Bawaslu menemukan 36 dugaan pelanggaran iklan kampanye di media sosial pada 10 hari masa kampanye kedua. Mengacu pada peraturan KPU, iklan kampanye di medsos baru dapat dilakukan pada 14 hari sebelum masa tenang.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah diketahui mencuri start iklan di media sosial sebelum waktu yang telah ditetapkan. Badan Pengawas Pemilu meminta platform media sosial menonaktifkan iklan tersebut.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 10 hari kedua pelaksanaan kampanye (6-15 Oktober) menemukan 36 dugaan pelanggaran kampanye di media sosial. Dari temuan dugaan pelanggaran itu, tiga di antaranya berkaitan dengan iklan di media sosial.
”Kami menindaklanjutinya dengan meminta platform media sosial untuk menonaktifkan materi iklan kampanye karena belum waktunya tahapan iklan di media sosial,” kata anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, Rabu (21/10/2020).
Pada 10 hari kedua pelaksanaan kampanye (6-15 Oktober), Bawaslu menemukan 36 dugaan pelanggaran kampanye di media sosial.
Dalam Pasal 47 Ayat (6) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2020 disebutkan, penayangan iklan kampanye di media sosial dilaksanakan 14 hari sebelum dimulai masa tenang. Selama belum memasuki masa itu, kandidat bisa berkampanye di media sosial menggunakan akun-akun resmi yang telah terdaftar. Untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, paling banyak 30 akun dan pemilihan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota maksimal 20 akun.
”Pasangan calon bisa memaksimalkan akun-akun yang telah terdaftar untuk berkampanye tanpa harus menggunakan iklan berbayar karena belum saatnya,” ujar Fritz.
Meskipun dalam pemantauan Bawaslu hanya menemukan tiga dugaan pelanggaran terkait iklan di media sosial, penelusuran Kompas menggunakan fitur Ad Library di Facebook menemukan puluhan iklan saat menggunakan kata kunci ”pilkada” atau nama kandidat yang berkontestasi dalam pilkada.
”Kami juga menemukan beberapa temuan iklan kampanye di media sosial meskipun belum masuk masa iklan kampanye pilkada di media sosial,” kata peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Alia Yofira Karunian, saat diskusi kelompok terbatas bertajuk ”Mendorong Transparansi Iklan Politik di Media Sosial: Tantangan dan Peluangnya”.
Pengawasan yang dilakukan Bawaslu masih terfokus pada kampanye konvensional, seperti pertemuan terbatas. Pengawasan kampanye di media sosial masih kurang.
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif Violla Reininda menilai, pengawasan yang dilakukan Bawaslu masih terfokus pada kampanye konvensional, seperti pertemuan terbatas. Pengawasan kampanye di media sosial masih kurang sehingga pelanggaran-pelanggaran tidak terdeteksi.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia menuturkan, aturan main dalam kampanye di media sosial belum banyak diatur. Sebagian besar pengaturan tentang kampanye terkait dengan kampanye konvensional. Padahal, dalam beberapa kali penyelenggaraan pemilu dan pilkada, kampanye di media sosial cenderung menguat.
”Kampanye di media sosial belum diatur secara detail dalam regulasi yang ada. Peraturan KPU hanya menyebutkan ada kampanye di media sosial, tetapi belum sampai mengatur hingga detail,” ucapnya.
Aturan mengenai kampanye di media sosial sebaiknya segera dibuat karena kecenderungannya berisi konten-konten negatif dan menjatuhkan lawan politik.
Aturan mengenai kampanye di media sosial sebaiknya segera dibuat karena kecenderungannya berisi konten-konten negatif dan menjatuhkan lawan politik. Jika terus dibiarkan, ia khawatir akan ada dampak lanjutan dari konten-konten negatif yang dialami pemilih.
”Termasuk soal pembiayaan kampanye di media sosial karena berimplikasi pada pengawasan dana kampanye, kecuali iklan itu dibayar oleh penyelenggara pemilu,” kata Ferry.
Sekretaris Eksekutif Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada Dewa Ayu Diah Angendari menilai, iklan kampanye di media sosial membuka peluang bagi kandidat yang memiliki dana terbatas untuk memaksimalkan kampanye. Sebab, biaya untuk kampanye di media sosial cenderung lebih rendah dibandingkan beriklan di media arus utama.
Iklan di media sosial juga perlu pengaturan lebih ketat karena siapa pun bisa membuat iklan di berbagai platform yang tersedia.
Namun, iklan di media sosial juga perlu pengaturan lebih ketat karena siapa pun bisa membuat iklan di berbagai platform yang tersedia. Akibatnya, penelusuran dana kampanye menjadi lebih sulit karena tidak menjadi satu dengan rekening dana kampanye pasangan calon.
”Pendukung dan konsultan bisa memasang iklan,” ucapnya.
Manajer Hubungan Pemerintahan Facebook Indonesia Noudhy Valdryno mengatakan, Facebook memiliki fitur untuk melihat pemasang iklan, termasuk iklan kampanye. Pengguna juga bisa mematikan iklan yang tampil di halaman muka.