Pencegahan Korupsi Dipertahankan
KPK akan mempertahankan aspek pencegahan korupsi yang selama ini telah berjalan. Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan, memerangi korupsi tak cukup dengan penindakan semata
JAKARTA, KOMPAS — Pemberantasan korupsi tidak bisa terjebak hanya pada sebatas aspek penindakan semata. Aspek pencegahan yang menonjol harus dipertahankan. Dengan Undang-Undang KPK hasil revisi, KPK telah menjalankan Aksi Nasional Pencegahan Korupsi dengan capaian 58,52 persen.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri mengatakan, pemberantasan korupsi adalah tugas seluruh unsur negara ini. Bagi KPK, pemberantasan korupsi adalah tugas utama.
“Saya akan laksanakan tugas dan perjuangkan pemberantasan korupsi untuk negara sesuai amanat undang-undang. Kalaupun saya harus berharap, tentu harapannya adalah negara dan pemerintahan ini harus dikelola bebas dari korupsi. KPK tentu saja akan di garda terdepan,” kata Firli, Selasa (20/10/2020).
Ia menegaskan, kepercayaan rakyat kepada negara sangat besar dan mahal. Alhasil, tidak bijak bila kepercayaan rakyat terhadap pemberantasan korupsi cukup dijawab dengan penanganan yang bersifat hiburan.
Penanganan korupsi tidak boleh menjauh dari inti atau akar permasalahan. Praktik korupsi yang meluas dan sistematis merupakan bentuk nyata, sehingga hak-hak sosial serta ekonomi masyarakat diamputasi oleh para koruptor.
Baca juga: Revisi UU, Titik Balik Pemberantasan Korupsi
Ia meyakini, agenda pemberantasan korupsi tidak bisa terjebak hanya pada sebatas aspek penindakan semata, tetapi mengutamakan aspek pencegahan. Aspek pencegahan yang menonjol adalah salah satu kemajuan yang terus dipertahankan. Lima daerah tertinggi yang menerapkan fokus pencegahan, yaitu Bali (75 persen), Jawa Barat (71, 88 persen), Kepulauan Riau (71, 88 persen), DKI Jakarta (66,67 persen) dan Nusa Tenggara Timur (62,5 persen).
Kementerian lembaga yang mendapatkan skor pencegahan korupsi tertinggi adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan (93,74 persen); Badan Informasi Geospasial (83,95 persen); Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (77,79 persen); Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (73,44 persen); serta Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (70,85 persen).
Agenda pemberantasan korupsi tidak bisa terjebak hanya pada sebatas aspek penindakan semata, tetapi mengutamakan aspek pencegahan
Firli mengatakan, pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tentu berbeda dengan pemerintahan Jokowi periode pertama dan pemerintahan sebelumnya. Dalam konteks pemberantasan korupsi, rezim Jokowi-Ma\'ruf tidak lagi menggunakan UU KPK Nomor 30 tahun 2002, melainkan UU KPK No 19/2019.
Dengan payung hukum baru, UU KPK No 19/2019, KPK telah melakukan Aksi Nasional Pencegahan Korupsi dengan melibatkan 54 kementerian/lembaga, 34 provinsi dan 508 kabupaten kota yang baru mencapai 58,52 persen.
Persentase tersebut berdasarkan tiga fokus area, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, yakni perizinan dan tata niaga; keuangan negara; serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Ketiga fokus tersebut mengacu pada utilisasi Nomor Induk Kependudukan (NIK), e-katalog, dan marketplace untuk pengadaan barang jasa, keuangan desa, penerapan manajemen antisuap, online single submission. Hal tersebut dilakukandengan memanfaatkan peta digital dan pelayanan perizinan berusaha, serta reformasi birokrasi.
Firli menegaskan, pelaksanaan kegiatan tersebut telah berjalan baik. Utilisasi NIK di angka 68,07 persen, penerapan e-catalog untuk pengadaan barang dan jasa sebesar 61,79 persen, praktik bank baik keuangan desa sebesar 83,33 persen, manajemen antisuap sebesar 66,75 persen, online single submission sebesar 47,15 persen, dan reformasi birokrasi di angka 65,06 persen.
Baca juga: Satu Tahun Pascarevisi UU, KPK Melemah
Pandemi Covid-19
Langkah luar biasa pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 juga harus diawasi oleh KPK. Seluruh kementerian/lembaga diminta menangani Covid-19 dan dampaknya yang multi sektor dengan cepat.
Birokrasi banyak dipotong, fleksibilitas tinggi menjadi tuntutan karena sedang dalam keadaan darurat. Firli mengaku, ia turun langsung bersama Menteri Sosial Juliari Batubara untuk melihat teknis penyaluran dan ketepatan sasaran pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan bagi-bagi sembako.
Agenda redistribusi sumber daya negara belum maksimal. Hal ini tidak terlepas dari praktik korupsi yang belum teratasi secara utuh.
Meskipun demikian, ia mengakui, agenda redistribusi sumber daya negara masih belum maksimal. Belum maksimalnya redistribusi sumber daya negara ini tidak terlepas dari praktik korupsi yang belum teratasi secara utuh. Di satu sisi, redistribusi sumber daya negara menjadi kebutuhan mendesak. Namun, pada sisi lain, agenda tersebut terhambat akibat korupsi yang menggurita. Ini adalah pekerjaan rumah KPK dan lembaga terkait.
KPK telah melakukan berbagai kegiatan terkait dengan intervensi KPK di dalam program monitoring prevention center. Hasil dari kegiatan ini adalah optimalisasi PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan penyelamatan keuangan negara.
Januari sampai dengan Juni 2020, pendapatan asli daerah mencapai Rp 80,9 triliun. Penyelamatan keuangan negara mencapai Rp 10,4 triliun yang terdiri dari penagihan tunggakan utang piutang Rp 2,8 triliun, penerbitan pemulihan aset Rp 845 miliar, sertifikasi aset Rp 4,2 triliun, serta penertiban fasilitas umum dan fasilitas sosial Rp 2,4 triliun.
“Yang kita butuhkan ditengah perjuangan melewati pandemi adalah perkuat dukungan untuk negara yang bebas korupsi, bangun solidaritas antikorupsi, dan sinergitas demi masa depan pemberantasan korupsi. Itulah komitmen untuk negara. Ingat hukuman mati bagi yang korupsi anggaran pemerintah ditengah pandemi Covid-19,” kata Firli.
Program pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh Presiden Jokowi seperti pencegahan dan pemulihan aset dalam setahun ini belum berjalan dengan baik.
Belum berjalan
Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, program pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh Presiden Jokowi seperti pencegahan dan pemulihan aset dalam setahun ini belum berjalan dengan baik. Hal tersebut terjadi karena pemerintahan Presiden Jokowi tidak mempunyai kemauan politik untuk meningkatkan pemberantasan korupsi.
“(Pemerintah) malah membuat KPK lemah dan kehilangan kredibilitas untuk memberantas korupsi lewat revisi UU KPK dan kepemimpinan KPK yang integritasnya dipersoalkan publik,” kata Azyumardi.
Oleh karena itu, ia berharap ada perbaikan diantaranya, pemerintahan Presiden Jokowi harus memperlihatkan secara konkret kemauan politik untuk memberantas korupsi. Selain itu, Presiden Jokowi harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Selain itu, pemerintahan Presiden Jokowi harus melibatkan masyarakat sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) advokasi dalam pencegahan serta pemberantasan korupsi secara serius. Azyumardi juga berharap ada pemilihan kembali komisioner KPK.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas berharap, Presiden Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya untuk agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, ia ingin Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu untuk UU KPK hasil revisi.
“Kejujuran dalam memenuhi janji terhadap rakyat jangan diremehkan karena merupakan faktor terpenting,” kata Busyro.
Terkait dengan UU KPK No 19/2019, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyayangkan belum diterbitkannya Perpres supervisi yang diamanatkan dalam Pasal 10 Ayat (2) sejak setahun yang lalu diundangkan. Padahal, supervisi merupakan salah satu tugas pokok KPK.
Ia berharap, Perpres tersebut segera diterbitkan. “Bagaimana bisa melaksanakan tugas dan fungsi tersebut dengan baik kalau instrumen aturan operasionalnya belum ada? Inilah juga yang membuat pelaksanaan supervisi KPK menjadi tidak optimal,” kata Nawawi.