Mahfud MD: Pembenahan Hukum Butuh Kesadaran Kolektif
Menko Polhukam Mahfud MD menekankan pentingnya kesadaran kolektif dalam perbaikan penegakan hukum. Setahun terakhir, pemerintah sudah berupaya bangkit dari keterpurukan masa lalu.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
Di tengah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum, pemerintah akan terus memperbaiki penegakan hukum agar berkeadilan. Kepercayaan masyarakat akan dijadikan modal sosial untuk mendorong pembenahan.
Dalam wawancara di Jakarta, Rabu (21/10/2020), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD merespons hasil jajak pendapat melalui telepon yang dilakukan Litbang Kompas terkait setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin. Jajak pendapat menunjukkan, 32,3 persen responden menyatakan puas atas kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan kepuasan di sektor perekonomian (42,6 persen), kesejahteraan sosial (52,2), serta politik dan keamanan (44,1).
Soal ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang lebih rendah dibandingkan sektor lain. Bagaimana respons Anda?
Orang bisa tidak puas, tetapi yang saya lihat tingkat kepercayaan masih tinggi. Penyebab orang tidak puas bisa karena situasi, konfigurasi kepemimpinan, dan sumber daya manusianya yang buruk sehingga sulit puas. Namun, karena tingkat kepercayaan masih tinggi, ini bisa jadi modal sosial untuk membenahi aspek penegakan hukum. Caranya adalah dengan melaksanakan aturan tertib birokrasi, jangan koruptif. Penegakan hukum juga harus adil, dengan pengadilan yang benar. Ke depan, proses seleksi penegak hukum harus dilakukan lebih baik.
Pemerintah masih memiliki modal sosial besar untuk memperbaiki. Namun, perbaikan itu kembali bertumpu pada sikap moral. Butuh kesadaran kolektif, bukan perombakan sistemik. Aturan yang baik tanpa didukung moral yang baik juga tak akan menghasilkan hukum yang baik.
Bagaimana evaluasi Anda tentang capaian dan tantangan pemerintah pada tahun pertama, dari aspek penegakan hukum?
Hukum harus dibedakan, yaitu pembentukan hukum (legislatif), melaksanakan hukum, termasuk administrasinya, dan penegakan hukum. Ini ada stakeholder-nya masing-masing. Kalau ada pendapat publik, ada ketidakpuasan itu kita maklum karena dalam pembuatan hukum sering dipersepsikan tidak cermat. Di pengadilan yang merupakan ranah yudikatif, juga ada ketidakpuasan karena dianggap hukuman-hukuman tak adil. Akibatnya, pembangunan hukum dianggap jelek. Padahal di pemerintahan, bidang saya di tengah, yaitu melaksanakan hukum.
Setahun terakhir, pemerintah sudah mencoba bangkit dari keterpurukan pada masa lalu. Misalnya, ada buron yang sudah lama kabur ke luar negeri, kami kejar. Pembobol kas Bank BNI, Maria Pauline Lumowa, 17 tahun jadi buron, Joko S Tjandra 11 tahun, itu kami tangkap semua. Orang awalnya pesimistis tidak bisa, tetapi kami coba bisa.
Kemudian, orang dulu sulit membayangkan pemerintah bisa memotong tangannya sendiri. Namun, kasus-kasus korupsi yang melibatkan BUMN kami proses hukum, seperti kasus korupsi Jiwasraya dan Garuda Indonesia. Pejabat pemerintah yang terlibat dalam kasus Joko Tjandra, misalnya, petinggi Polri dan jaksa, juga diadili secara terbuka.
Saya tidak katakan sudah berhasil, tetapi di level pemerintah, kami berusaha. Kami juga sedang siapkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka perlindungan hak asasi manusia, dan Inpres Tim Pemburu Koruptor dan Pengembalian Aset Negara.
Bagaimana strategi menyinergikan penegak hukum agar ke depan kinerjanya lebih baik?
Dari sisi teknis hukum sebagai norma, memperbaiki itu sangat sulit karena bergantung kesadaran moral masing-masing. Yang kami perlukan sekarang ialah kesadaran moral dan kolektif sebagai bangsa. Karena, sistem masih bisa diakali jika standar moral berbeda. Semua pihak berperan di sini, terutama adalah pimpinan setiap institusi. Bagaimana mereka memiliki kesadaran moral sehingga arahnya sama untuk penegakan hukum.
Kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan KKN dinilai kian melemah setelah revisi UU KPK. Respons Anda?
Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, KPK adalah lembaga yang ada di ranah eksekutif, tetapi bukan bagian dari lembaga eksekutif. KPK bukan bawahan Presiden, tetap independen. Karena itu, saya tak bisa ikut campur.
Namun, karena ini pengurus baru, pimpinan baru, sistem juga baru, mungkin belum efektif juga dalam pekerjaannya 10 bulan terakhir. KPK masih mencari keseimbangan. Kalau dilihat produktivitas pemeriksaan, penetapan tersangka, terutama kasus di daerah, tak kurang. Langkah yang dulu disebut OTT (operasi tangkap tangan) masih jalan dan cukup produktif meski tak dipublikasikan.
Kebebasan berpendapat dinilai jeblok. Ada yang menyebut rezim digital otoritarian. Pendapat Anda?
Menurut saya, penegakan hukum untuk konten hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi di dunia maya itu harus dilakukan. Penegakan hukum penting karena membuat orang menjadi takut dan bisa jadi shock therapy.
Namun, penegakan hukumnya harus adil. Jangan sampai karena beda pijakan politik saja ditangkap. Siapa pun yang melakukan tindakan harus diberi standar hukuman yang sama. Ini yang harus dijawab ke depan supaya masyarakat tak lagi mempersepsikan tidak adil.