Kematian Pollycarpus Jangan Hentikan Penyidikan Kasus Munir
Kematian Pollycarpus Budihari Priyanto tak boleh dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan kasus kematian aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib. Komnas HAM didorong untuk turut menyelidiki kasus Munir.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kematian Pollycarpus Budihari Priyanto tidak boleh dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan kasus kematian aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib. Bahkan, pemerintah diminta menyelidiki penyebab kematian Pollycarpus untuk menghindari kecurigaan yang berkembang di masyarakat.
Ketua Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) Usman Hamid mengatakan, masih banyak bukti yang bisa dikembangkan untuk melanjutkan pengusutan kasus kematian Munir. Oleh sebab itu, penyidikan tidak boleh dihentikan hanya karena salah satu pelakunya meninggal.
”Kendala dalam mengungkap pembunuhan Munir bukanlah pada teknis pembuktian, melainkan dari kehendak politik negara dalam mengupayakan langkah hukum agar kasus ini dapat diselesaikan,” kata Usman dalam diskusi bertajuk ”Kasus Munir, Kasus Pelanggaran HAM atau Kasus Pidana Biasa?” yang diselenggarakan Kelompok Riset dan Debat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Minggu (18/10/2020).
Selain Usman, hadir dalam diskusi virtual itu Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta Yogi Zul Fadhli dan Guru Besar Hukum Pidana Undip Pujiyono.
Sebelumnya diberitakan, Pollycarpus meninggal pada Sabtu (17/10/2020) di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Menurut mantan pengacaranya, Wirawan Adnan, Pollycarpus meninggal karena Covid-19. Mantan pilot maskapai Garuda Indonesia itu sempat dirawat selama 16 hari di rumah sakit.
Terkait kematian Pollycarpus, Usman meminta pemerintah mengusut penyebab kematiannya secara terbuka. Meskipun dikabarkan terkena Covid-19, pengusutan penyebab kematian perlu dipertimbangkan untuk menghindari kecurigaan yang berkembang di masyarakat.
”Sebagai pelaku lapangan, Pollycarpus pasti punya banyak informasi tentang pembunuhan Munir,” ujarnya.
Pollycarpus merupakan mantan terpidana perkara pembunuhan Munir. Mantan pilot Garuda Indonesia itu dihukum 14 tahun penjara berdasarkan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung (MA). Hukuman ini lebih rendah dari putusan kasasi MA, 20 tahun penjara. Pollycarpus bebas pada 28 Agustus 2018.
Usman mengatakan, pihaknya pun telah mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menyelidiki kematian Munir dengan perspektif pelanggaran HAM. Penggunaan perspektif pelanggaran HAM bisa dilakukan dengan menggunakan dua dasar hukum, yakni Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 7 Huruf b juncto Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam penjelasan Pasal 104 UU No 39/1999 disebutkan, ”pelanggaran HAM yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Adapun dalam Pasal 7 Huruf b juncto Pasal 9 UU No 26/2000, kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap penduduk sipil, salah satunya pembunuhan.
”Dua perspektif itu bisa digunakan Komnas HAM untuk memeriksa peristiwa kematian Munir berdasarkan perspektif pelanggaran HAM, tidak lagi sebagai pidana biasa,” kata Usman.
Menurut Usman, kematian Munir pada 7 September 2004 diyakini sebagai bentuk pembunuhan di luar putusan pengadilan. Kesimpulan itu berdasarkan fakta-fakta persidangan yang menunjukkan kematian Munir dilakukan dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda.
Proses pembunuhan aktivis HAM dalam penerbangan internasional dinilai sulit, dan diyakini melibatkan banyak orang secara terencana sehingga sulit dianggap sebagai pidana biasa. Faktor lain adalah Munir dikenal luas sebagai pembela HAM.
”Kami menyimpulkan aktivitas Munir menimbulkan ketersinggungan dari pemerintah sehingga mengundang pembalasan dalam bentuk pembunuhan di luar pengadilan yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat,” ucapnya.
Menurut Yogi, pengusutan kasus kematian Munir belum tuntas. Pihak-pihak yang menjalani proses hukum hanya pelaku yang terlibat langsung di lokasi pembunuhan Munir, sedangkan pihak yang merencanakan pembunuhan itu belum terungkap.
”Saya melihat ada kecenderungan untuk melindungi pihak yang kuat. Proses hukumnya pun semu dan tidak dilakukan untuk menemukan kebenaran materiil,” katanya.
Pujiyono mengatakan, masyarakat sipil perlu membuktikan bahwa kematian Munir merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti dalam Pasal 7 Huruf b juncto Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Jika bisa melakukan pembuktian, kasus tersebut menjadi bentuk pelanggaran HAM berat.
”Negara tidak hanya harus melindungi HAM. Para aktivis HAM juga harus dilindungi,” ujarnya.