Pemerintah daerah menyayangkan penarikan sejumlah kewenangan daerah melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan turunan dari undang-undang itu diharapkan mampu mencegah resentralisasi.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah kewenangan pemerintah daerah ditarik ke pemerintah pusat melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Syarat penarikan kewenangan ini mesti diatur secara detail di dalam peraturan pemerintah agar tak bertentangan dengan otonomi daerah. Di sisi lain, pusat juga perlu mengantisipasi kompleksitas pelaksanaan di daerah, seperti kapasitas sumber daya manusia dan ketersediaan infrastruktur.
Berdasarkan kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sejumlah kewenangan pelaksanaan urusan seperti diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditata ulang di UU Cipta Kerja.
Misalnya, persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang, tarif retribusi pajak, serta penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) berada di pemerintah pusat. Padahal, kewenangan-kewenangan itu menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah selama ini.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Na Endi Jaweng saat dihubungi di Jakarta, Jumat (16/10/2020), mengatakan, penataan kewenangan ini harus diatur detail di peraturan pemerintah (PP) agar tidak jatuh pada resentralisasi.
Menurut dia, ada dua PP yang harus dibuat. Pertama, PP yang mengatur pembagian urusan, baik di level kementerian/lembaga maupun pemda. Lalu PP berisi pedoman teknis soal NSPK yang ditetapkan pusat, misalnya lama mengurus izin usaha, biayanya, dan bagaimana persyaratannya.
”Itu diharapkan ada standar nasional atau standar minimal karena setiap daerah saat ini bervariasi. Salah satu yang membingungkan warga dan pelaku usaha, kan, ketidaksamaan standar. Ini yang kita tunggu bagaimana penjabaran substansi kebijakan dan instrumentasi kebijakannya,” ujar Robert.
Robert menambahkan, dalam tataran pelaksanaan, pusat juga harus menguatkan dua hal.
Pertama, fungsi pembinaan. Untuk daerah yang memiliki kendala teknis, pusat harus membantu mencarikan solusi. Kendala teknis itu meliputi kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang belum mumpuni atau dukungan infrastruktur yang belum memadai.
Kedua, fungsi pengawasan. Pusat harus mengawasi kepala daerah yang tidak bekerja dengan standar akibat faktor permainan politik. Misalnya, kepala daerah mempermainkan proses bisnis dalam pengurusan pelayanan sehingga terbuka peluang korupsi atau suap.
”Jika terjadi pelanggaran seperti itu, level pemerintahan di atasnya bisa mengambil alih. Jadi, semua itu perlu dielaborasi di PP. Tidak kemudian ujuk-ujuk pemerintah mengambil alih. Itu namanya serampangan. Sebab, ada beberapa daerah yang punya keinginan, tetapi ya memang situasinya terbatas dari sisi kapasitas dan infrastruktur,” tutur Robert.
Tidak masuk akal
Selain itu, menurut Robert, persetujuan peruntukan tata ruang melalui rencana detail tata ruang (RDTR) digital juga dinilainya tidak masuk akal. Sebab, dari kajian KPPOD, hingga kini, hanya ada 56 RDTR di Indonesia. Adapun RDTR digital hanya sekitar 5 persen dari total 56 RDTR itu.
Apalagi di UU Cipta Kerja terdapat klausul, jika daerah tidak memiliki RDTR, akan dipakai rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang dikeluarkan pusat. Padahal, masalahnya selama ini, RDTR sulit keluar karena daerah tak memiliki ahli teknik dan ahli planologi. Faktor lain, persetujuan RDTR di pusat terlalu lama karena Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus berkoordinasi dengan kementerian lainnya.
Selain itu, soal standardisasi tarif retribusi pajak, menurut Robert, perlu dilihat ruang daerah berotonomi. Untuk menjamin kepastian berusaha, pagu atas harus ditutup. Misalnya, pajak hotel maksimal 10 persen. Namun, batas bawah jangan ditutup. ”Mungkin tidak 10 persen, tetapi di bawah itu. Dengan begitu, dunia usaha akan melihat ada sinyal pemda butuh investasi karena pajak retribusi diturunkan,” kata Robert.
Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya mengapresiasi upaya pemerintah pusat bersama DPR untuk menghadirkan terobosan baru mengatasi persoalan disharmoni dan regulasi melalui UU Cipta Kerja. Namun, ia menyayangkan sejumlah kewenangan daerah yang ditarik ke pusat sehingga dinilainya bertentangan dengan prinsip otonomi daerah yang sudah diterapkan selama hampir dua dasawarsa ini.
Terkait kewajiban pemda menyusun dan menyediakan RDTR dalam digital, misalnya, seharusnya kewajiban ini diikuti kemudahan dalam prosedur penetapan RDTR oleh pemerintah pusat.
Selain itu, pemanfaatan sistem elektronik yang terpusat juga perlu memperhatikan kapasitas daya dukung aplikasi dan infrastruktur teknologi informasi di daerah. ”Sejauh pengalaman penerapan Online Single Submission sejak 2018, beberapa kali mendapat kendala yang berdampak pada terganggunya proses pelayanan di daerah,” ucap Bima, yang juga Wali Kota Bogor.
Bima menyebut ada dua opsi yang bisa diambil untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul dari UU Cipta Kerja yang berpotensi berimbas pada otonomi daerah. Pertama, mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Kedua, membuka ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan aturan turunan dari UU Cipta Kerja.
”Ini untuk memastikan aturan turunan memberikan kepastian terkait kewenangan daerah dan pembangunan yang berkelanjutan,” ujar Bima.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan, setelah RUU Cipta Kerja ditandatangani Presiden Joko Widodo sebagai tanda RUU sah sebagai undang-undang, pemerintah akan segera menerbitkan aturan turunan dari UU itu.
Dalam menyusun peraturan turunan, dia berjanji asosiasi pemerintah daerah akan dilibatkan.
”Kami masukkan dalam tim. Mari kita identifikasi jenis-jenis usaha apa saja yang harus disederhanakan dan bagaimana prosedurnya, itu NSPK. Kriterianya seperti apa, yang penting intinya adalah mempermudah,” ujar Tito.
Pemberantasan korupsi
Secara terpisah, dalam diskusi daring bertajuk ”Bedah Kluster Omnibus Law, Pendapat Para Ahli” yang digelar Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya, sejumlah akademisi fakultas hukum dari sejumlah universitas menilai UU Cipta Kerja berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.
Pengajar FH Universitas Andalas, Charles Simabura, misalnya, menyoroti kerancuan dalam pemeriksaan pengelolaan keuangan lembaga investasi. Dalam Pasal 161 Bab X UU Cipta Kerja disebutkan, pengelolaan keuangan lembaga itu diperiksa oleh akuntan publik. Padahal, selama ini lembaga atau badan yang mengelola keuangan negara diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Otoritas Jasa Keuangan.
Selain itu, lembaga tersebut diisi oleh pengelola yang tidak masuk sebagai penyelenggara negara. Hal itu bertentangan dengan Pasal 2 Ayat (7) UU No 28/1999 yang mengategorikan siapa pun yang mengelola keuangan negara adalah penyelenggara negara.
Anggota Pusat Studi Anti Korupsi FH Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah, melihat pola peraturan di bab itu seperti melemahkan upaya pemberantasan korupsi di lembaga investasi yang mengelola uang negara.
Hal itu terlihat dalam pasal 160 ayat (3) yang berbunyi, ”Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan aset lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman”.
Hal ini dinilainya bertentangan dengan prinsip perampasan aset seperti diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (BOW/CIP/JUM/NSA/VIO)