KPK Ingatkan Calon di Pilkada Tak Asal Terima Donasi dari Pengusaha
Harapan imbalan dari pengusaha ketika calon kepala/wakil kepala daerah terpilih dan menjabat kerap berujung pada korupsi. KPK juga ingatkan potensi penyalahgunaan bantuan sosial untuk masyarakat terdampak Covid-19.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan calon kepala/wakil kepala daerah di pemilihan kepala daerah agar tidak asal menerima donasi dari pengusaha. Harapan imbalan dari pengusaha ketika calon terpilih dan menjabat kerap berujung pada korupsi.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam webinar bertajuk ”Pilkada Berintegritas 2020”, Kamis (22/10/2020), mengatakan, donasi yang diberikan pengusaha kepada kandidat kepala daerah tak ada yang gratis. Jika calon itu terpilih, pengusaha akan berharap balas budi.
”Jadi, enggak ada makan siang yang gratis. Mereka (pengusaha) selalu berharap ada imbalannya,” ujar Alexander.
Dalam webinar itu, hadir sejumlah narasumber, di antaranya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Tengah (Kalteng) Harmain Ibrohim, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalteng Rudyanti Dorotea Tobing, dan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Kalteng Habib Ismail Bin Yahya.
Dari hasil kajian KPK, ada sejumlah hal yang diharapkan pengusaha setelah memberikan donasi, di antaranya kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan (95,4 persen), kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah (90,7 persen), dan keamanan dalam menjalankan bisnis yang sudah ada (84,8 persen).
Tiga hal itu, menurut Alexander, masih masuk akal jika dilakukan secara transparan oleh kandidat terpilih. ”Kalau tujuannya agar timbul persaingan yang fair (adil) itu bagus. Sebab, perusahaan kadang-kadang sulit ikut lelang karena tak bisa masuk sistem pengadaan barang/jasa elektronik,” tuturnya.
Namun, lanjut Alexander, ada dua harapan pengusaha yang tidak wajar dan rentan terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Contohnya, kemudahan akses bagi donatur atau kolega untuk menjabat di pemerintahan atau badan usaha milik daerah (81,5 persen) dan kemudahan akses dalam menentukan kebijakan atau peraturan daerah (72,2 persen).
”Ini sudah enggak bener harapannya. Tak usah diperhatikan. Biasanya, calon kepala daerah itu malah menjanjikan donatur bisa mendapatkan kesempatan di dinas-dinas yang berkuasa atas anggaran proyek-proyek,” ucap Alexander.
Penyalahgunaan bansos
Di tengah pandemi Covid-19, Alexander juga mengingatkan potensi penyalahgunaan dana bantuan sosial. Dari 270 daerah yang menggelar pilkada, terdapat 58 daerah (13,7 persen) menganggarkan jaring pengaman sosial (JPS) di atas 40 persen dari total anggaran penanganan Covid-19.
Selain itu, setidaknya ada 31 daerah, yang calonnya adalah petahana, menganggarkan JPS lebih dari 50 persen. Bahkan, enam daerah di antaranya mengalokasikan JPS lebih dari 75 persen dan satu daerah mengalokasikan 100 persen anggaran penanganan Covid-19 untuk JPS.
”Ini perlu mendapat perhatian karena ada korelasi antara realokasi anggaran Covid-19 dan pencalonan petahana. Dari sini, kontrol DPRD harus juga kuat,” ujar Alexander.
Rudyanti Dorotea Tobing menyampaikan, potensi penyalahgunaan bansos termasuk rentan terjadi di Kalteng. Hal itu pun masuk dalam indeks kerawanan Pilkada 2020 yang disusun oleh Bawaslu.
Bansos, kata Rudyanti, seharusnya tidak boleh dipolitisasi, di antaranya tidak boleh diberi foto calon kepala daerah ataupun simbol partai politik.
”Tidak boleh bansos yang berasal dari anggaran daerah dan negara diatasnamakan parpol atau calon kepala daerah. Itu termasuk penyalahgunaan atau korupsi anggaran penanganan Covid-19,” kata Rudyanti.
Selain itu, menurut Rudyanti, calon juga harus menghindari politik uang. Sebab, politik uang merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih dan merusak tatanan demokrasi.
Habib Ismail Bin Yahya sependapat bahwa pilkada yang diawali dengan politik uang akan menghasilkan pemimpin yang tidak berintegritas dan bermental korupsi. Apalagi, ia mengetahui bahwa pemda memiliki sejumlah area rawan korupsi, seperti perencanaan anggaran, pendapatan daerah, pengadaan barang/jasa, perjalanan dinas, dan perizinan.
”Di daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, potensi korupsi ini sangat besar,” ucapnya.