Satu tahun Joko Widodo-Amin dinilai kurang memberi perhatian pada isu sosial-politik, sebaliknya fokus ke soal sosial-ekonomi. Penyusunan RUU bersama DPR jadi bukti, kurangnya keterbukaan dan tidak akomodatif.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Amin dinilai kurang memberikan perhatian pada isu sosial-politik, tetapi sebaliknya fokus pada persoalan sosial-ekonomi. Sejumlah persoalan ditemui dalam isu sosial-politik, termasuk dalam penyusunan legislasi bersama parlemen yang belakangan ini dinilai semakin kurang terbuka, tidak aspiratif, dan tidak akomodatif terhadap kepentingan publik.
Dalam diskusi daring yang digelar oleh PARA Syndicate bertajuk ”Setahun Jokowi-Ma’ruf: Evaluasi dan Proyeksi Janji di Tengah Pandemi,” Selasa (20/10/2020), para pembicara menyoroti kian menguatnya kekuasaan eksekutif yang ditopang oleh partai koalisi di parlemen. Akibatnya, tidak banyak sikap kritis yang dilontarkan oleh DPR kepada pemerintah dalam pelaksanaan program-programnya dalam setahun pertama periode kedua Jokowi.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (P2P LIPI) Aisah Putri Budiatri mengatakan, persetujuan yang diberikan DPR terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menunjukkan sikap legislatif maupun eksekutif yang terburu-buru dalam menyusun suatu legislasi. Dalam prosesnya, penyusunan RUU Cipta Kerja itu pun tidak inklusif.
Ketika UU ini lahir sejak dari proses hingga akhirnya, tampak ada gejala masalah. Prosesnya tidak dijalankan secara hati-hati. Padahal, banyak akademisi hukum yang menjelaskan penyusunan UU dengan metode omnibus law harus hati-hati lantaran banyak UU dan elemen lain yang dibahas di dalam regulasi tersebut.
”Ketika UU ini lahir sejak dari proses hingga akhirnya, tampak ada gejala masalah. Prosesnya tidak dijalankan secara hati-hati. Padahal, banyak akademisi hukum yang menjelaskan penyusunan UU dengan metode omnibus law harus hati-hati lantaran banyak UU dan elemen lain yang dibahas di dalam regulasi tersebut,” katanya.
Isu lain di ranah sosial-politik lainnya yang disoroti dalam setahun pertama Jokowi-Amin ialah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dinilai juga kian terbatas. Arif Susanto dari Exposit Strategic mengatakan, sikap represif yang ditunjukkan pemerintah menghadapi pengkritik dan pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaan dinilai mencerminkan pemusatan kekuasaan.
Di satu sisi, eksekutif memiliki segala kekuatan dan kebijakan yang dapat dengan mudah digerakkan tanpa banyak pengawasan dan kontrol. Sebab, DPR di pihak lain dikuasai oleh partai-partai koalisi pemerintah yang tak mungkin berseberangan dengan pemerintah yang mereka dukung.
”Dalam pemerintahan ini, orang khawatir Whatsapp-nya dibajak. Orang takut berkomentar di media sosial. Mereka juga khawatir diskusi-diskusi semacam ini dibubarkan. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini ironi besar,” kata Arif.
Dominasi partai koalisi
Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengatakan, DPR yang semestinya menjalankan mekanisme kontrol terhadap jalannya kekuasaan eksekutif pada kenyataannya tidak berperan sebagaimana mestinya. Hal itu, antara, lain dipicu dominannya partai koalisi pendukung pemerintah di parlemen.
Saat ini, dari 575 anggota DPR, 427 kursi dimiliki oleh parpol koalisi pemerintah. Sisanya, 148 kursi dimiliki Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang bukan bagian dari koalisi. Partai Amanat Nasional (PAN), sekalipun tidak secara terus terang menyatakan dirinya oposisi, sampai saat ini tidak berseberangan dengan pemerintah.
Ada dominasi partai koalisi pendukung pemerintah di DPR sehingga kian memberikan karpet merah kepada pemerintah. Tidak ada hambatan politik bagi pemerintah untuk melakukan program-programnya.
”Ada dominasi partai koalisi pendukung pemerintah di DPR sehingga kian memberikan karpet merah kepada pemerintah. Tidak ada hambatan politik bagi pemerintah untuk melakukan program-programnya,” kata Lucius.
Kondisi ini dinilai tidak sehat karena DPR semestinya menjalankan fungsi kontrol kepada pemerintah. Ketika DPR justru mengenakan ”baju” eksekutif, dan merasa dirinya bagian dari rezim berkuasa, maka yang terjadi ialah potensi hilangnya mekanisme check and balance, atau kontrol terhadap kekuasaan. ”Kinerja kontrol tidak berfungsi sehingga pemerintah bisa menafsirkan sendiri tentang banyak hal,” ujarnya.
Menurut Lucius, ketika parlemen dalam kondisi tidak bekerja optimal mengawasi pemerintah, penguatan masyarakat sipil harus didorong. Penguatan masyarakat sipil diharapkan bisa mengimbangi semakin terkonsolidasikannya kekuatan politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Jika tidak ada kekuatan masyarakat sipil, dengan pemusatan kekuasaan yang sedemikian besar, potensi kesewenang-wenangan kekuasaan akan lebih besar bisa terjadi.
Terkait hal itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Senin (19/10/2020), mengatakan, dengan masih banyaknya warga yang merasa belum puas, Pratikno melanjutkan, pemerintah akan terus memperbaiki diri. ”Pemerintah akan terus membenahi, meningkatkan, dan menyempurnakan semua langkah-langkah yang ada setiap hari,” lanjutnya.