Menilik Kembali Gaya Komunikasi Politik Presiden Jokowi
Kebiasaan menyelesaikan masalah dengan dialog juga dibawa hingga Jokowi jadi Presiden. Berkunjung ke pasar tradisional dan mengobrol dengan pedagang nyaris tak pernah terlewat dilakukan saat Jokowi ”blusukan” di daerah.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
”Demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya. Oleh sebab itu, kenapa setiap hari kami datang ke kampung-kampung, datang ke pasar-pasar, datang ke bantaran sungai, datang ke petani, ke pelelangan ikan? Karena kami ingin mendengar suara rakyat,” begitu kata Joko Widodo saat ditanya arti demokrasi pada debat perdana Calon Presiden-Calon Wakil Presiden 2014-2019 di Balai Sarbini, Jakarta, 9 Juni 2014.
Joko Widodo yang kala itu merupakan Gubernur non-aktif DKI Jakarta menjelaskan, berbagai persoalan bisa diselesaikan melalui dialog, musyawarah dengan masyarakat. Penataan Pasar Tanah Abang dan Waduk Pluit dijadikan contoh keberhasilan karena persengketaan antara masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diselesaikan lewat dialog.
”Penyelesaian Tanah Abang, Waduk Pluit, juga diselesaikan dengan dialog, dengan musyawarah. Mengundang makan, melakukan dialog, mengajak musyawarah untuk menemukan jalan keluar atas perbedaan,” ujar Jokowi yang saat itu didampingi Jusuf Kalla selaku calon wakil presiden.
Jawaban Jokowi tentang makna demokrasi memang lekat dengan pengalamannya. Sejak menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah, tahun 2005, berbagai persoalan diselesaikannya lewat dialog dengan masyarakat. Salah satunya penataan pedagang kali lima (PKL) di kawasan Banjarsari, Solo, tahun 2005-2006. Sekitar 1.000 PKL yang puluhan tahun berjualan di Banjarsari direlokasi tanpa gejolak.
Keberhasilan penataan PKL di Kota Solo tak lepas dari pendekatan Jokowi. Ia tak langsung melakukan penertiban seperti yang umumnya dilakukan. ”Kalau mau cepat dan gampang, bisa saja. Dengan otoritas kami, tinggal turunkan buldoser, gusur, selesai. Dalam tiga hari itu bisa rampung,” tutur Jokowi dalam kutipan wawancara artikel profil yang dimuat di Kompas (1/3/2008).
Namun, dia memilih pendekatan lewat dialog. ”Pendekatan orang Jawa,” ia mengistilahkan. Pemimpin paguyuban PKL diundang makan bersama di rumah dinas wali kota di Loji Gandrung. Rencana merelokasi PKL juga tak langsung diutarakan pada pertemuan pertama. Hingga pertemuan ke-53, pedagang hanya diajak mengobrol dan makan. Baru pada pertemuan ke-54, Jokowi menyampaikan niatan memindahkan semua PKL dari Banjarsari.
Pendekatan dialog dijaga Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2012-2014. Pembenahan PKL Pasar Tanah Abang tahun 2013 juga relatif mulus. Tak hanya pedagang, para preman juga diajak bicara. Ratusan PKL yang sebelumnya memenuhi trotoar di seputar pasar dan Stasiun Tanah Abang dipindah ke Blok G yang sudah direnovasi terlebih dulu.
Kebiasaan menyelesaikan masalah dengan dialog juga dibawa hingga Jokowi menjadi Presiden. Berkunjung ke pasar tradisional dan mengobrol dengan pedagang nyaris tak pernah terlewat dilakukan saat Jokowi blusukan di daerah.
Entah sudah berapa kali pula ia mengundang makan siang mantan presiden-wakil presiden, tokoh masyarakat, cendekiawan, tokoh agama, sampai aktivis mahasiswa. Melalui momen makan siang itu, Jokowi mendengarkan masukan tentang sebuah persoalan atau menjelaskan kebijakan yang menimbulkan perbedaan pandangan.
Kesetaraan
Pengajar komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, mengatakan, sejak Jokowi menjabat Wali Kota Solo, tampak ia memiliki gaya kesetaraan dalam berkomunikasi politik.
Gaya komunikasi politik itu biasanya menekankan pada kedekatan, kehangatan, serta hubungan timbal balik sehingga pendekatan yang dipakai persuasif. Gaya komunikasi itu masih terasa hingga awal periode pertama Jokowi menjabat Presiden.
Pada awal periode itu, Jokowi lebih banyak menekankan komunikasi ke akar rumput dibandingkan dengan pola-pola pendekatan birokratis. Namun, di pengujung periode pertama Jokowi dan masuk periode kedua, Gun Gun melihat ada pergeseran dari gaya komunikasi Jokowi.
Itu terefleksikan, misalnya, ketika muncul resistensi di sejumlah kelompok masyarakat sipil terkait dengan revisi UU KPK dan belakangan ini dalam proses penyusunan dan persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
”Komunikasi dengan simpul-simpul kekuatan civil society relatif minim,” ujarnya.
Menurut Gun Gun, ada sejumlah faktor yang bisa menyebabkan perubahan gaya komunikasi seseorang, yaitu kepentingan, lingkungan sosial budaya, dan aktor atau komunikator itu sendiri.
Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, Presiden Jokowi tak pernah berubah.
”Presiden Jokowi yang saya kenal sekarang sama persis seperti Presiden Jokowi enam tahun lalu. Sosok yang selalu mendengarkan, memikirkan, dan memperjuangkan kepentingan masyarakat lapis ekonomi terbawah. Presiden Jokowi juga yang selalu memaksa birokrasi agar menjalankan program yang benar-benar dinikmati rakyat, yang delivered dan dirasakan oleh masyarakat,” ujarnya.
Bersama Wapres Ma’ruf Amin, tambah Pratikno, Presiden Jokowi berjalan beriringan dan saling melengkapi. ”Seperti pada periode pemerintahan sebelumnya, Wapres memberikan perhatian khusus untuk penanganan terhadap isu-isu pengentasan rakyat dari kemiskinan, pengembangan UMKM, pengembangan ekonomi syariah, dan reformasi birokrasi, serta isu-isu penguatan kebangsaan,” ujar Pratikno.
Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Informasi Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro menambahkan, dalam konteks pembahasan RUU Cipta Kerja, data kementerian dan lembaga menunjukkan bahwa proses membuka masukan, dialog, dan aspirasi berlangsung terbuka dan intensif.