Pemungutan suara dalam pemilu dengan sistem noken di sejumlah wilayah di Papua dinilai banyak mengandung kelemahan. Untuk itu, perbaikan penting demi memastikan penerapan sistem pemilu tetap demokratis di masyarakat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemungutan suara dalam pemilu dengan sistem noken di sejumlah wilayah di Papua dinilai banyak mengandung kelemahan. Ketiadaan payung hukum yang memadai kerap membuat penyelenggara pemilu bingung. Tak hanya itu, pelanggaran sering terjadi tanpa bisa ditindak oleh pengawas pemilu. Untuk itu, perbaikan penting demi memastikan penerapan sistem itu tetap demokratis.
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47/81/PHPU.A/VII/ 2009, mekanisme pemungutan suara dengan sistem noken di Papua dinyatakan sah dan sesuai konstitusi. Dalam sistem noken itu, pemilih tidak langsung memilih, tetapi pilihannya diwakilkan kepada kepala suku atau tokoh adat yang mewakili suara masyarakat adat.
Dalam seminar bertajuk ”Tantangan Penguatan Sistem Elektoral di Tanah Papua” yang diadakan oleh Centre for Strategic and International Studies, Jumat (16/10/2020), anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Papua, Jamaludin Lado Rua, mengatakan, saat ini ada 12 kabupaten/kota di Papua yang masih menerapkan sistem noken. Awalnya, ada 14 kabupaten/kota, tetapi dalam perkembangannya dua kabupaten/kota, yaitu Pegunungan Bintang dan Yalimo, tak lagi menggunakan sistem noken, tetapi pemilih datang langsung ke tempat pemungutan suara untuk memilih.
Di sini artinya hak-hak sipil dan politik masyarakat tradisional masih berlaku dan dihargai.
Sekalipun suara pemilih diwakili oleh kepala suku, Jamaludin menilai sistem noken termasuk demokratis. Sebab, dalam proses penentuan keputusan, kepala suku melibatkan suara dari masyarakat adat. Di Kabupaten Asmat, misalnya, setiap keputusan diambil di rumah adat. Kepala suku harus melaksanakan keputusan yang diambil di rumah adat itu. Jika tidak, masyarakat adat mempercayai, kepala suku mendapatkan kecelakaan atau hukuman dari alam sebagai sanksinya.
”Di sini artinya hak-hak sipil dan politik masyarakat tradisional masih berlaku dan dihargai,” kata Jamaludin.
Meski demikian, sejumlah persoalan kerap dijumpai dalam penerapan sistem itu. Sebagai contoh, adanya saling klaim kepala suku di suatu wilayah adat. Hal ini lalu membingungkan penyelenggara pemilu untuk menentukan pihak yang berhak merepresentasikan masyarakat adat. Selain itu, pelanggaran politik uang kerap terjadi. Hal ini karena sebelum pemilu dengan sistem noken, biasanya diawali dengan pesta bakar batu. Tak jarang, calon dalam pemilu ataupun pilkada membiayai acara itu dengan harapan kepala suku menjatuhkan pilihan kepada calon itu.
Hal-hal tersebut, menurut dia, bisa terjadi karena payung hukum untuk sistem noken tidak memadai. Tak ada, misalnya, peraturan KPU yang mengatur detail soal tata cara pemungutan suara dengan sistem noken. Tak ada pula peraturan Bawaslu yang mengatur sanksi jika pelanggaran terjadi. Di level undang-undang pun belum ada yang mengatur sistem tersebut.
Selain Jamaludin, hadir menjadi pembicara dalam seminar itu anggota Bawaslu Kabupaten Jayawijaya, Papua, Kilion Wenda; Latifah Anum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua, dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa.
Menurut Kilion, untuk menghindari benturan antara hukum positif dan hukum adat, sebaiknya sistem noken diatur dalam UU Pilkada. ”Pada dasarnya sistem nasional dan noken akan baik apabila ada administrasi dan tata cara pemilihan yang baik pula. Ini menurut kami yang perlu dibenahi,” ujarnya.
Tak bisa dihapuskan
Latifah Anum Siregar menambahkan, sekalipun sistem noken mengandung banyak kelemahan, bukan lantas sistem itu harus dihapuskan. Terlebih, masyarakat adat di sejumlah wilayah di Papua masih menerima mekanisme pemungutan suara dengan noken tersebut. Selain itu, dalam praktiknya, sistem noken telah menerapkan pengambilan keputusan yang demokratis.
Jangan terlalu mengambinghitamkan sistem noken. Sebab, sebenarnya akar permasalahannya lebih kompleks. Misalnya, sistem kependudukan yang buruk serta aspek geografis dan sosiologis.
”Jangan terlalu mengambinghitamkan sistem noken. Sebab, sebenarnya akar permasalahannya lebih kompleks. Misalnya, sistem kependudukan yang buruk serta aspek geografis dan sosiologis. Sistem noken memang harus diperbaiki dan ditangani secara spesifik. Namun, itu bukan satu-satunya persoalan,” tutur Latifah.
Khoirunnisa melihat, dalam praktik sistem noken memang terjadi degradasi. Hal itu, antara lain, pelanggaran politik uang, perubahan perolehan suara, dan suara dari kepala suku yang kemungkinan tidak merepresentasikan suara rakyat karena ada dominasi dari suku tertentu.
Namun, sejauh ini, sistem noken masih konstitusional. Apalagi, jika melihat tantangan geografis dan infrastruktur, noken masih menjadi pilihan yang tepat. ”Mungkin yang perlu diperbaiki ialah aturan agar ada perbaikan administrasi yang baik. Ini bisa dilakukan dengan sosialisasi, bimbingan teknis kepada anggota KPU dan Bawaslu di Papua,” ujarnya.