RUU Dinilai Tak Cukup Berantas Korupsi dari Sisi Politik dan Peradilan
RUU Cipta Kerja yang disetujui DPR dinilai tidak cukup memberantas korupsi. Sebab, RUU ini dianggap tidak menyelesaikan masalah utama korupsi di Indonesia. Namun, RUU ini punya sisi positif mempermudah perizinan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui oleh DPR dinilai tidak cukup untuk memberantas korupsi. Sebab, RUU ini dianggap tidak menyelesaikan permasalahan utama terjadinya korupsi di Indonesia.
Dalam konferensi pers virtual pada Jumat (9/10/2020), Presiden Joko Widodo mengungkapkan, RUU Cipta Kerja akan mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebab, dengan menyederhanakan, memotong, dan mengintegrasikan ke dalam sistem perizinan secara elektronik, pungutan liar dapat dihilangkan. Itulah salah satu upaya pemberantasan korupsi dalam birokrasi yang disorot Presiden.
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko, RUU Cipta Kerja tidak cukup untuk memberantas korupsi di Indonesia. ”Korupsi Indonesia belum ada perbaikan karena salah satu bebannya ada pada korupsi peradilan dan politik, bukan hanya pada korupsi di pelayanan bisnis,” kata Danang dalam diskusi daring bertajuk ”UU Cipta Kerja Vs Pemberantasan Korupsi” yang diselenggarakan TII, Kamis (15/10/2020).
Selain Danang, hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, dan pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
Korupsi Indonesia belum ada perbaikan karena salah satu bebannya ada pada korupsi peradilan dan politik, bukan hanya pada korupsi di pelayanan bisnis.
Danang menjelaskan, korupsi peradilan terkait dengan kepastian dan jaminan bagi investasi. Adapun korupsi politik terkait dengan stabilitas politik yang juga berdampak pada investasi. Jika pemberantasan korupsi menjadi prioritas, seharusnya korupsi di dua sektor tersebut harus diperbaiki.
Akan tetapi, dalam RUU Cipta Kerja justru banyak dimasukkan aturan terkait dengan perburuhan dan perizinan lingkungan. Padahal, dalam kemudahan bisnis global, dua hal tersebut bukan sesuatu yang mutlak bagi investor global. Danang menduga, justru pebisnis dalam negeri yang memiliki kepentingan lebih besar dalam perburuhan ini.
”Soal bisnis tidak menyinggung perburuhan dan lingkungan yang banyak memicu protes. Apakah (RUU Cipta Kerja) ini inisiatif investor global atau dalam negeri?” ujar Danang.
Ia juga mengkritisi perampingan perizinan yang diambil alih dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, yang pada akhirnya mendorong protes kepala daerah. Setelah KPK sebagai institusi pengawasan dilemahkan dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan dikooptasi, sehingga proses akuntabilitas melemah, praktik renten akan bergeser dari pemerintah daerah ke pusat.
Punya sisi positif
Meskipun demikian, Danang tetap melihat ada sisi positif dari RUU Cipta Kerja ini, khususnya dalam hal perizinan yang dipermudah. Namun, sisi positif tersebut tertutup oleh proses penyusunan yang terburu-buru, perencanaan yang tertutup, pembatasan partisipasi publik, dan bias kepentingan bisnis domestik.
Faisal Basri mengatakan, korupsi merupakan fenomena penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi yang tinggi sering terjadi ketika kekuatan negara sangat kuat, apalagi didukung dengan kekuatan korporasi.
Menurut Faisal, Indonesia saat ini cenderung keluar dari usaha untuk membelenggu penyalahgunaan kekuasaan sehingga kekuatan masyarakat melemah. Hal tersebut membuat kebebasan menjadi terganggu dan kekuasaan cenderung disalahgunakan dengan cara represi.
Ada sisi positif dari RUU Cipta Kerja ini, khususnya dalam hal perizinan yang dipermudah. Namun, sisi positif tersebut tertutup oleh proses penyusunan yang terburu-buru, perencanaan yang tertutup, pembatasan partisipasi publik, dan bias kepentingan bisnis domestik.
Penguasa membuat undang-undang dengan proses yang tidak kredibel. Semua seolah-olah dapat diatur karena kekuatan oposisi lemah. Partisipasi masyarakat kurang dikehendaki sehingga terjadi sentralisasi. ”Itu semua yang menyebabkan potensi korupsi terjadi dengan omnibus law ini. Ruang untuk korupsi semakin lebar,” kata Faisal.
Bivitri Susanti mengatakan, RUU Cipta Kerja akan banyak menimbulkan masalah tata kelola pemerintahan dan korupsi. Sebab, akar permasalahan di Indonesia tidak disasar, yakni pada kapasitas kelembagaan, korupsi, dan pemerintahan pada aktor birokrasi.
Pemerintah memilih menggunakan solusi instan dengan menggunakan RUU Cipta Kerja daripada melalui demokrasi dan aturan hukum. Solusi instan tersebut menimbulkan masalah baru pada semakin mengurat-akarnya masalah pemerintahan. Kemudahan berusaha yang ada pada RUU Cipta Kerja hanya akan menguntungkan elite.
Jalan instan ini melanggar konstitusi, hak asasi manusia (HAM), dan merusak lingkungan. Karena itu, opsi konstitusional yang tersedia harus diupayakan semua. Selain itu, masyarakat sipil harus terus mendiskusikan kerusakan demokrasi dan negara hukum yang semakin parah.