Pemilihan kepala daerah tidak langsung atau melalui DPRD dapat menjadi opsi ketika kontestasi politik lokal dilaksanakan saat pandemi Covid-19 yang belum terkendali. Pemilihan oleh DPRD dinilai lebih aman dilakukan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama 15 tahun terakhir, pemilihan kepala daerah di Indonesia dinilai belum mencapai bentuk ideal. Kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan langsung itu dinilai belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi publik. Bahkan, ada kecenderungan, mayoritas calon kepala daerah disponsori oleh pengusaha.
Hal itu kembali diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pada acara Evaluasi 15 Tahun Penyelenggaraan Pilkada: Capaian dan Tantangan dalam Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang diadakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (14/10/2020). Narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut, di antaranya, Menkopolhukam Mahfud MD, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, dan komisioner KPU Evi Novida Ginting. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang dijadwalkan hadir tidak bisa bergabung dalam webinar tersebut.
Pilkada langsung belum sepenuhnya melahirkan pemimpin daerah yang baik. Bahkan, menurut data dari Kementerian Dalam Negeri tahun 2014, ada 61 persen kepala daerah tersangkut kaus korupsi.
Mahfud MD mengatakan, pilkada langsung belum sepenuhnya melahirkan pemimpin daerah yang baik. Bahkan, menurut data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2014, ada 61 persen kepala daerah tersangkut kaus korupsi. Adapun temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemilihan kepala daerah disponsori oleh pemodal atau cukong. Itu semua, menurut Mahfud, terjadi karena biaya pilkada mahal. Calon kepala daerah kemudian mencari modal dengan segala cara, termasuk dari pemodal. Uang tersebut akan ditukar dengan kebijakan saat dia menjabat.
”Dan, itu sudah terbukti, perkara sengketa pilkada yang saya tangani saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi membuktikan itu. Banyak perkara yang saya putus berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan untuk mengembalikan modal saat pilkada,” kata Mahfud.
Selain itu, kata Mahfud, dampak pilkada langsung yang dia temukan saat menjabat hakim konstitusi adalah politik uang, penyalahgunaan program atau bantuan sosial, dan pengerahan massa pemilih dari daerah lain. Untuk kasus politik uang, misalnya, banyak dikritik tokoh ulama bangsa bahwa saat pilkada, banyak rakyat menunggu serangan fajar.
Dampak pilkada langsung yang dia temukan saat menjabat hakim konstitusi adalah politik uang, penyalahgunaan program atau bantuan sosial, dan pengerahan massa pemilih dari daerah lain.
Kontradiksi inilah yang dulu sempat membuat ormas Islam terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), meminta agar pemerintah menghentikan pilkada langsung. Menurut NU, pilkada langsung lebih banyak mudaratnya. Selain itu, Muhammadiyah melalui suara dari pimpinannya juga meminta pilkada langsung dihentikan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat saat itu kemudian menampung aspirasi tersebut dan merancang UU Pemilihan Kepala Daerah tak langsung melalui DPRD. Saat itu, hampir semua partai setuju.
”Namun, pada saat pengesahan UU terjadi bersamaan dengan kontestasi politik antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi. Karena koalisi Pak Prabowo menang di parlemen hingga lebih dari 60 persen, sedangkan Jokowi menang di pemilihan presiden. Ada kekhawatiran pemerintahan tidak efektif jika dikuasai oleh kelompok Pak Prabowo,” terang Mahfud.
Dalam perjalanannya, pemilihan kepala daerah secara tidak langsung itu sudah disahkan di DPR. UU disahkan dengan metode voting di DPR, tetapi ada fraksi yang walk out. Namun, UU tetap disahkan, dan pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Setelah itu, rezim Presiden SBY diserang oleh masyarakat sipil. SBY dianggap merusak demokrasi dan meninggalkan warisan buruk pada akhir masa jabatannya. Suara nyaring dari masyarakat sipil itu pun didengar oleh Presiden SBY yang saat itu berada di Amerika Serikat. SBY kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu) yang membatalkan norma pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
”UU Pilkada disahkan pada 29 September 2014. Setelah itu, dua hari kemudian, 2 Oktober, Presiden mengeluarkan perppu untuk mencabut ketentuan pemilihan kepala daerah oleh DPRD,” kata Mahfud.
Namun, selain sisi negatifnya, Mahfud juga mengakui bahwa ada banyak sisi positif dari pilkada langsung. Pertama, partisipasi masyarakat saat pemilu kepala daerah meningkat karena mereka terlibat langsung dengan tokoh yang akan dipilihnya. Rakyat semakin sadar untuk menggunakan hak pilihnya demi menentukan kepemimpinan di suatu daerah.
Rakyat semakin sadar untuk menggunakan hak pilihnya demi menentukan kepemimpinan di suatu daerah.
Selain itu, pemilihan kepada daerah juga membuat koalisi parpol di daerah lebih cair. Meskipun tidak berkoalisi di tingkat nasional, parpol dengan ideologi berbeda, seperti religius dan nasionalis, dapat bersatu di daerah. Partai-partai berbasis agama, yang dulu dicurigai sebagai anti-Pancasila, sekarang lebih cair membangun koalisi di daerah. Hal itu terutama terlihat di Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara.
”Sekat-sekat ideologis itu lebur dan mencair dalam konteks politik daerah,” kata Mahfud.
Diterapkan pada masa pandemi
Guru Besar IPDN Djohermansyah Djohan mengatakan, pilkada langsung merupakan pendalaman dari demokrasi. Sesuai dengan prinsip demokrasi, rakyat berdaulat menentukan kepemimpinan di daerah yang didesentralisasikan. Harapan dari pemilihan langsung itu adalah untuk mencari pemimpin yang kompeten, berintegritas, dan tidak korup. Selain itu, juga untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien.
”Rakyat juga berharap pilkada bisa menyejahterakan, ekonomi bisa tumbuh. Jika semua harapan itu tidak tercapai, berarti ada masalah dalam pelaksanaan pilkada kita saat ini,” kata Djohermansyah.
Terkait dengan kondisi pilkada pada masa pandemi, sebenarnya pemilihan tidak langsung oleh DPRD bisa menjadi opsi.
Terkait dengan kondisi pilkada pada masa pandemi, Djohermansyah mengatakan bahwa sebenarnya pemilihan tidak langsung oleh DPRD bisa menjadi opsi. Pemilihan oleh DPRD tetap konstitusional sebab dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 hanya disebutkan, ”Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah, provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Menurut Djohermansyah, pemilihan melalui DPRD pun demokratis dan konstitusional.
”Ini bisa menjadi opsi karena pada saat pandemi ini, partisipasi pemilih bisa menurun drastis karena orang takut pergi ke bilik suara. Selain itu, juga ada ancaman kesehatan yang serius jika pergi ke bilik suara yang ramai kerumunan,” ujar Djohermansyah.
Djohermansyah khawatir target partisipasi pemilih yang ditetapkan KPU bisa saja tidak tercapai atau lebih rendah daripada target. Dampaknya bagi tata kelola pemerintahan nantinya, legitimasi kepala daerah lemah. Kepemimpinan kepala daerah terpilih bisa juga kurang efektif.
”Karena belum ada pelandaian kasus positif Covid-19, idealnya pilkada ditunda ke Juni atau September 2021. Ini untuk menyiapkan segala aspek yang diperlukan untuk menciptakan pilkada yang sehat pada masa pandemi,” kata Djohermansyah.
Dibandingkan dengan pilkada langsung yang melibatkan sekitar 103 juta jiwa, pemilihan oleh DPRD dinilai lebih aman.
Oleh karena itu, menurut Djohermansyah, pilkada tidak langsung atau dipilih DPRD dapat menjadi pilihan. Dibandingkan dengan pilkada langsung yang melibatkan sekitar 103 juta jiwa, pemilihan oleh DPRD dinilai lebih aman. Namun, untuk dapat menyelenggarakan pilkada secara tidak langsung ini harus ada payung hukumnya, yaitu perppu. Selain itu, agar tidak terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dalam proses penyelenggaraan pilkada itu juga dapat melibatkan aparat penegak hukum, seperti KPK.
Mahfud MD berharap seri diskusi yang diselenggarakan oleh CSIS ini dapat memberikan evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada langsung yang sudah berlangsung selama 15 tahun tersebut. Pemerintah juga membutuhkan masukan konstruktif bagaimana memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah yang lebih baik dan ideal.
”Semoga diskusi CSIS ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah serta rekomendasi perbaikan untuk menyempurnakan pelaksanaan pilkada secara jangka panjang. Tidak hanya terbatas pada masa pandemi,” kata Mahfud.