Kasus Peretasan terhadap Aktivis Meningkat, Kebebasan Berekspresi Terancam
Jumlah kasus peretasan terhadap aktivis meningkat dari tahun ke tahun. Situasi kebebasan berekspresi saat ini dalam ancaman.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil pemantau kebebasan berekspresi mencatat adanya peningkatan kasus peretasan terhadap aktivis. Selama ini, tidak pernah ada penyelesaian hukum terhadap kasus-kasus peretasan tersebut. Akibatnya, masyarakat semakin curiga bahwa itu adalah upaya sistematis untuk membungkam suara kritis.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, saat dihubungi, Senin (19/10/2020), mengatakan, pada 2018, Elsam mencatat ada 18 kasus peretasan terhadap kelompok aktivis. Kemudian, pada 2019, ada 32 kasus peretasan. Pada 2020, hingga periode Juni, sudah ada sembilan kasus peretasan, baik aplikasi pesan maupun media sosial.
Jika dilihat dari sisi politik, peretasan akun aktivis ini bertujuan untuk memberikan efek takut. Ketika akun berhasil diambil alih dan dikuasai oleh pihak lain, diharapkan ada efek takut untuk bersuara kritis.
Menurut Wahyudi, sembilan kasus peretasan di tahun ini termasuk tinggi. Adapun pada 2019, kasus juga tergolong tinggi karena dampak dari pemilu presiden dan legislatif. Jika dilihat dari sisi politik, peretasan akun aktivis ini bertujuan untuk memberikan efek takut. Ketika akun berhasil diambil alih dan dikuasai oleh pihak lain, diharapkan ada efek takut untuk bersuara kritis.
”Yang paling banyak adalah modus impersonasi atau mengambil alih akun, ada juga penyebaran data-data pribadi (doxing), hingga intimidasi,” ujar Wahyudi.
Baca juga: Tren Peretasan Medsos
Menurut Wahyudi, di era digital, ancaman bagi kelompok kritis termasuk media memang lebih beragam. Ancaman tidak semata-mata berbentuk verbal, fisik, atau kriminalisasi, tetapi juga berbagai macam bentuk ancaman digital. Ancaman tersebut juga cenderung meningkat dengan variasi yang beragam. Pesatnya industri pemantauan digital (surveillance) juga berdampak pada meningkatnya ancaman ini. Dengan alat khusus, seperti social media intelligence, misalnya, kata kunci dan nama akun (username) dapat dengan mudah diidentifikasi.
Menurut Wahyudi, situasi menjadi semakin pelik karena ada kecurigaan terus-menerus yang muncul terutama kepada aparat penegak hukum. Selama ini, ketika ada kasus peretasan di kalangan aktivis, tidak pernah ada investigasi atau penyelidikan yang tuntas. Padahal, jika dilihat dari fasilitas yang dimiliki aparat, mereka memiliki alat yang canggih untuk menyelidiki kasus-kasus peretasan.
”Karena penyelidikan atau proses hukum kasus peretasan ini tidak pernah dilakukan secara tuntas, akhirnya muncul kecurigaan terus-menerus terhadap aparat,” kata Wahyudi.
Selama ini, ketika ada kasus peretasan di kalangan aktivis, tidak pernah ada investigasi atau penyelidikan yang tuntas.
Padahal, kata Wahyudi, Pasal 30-35 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektrobik mengatur tentang intersepsi atau penyadapan informasi atau dokumen elektronik.
Baca juga: Yang Vokal yang Diretas (1)
Pasal 31 Ayat (2) UU ITE, misalnya, menyatakan, ”Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan atau penghentian informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan”.
Namun, Pasal 30-35 UU ITE yang dapat dipakai untuk memproses hukum kasus peretasan ini seolah tidak pernah digunakan. Justru, pasal yang kerap digunakan adalah Pasal 27 yang mengatur tentang distribusi atau transmisi informasi dan atau dokumen elektronik dalam kejahatan kriminal, seperti perjudian, pencemaran nama baik, dan pengancaman. Adapun Pasal 28 UU ITE mengatur tentang penyebaran hoaks dan muatan yang mengandung SARA.
Wahyudi menambahkan, investigasi dalam kasus peretasan aktivis ini sangat penting untuk menarik kesimpulan apakah pemilik akun sudah melek terhadap proteksi-proteksi akun dan keamanan, atau memang ada intrusi sistem dari luar. Hasil investigasi tidak hanya digunakan untuk memproses hukum, tetapi juga membangun sistem keamanan yang lebih andal.
”Misalnya memberikan masukan kepada pemilik media atau akun penyedia platform agar memperbaiki fitur keamanannya,” kata Wahyudi.
Investigasi dalam kasus peretasan aktivis ini sangat penting untuk menarik kesimpulan apakah pemilik akun sudah melek terhadap proteksi-proteksi akun dan keamanan, atau memang ada intrusi sistem dari luar.
Isu mengenai keamanan digital ini, menurut Wahyudi, juga sudah masuk dalam perlindungan hak asasi manusia yang diakui oleh Dewan HAM Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). PBB menekankan bahwa harus ada perlindungan HAM di ranah maya.
Sementara itu, data Jaringan Perlindungan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) juga menunjukkan ada peningkatan kasus peretasan terhadap aktivis. Divisi Keamanan Internet SAFEnet Banimal mengatakan, pada periode April-September 2020 ada 49 insiden peretasan yang dilaporkan. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana hanya ada 24 laporan kasus kebebasan berekspresi. Jenis-jenis peretasan yang dilakukan itu di antaranya adalah doxing, impersonisasi, pembobolan data, hingga memata-matai (spyware).
”Jurnalis dan aktivis menjadi kelompok rentan yang mengalami peretasan ini karena mereka kerap bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintah,” kata Banimal.
Menurut Banimal, dalam penanganan kasus peretasan, SAFEnet tidak selalu mencari tahu siapa pelaku peretasan. Semua itu dilakukan atas persetujuan dari korban. Dari kasus yang ditangani, paling banyak adalah edukasi kepada korban agar menerapkan sistem keamanan ganda dalam aplikasi pesan ataupun sosial media. Selain itu, jika peretasan berkaitan dengan platform besar, informasi akan diteruskan kepada penyedia platform untuk perbaikan ke depan.
Krisis kepercayaan
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Firman Noor mengatakan, fenomena meningkatnya kasus peretasan terhadap aktivis menunjukkan bahwa ada krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat yang kritis kemudian meluapkan kekecewaannya di ruang-ruang seperti sosial media.
Reaksi pemerintah terhadap kritik di dunia maya ini seolah berlebihan. Padahal, di negara demokrasi lain, seperti Inggris, Amerika, kritik terbuka dilakukan kepada pemerintah.
Namun, reaksi pemerintah terhadap kritik di dunia maya ini seolah berlebihan. Padahal, di negara demokrasi lain, seperti Inggris, Amerika, kritik terbuka dilakukan kepada pemerintah. Pemerintah pun terbuka terhadap kritik di dunia maya.
”Ada fenomena distrust yang akut saat ini. Masyarakat sipil dan umum tidak percaya kepada kebijakan pemerintah. Begitu juga pemerintah terhadap masyarakat. Pemerintah merasa sudah melakukan sesuatu, tetapi tidak dipahami rakyat,” kata Firman.
Baca juga: Ancaman Demokrasi dari Dunia Maya (3-Habis)
Terkait dengan tindakan kepolisian yang kerap menangkap orang karena bersuara kritis di sosial media, menurut Firman, hal itu tidak terjadi di negara lain seperti Amerika. Di negara lain dengan demokrasi yang sudah lebih matang, pemantauan media sosial hanya dilakukan untuk sesuatu yang mengancam keamanan negara, seperti terorisme. Hal itu juga karena jalur hukum di negara tersebut masih sangat dipercaya. Dengan demikian, ketika ada pelanggaran hukum, penyelesaiannya selalu melalui jalur legal dan konstitusional.
”Yang terjadi akhir-akhir ini adalah pemerintah terlalu paranoid. Tidak perlu bereaksi berlebihan terhadap kritik-kritik yang berasal dari masyarakat,” kata Firman.