Ketika Suara Kritis Muncul
Hasil jajak pendapat melalui telepon oleh Litbang ”Kompas” menunjukkan kebebasan berpendapat menjadi persoalan yang paling mendesak untuk diselesaikan. Hal ini diduga imbas dari adanya pelemahan terhadap suara kritis
Peretasan akun media sosial dan penangkapan sejumlah aktivis beberapa kali terjadi di pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Kondisi ini cukup memengaruhi kepercayaan publik kepada pemerintah.
Berdasarkan jajak pendapat lewat telepon yang dilakukan Litbang Kompas pada 14-16 Oktober 2020, sebanyak 33,5 persen responden menilai kebebasan berpendapat menjadi persoalan yang paling mendesak diselesaikan pemerintah di bidang politik dan keamanan.
Titik berat perhatian publik ini ditengarai karena adanya sejumlah kasus yang terkait dengan kebebasan berpendapat.
Sebanyak 33,5 persen responden menilai kebebasan berpendapat menjadi persoalan yang paling mendesak diselesaikan pemerintah di bidang politik dan keamanan
Pada pertengahan Agustus 2020, misalnya, ruang maya ramai dengan kabar peretasan terhadap akun Twitter milik Pandu Riono, epidemiolog Universitas Indonesia. Selama ini, Pandu rajin mengkritik pemerintah dalam penanganan Covid-19.
Baca juga: Kasus Peretasan terhadap Aktivis Meningkat, Kebebasan Berekspresi Terancam
Selang dua bulan kemudian, juga ramai pembicaraan tentang penangkapan sejumlah pemimpin Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) karena diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait protes terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Dalam unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja yang telah disetujui DPR disahkan menjadi UU, sejumlah pengunjuk rasa sempat ditangkap aparat keamanan.
Ditarik ke belakang, persisnya pada September 2019, sejumlah penggiat gerakan masyarakat sipil yang menyuarakan penolakan terhadap revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diretas akun Whatsapp-nya. Setelah diretas, yang muncul dari akun tersebut justru dukungan terhadap revisi UU KPK.
Pada bulan yang sama, unjuk rasa di sejumlah daerah terkait RUU itu menyisakan kisah pahit. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari, Sulawesi Tenggara, tewas dalam unjuk rasa.
Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto pada akhir pekan kemarin mengatakan, kondisi yang dialami sejumlah aktivis dalam setahun terakhir menunjukkan adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresi, yang merupakan salah satu cita-cita reformasi dan amanat konstitusi.
Empat pola pelemahan
Menurut Wijayanto, setidaknya ada empat pola pelemahan terhadap suara kritis. Pertama, di ruang digital lewat pasukan siber atau pendengung. Kedua, teror siber berupa peretasan Whatsapp dan surat elektronik. Ketiga, kekerasan terhadap aktivis dan jurnalis. Keempat, pengooptasian kampus dan sekolah sehingga peserta didik dilarang untuk berunjuk rasa.
”Pola-pola itu memberangus suara kritis dan menyebabkan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran,” ujarnya.
Suara kritis muncul sebagai luapan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah. Suara kritis juga semestinya dijaga sebagai bagian dari kematangan demokrasi
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Firman Noor menambahkan, suara kritis muncul sebagai luapan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah. Suara kritis juga semestinya dijaga sebagai bagian dari kematangan demokrasi.
”Tidak perlu bereaksi berlebihan terhadap kritik dari masyarakat,” ucapnya.
Namun, pemerintah sering menyatakan, suara kritis yang muncul itu tidak murni berasal dari rakyat. Hal ini, misalnya, terkait unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja pada 6-8 Oktober 2020 yang terjadi di sejumlah daerah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, ada auktor intelektualis yang menunggangi aksi tersebut. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga meyakini, unjuk rasa itu dibiayai kekuatan asing.
Akan tetapi, auktor intelektualis dan kekuatan asing tersebut belum juga diungkapkan kepada publik.
Menurut Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, jika pemerintah mengaku mengetahui dalang di balik setiap aksi tersebut, mestinya bukan hal yang sulit untuk mengungkapnya. Pasalnya, pemerintah memiliki akses dan sumber daya intelijen.
Baca juga: Yang Vokal yang Diretas (1)
Proses pengungkapan belum juga tuntas, dapat memunculkan kecurigaan publik, bahwa penjelasan pemerintah itu hanya untuk mengalihkan fokus publik atau bahkan mendegradasi gerakan kritis.
Kecurigaan publik ini juga muncul saat polisi juga belum tuntas mengungkap kasus-kasus peretasan yang dialami sejumlah aktivis.
Jaga situasi kondusif
Dalam berbagai kesempatan, Polri menepis tudingan telah bertindak berlebihan dalam menangani unjuk rasa. Penangkapan sejumlah aktivis dan pengunjuk rasa pun selalu disertai bukti yang cukup karena ada dugaan pidana.
Penegakan hukum harus transparan dan hingga tuntas. Hal itu penting untuk menepis kecurigaan publik tentang dugaan adanya kriminalisasi atau upaya membungkam kebebasan berpendapat.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti melihat upaya yang dilakukan kepolisian bisa jadi merupakan bagian dari ikhtiar untuk menjaga situasi tetap kondusif.
”Akhir-akhir ini, banyak kejahatan yang bersembunyi di balik kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat. Misalnya, menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan politik identitas. Kalau terhadap tindakan kriminal, ya harus ditindak tegas,” tuturnya, menambahkan.
Namun, ia mengingatkan, penegakan hukum harus transparan dan hingga tuntas. Hal itu penting karena bisa menepis kecurigaan publik tentang dugaan adanya kriminalisasi atau upaya membungkam kebebasan berpendapat.
Atas kejadian peretasan dan penangkapan aktivis atau pengunjuk rasa yang marak setahun terakhir, pemerintah juga membantah hal itu bagian dari upaya mengekang kebebasan berpendapat.
Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani menegaskan, pemerintahan Jokowi-Amin berkomitmen tetap menjaga iklim demokrasi yang bebas dan bertanggung jawab.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan tetap diizinkannya aksi unjuk rasa digelar. Aspirasi dari pengunjuk rasa pun diperhatikan seluruh jajaran pemerintah.
Komitmen pada kebebasan berpendapat juga ditunjukkan dengan terus meningkatnya Indeks Demokrasi Indonesia. Tahun 2019, misalnya, skornya 74,92 atau meningkat secara konsisten dari tahun 2017 yang skornya 72,11.
”Memang perlu diakui terdapat insiden-insiden yang tidak diinginkan dalam perjalanan demokrasi kita, termasuk soal peretasan atau kericuhan saat unjuk rasa. Untuk ini, pemerintah berposisi mendukung upaya penegakan hukum oleh kepolisian,” ujarnya.