Pandemi Covid-19 Jadi Alasan Surat Jalan untuk Joko Tjandra
Dalam berkas dakwaan Joko Tjandra yang dibacakan di pengadilan, surat jalan palsu untuk Joko Tjandra diterbitkan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo dengan alasan untuk kegiatan monitoring pandemi Covid-19.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Surat jalan, surat keterangan Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan yang dibuat Brigadir Jenderal (Polisi) Prasetijo Utomo memudahkan mobilitas Joko Tjandra di Indonesia sekalipun berstatus sebagai buron. Padahal, surat-surat tersebut isinya tidak benar dan bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya.
Hal itu terungkap dalam sidang perdana kasus pembuatan surat jalan palsu untuk Joko dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Joko yang diselenggarakan secara virtual dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (13/10/2020). Sidang dipimpin Muhammad Sirad sebagai hakim ketua bersama Sutikna dan Lingga Setiawan sebagai hakim anggota.
Selain Joko Tjandra, dua terdakwa lain dalam kasus ini, Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo (mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, dan Anita Kolopaking (bekas pengacara Joko). Mereka menghadiri sidang melalui konferensi video. Joko merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali, tahun 2009. Saat itu, ia divonis 2 tahun penjara oleh Mahkamah Agung, tetapi Joko memilih kabur dan baru ditangkap Bareskrim Polri pada akhir Juli lalu.
”Bahwa penggunaan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan yang tidak benar tersebut merugikan Polri secara imateriil, seolah-olah Polri, khususnya Biro Korwas PPNS, telah memfasilitasi perjalanan, seperti layaknya perjalanan dinas,” kata jaksa penuntut umum Yeni Trimulyani.
Dalam dakwaannya, Joko diperkenalkan dengan Anita di kantor Exchange lantai 106 di Kuala Lumpur, Malaysia, pada November 2019. Joko bermaksud menggunakan jasa Anita untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MA terhadap Joko pada 2009. Namun, untuk menempuh upaya hukum tersebut, pemohon harus hadir sendiri di pengadilan untuk mendaftarkan permohonan PK.
Dari sana, Joko lantas meminta Anita untuk mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan agar Joko bisa mendaftarkan PK, termasuk di dalamnya rencana Joko masuk Indonesia melalui Bandar Udara Supadio, Pontianak. Ia juga meminta agar kepergiannya untuk mendaftar PK dirahasiakan.
Monitoring pandemi
Tak hanya itu, Joko meminta Anita untuk menghubungi pengusaha Tommy Sumardi yang kemudian mengenalkan Anita dengan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo. Prasetijo lantas memerintahkan bawahannya untuk membuat surat jalan bagi Prasetijo, Anita, dan Joko ke Pontianak dengan tujuan monitoring pandemi Covid-19 di Pontianak, 3 Juni 2020. Korps surat yang seharusnya bertuliskan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal diubah menjadi Badan Reserse Kriminal Polri Biro Korwas PPNS.
Pejabat penandatangan yang sebelumnya tertulis Kepala Badan Reserse Kriminal Polri diganti menjadi Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS beserta nama pejabatnya. Demikian pula bagian tembusan pun dihilangkan. Prasetijo juga memerintahkan bawahannya untuk membuat surat keterangan pemeriksaan Covid-19 dan surat rekomendasi kesehatan tanggal 5 Juni 2020.
Kemudian surat-surat serupa juga diminta Joko kepada Anita untuk dibuatkan saat Joko hendak membuat paspor di Jakarta. Sebagaimana sebelumnya, Prasetijo kemudian membuat surat serupa, yakni surat jalan bertanggal 18 Juni 2020, surat rekomendasi kesehatan, dan surat keterangan pemeriksaan Covid-19 bertanggal 19 Juni 2020.
”Selain kerugian immaterial dari kepolisian, juga telah terjadi kerugian dari pihak Otoritas Bandar Udara baik Halim Perdana Kusuma dan Supadio, Pontianak, karena telah memanipulasi petugas baik Bandar Udara dan KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) dengan surat-surat yang tidak benar,” kata jaksa.
Oleh karena itu, Joko didakwa dengan Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) joPasal 55 Ayat (1) KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Dalam sidang, penasihat hukum Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, mengusulkan kepada majelis hakim agar pada persidangan selanjutnya, terdakwa dapat dihadirkan ke ruang sidang. Hal itu dimaksudkan agar penasihat hukum dapat berkomunikasi dengan kliennya secara lebih baik.
Namun, majelis hakim menolak karena persidangan daring dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung.
Setelah pembacaan dakwaan terhadap Joko Tjandra, jaksa membacakan surat dakwaan bagi terdakwa Anita Kolopaking dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo. Sementara persidangan terhadap ketiganya dilakukan secara terpisah.