lampiran II UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut dia, baik pemerintah maupun DPR seharusnya merujuk ke lampiran itu.
Dengan begitu, tidak ada lagi pertanyaan dari publik mengenai perbedaan jumlah halaman antara draf dari DPR dan pemerintah. Sebagaimana diketahui, draf yang dikirim dari DPR berjumlah 812 halaman, sedangkan setelah sampai di Setneg, format halaman berubah menjadi 1.187 halaman.