Koalisi masyarakat sipil minta MK menyatakan pasal UU ITE yang mengatur pemblokiran internet untuk cegah informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum bertentangan konstitusi. Namun, MK minta gugatan direvisi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi memberikan banyak saran kepada Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers dalam sidang perdana uji materi pasal pemblokiran internet, Senin (12/10/2020). Majelis meminta pemohon memperbaiki permohonan agar sesuai dengan format yang telah diatur dalam hukum acara dan peraturan MK. Selain itu, pemohon juga diminta memperbaiki aspek kedudukan hukum dan kerugian konstitusional.
Sidang perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020 itu dipimpin oleh ketua majelis panel Daniel Yusmic P Foekh serta anggota Manahan MP Sitompul dan Saldi Isra. Koalisi masyarakat sipil sebelumnya meminta agar MK menyatakan Pasal 40 Ayat 2b UU ITE yang mengatur tentang pemblokiran internet untuk mencegah informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum bertentangan dengan konstitusi. Batu uji dalam uji materi itu adalah Pasal 1 Ayat 3, Pasal 24 Ayat 1, Pasal 28d dan 28f UUD 1945. Mereka juga meminta agar mahkamah membatalkan norma Pasal 40 Ayat 2b UU ITE sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam persidangan tersebut, pemohon diwakili oleh kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Setelah kuasa hukum membacakan ringkasan permohonannya, majelis panel memberikan berbagai saran. Berbagai saran yang tegas disampaikan oleh majelis panel. Sebab, format permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan hukum acara dan peraturan MK.
”Apakah kuasa hukum sudah sering beracara di MK? Coba diperhatikan sistematika permohonan agar tidak seperti dalam bentuk makalah. Coba dicermati apa yang sudah diatur dalam hukum acara MK,” kata Daniel Yusmic.
Kuasa hukum dari LBH Pers Ade Wahyudin kemudian menjawab bahwa persidangan itu adalah pengalaman pertama baginya. Oleh karena itu, semua saran yang diberikan oleh MK akan digunakan dalam tahap perbaikan permohonan.
Coba diperhatikan sistematika permohonan agar tidak seperti dalam bentuk makalah. Coba dicermati apa yang sudah diatur dalam hukum acara MK.
Kedudukan hukum pemohon
Hakim anggota Manahan Sitompul juga mengatakan bahwa pemohon harus lebih jelas dalam memaparkan argumentasi hukum untuk pengujian pasal. Majelis panel masih menemukan inkonsistensi pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji. Misalnya, dalam uraian permohoan disebutkan Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945. Tiba-tiba di dalam petitum ada pasal baru muncul, yaitu Pasal 28f UUD 1945. Menurut Manahan, jika ini dilakukan, permohonan akan kabur sehingga majelis akan kesulitan memeriksa perkara.
”Jangan asal comot pasal UUD 1945. Kalau ada banyak ayat di dalam pasal tersebut, sebutkan dulu semuanya, baru dijelaskan apa yang menjadi argumen hukum pengujian. Jangan dimanipulasi pasalnya, apalagi ada ayat-ayat yang mendasar,” kata Manahan.
Karena pemohon terdiri dari individu dan organisasi, majelis panel juga meminta agar pemohon memperjelas kedudukan hukum keduanya. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai pemohon dua, misalnya, harus dijelaskan apakah statusnya badan hukum, dengan AD/ART yang jelas. Tujuannya agar dapat ditentukan apakah perwakilan yang hadir di persidangan berhak mewakili badan hukum tersebut ke pengadilan.
”Uraikan apakah pemohon 1 itu sebagai perseorangan atau berbadan hukum harus jelas. Karena itu akan berdampak bagi kerugian konstitusionalnya,” kata Manahan.
Manahan juga meminta dalam permohonan itu kuasa hukum memberikan komparasi kasus pemblokiran internet yang terjadi di negara lain. Apakah benar argumen dari kuasa hukum bahwa pemerintah melakukan sesuatu yang melebihi kewenangannya? Sebab, di Indonesia diatur hak diskresi, yaitu dalam keadaan mendesak untuk menanggulangi situasi krisis, pemerintah berhak mengeluarkan diskresi.
Karena pemohon meminta bahwa yang berhak menentukan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum adalah pengadilan, majelis panel juga meminta pertimbangan hukum, bagaimana hal itu bisa dipenuhi dalam keadaan mendesak? Berapa lama pengadilan harus menentukan status tersebut.
Kerugian konstitusional
Sementara itu, anggota panel, Saldi Isra, mengatakan, sebelum mengajukan permohonan uji materi di MK, pemohon seharusnya sudah melihat format permohonan perkara di MK. Hal itu harus disesuaikan dengan format yang ada. Saldi juga meminta agar kedudukan hukum pemohon diperjelas dalam permohonan tersebut. Selain itu, Saldi juga menyoroti tentang uraian kerugian konstitusional yang tidak seimbang antara pemohon 1 Arnoldus Belau dan pemohon 2 AJI. Kerugian konstitusional pemohon 1 dapat diuraikan banyak sekali. Sedangkan pemohon 2 hanya muncul dalam tabel-tabel. Saldi meminta agar hal itu diuraikan saja dalam bentuk penjelasan.
”Jelaskan secara clear siapa yang diajukan sebagai pemohon serta apa alasan kerugian konstitusional atau potensi kerugian konstitusionalnya,” tegas Saldi.
Jelaskan secara clear siapa yang diajukan sebagai pemohon serta apa alasan kerugian konstitusional atau potensi kerugian konstitusionalnya.
Atas saran perbaikan itu, kuasa hukum pemohon Ade Wahyudin mengatakan akan memperbaiki permohonan sesuai dengan saran dari majelis panel. Kemudian, majelis memerintahkan agar pemohon membuat perbaikan permohonan dalam waktu maksimal 14 hari dari persidangan perdana. Setelah itu, majelis panel yang akan menentukan jadwal selanjutnya.
Melalui keterangan tertulis, Ade Wahyudin juga mengatakan bahwa tuntutan pemohon 1 Arnoldus Belau dan pemohon 2 AJI adalah agar MK menguji konstitusionalitas Pasal 40 Ayat 2b UU ITE. Pasal tersebut menyatakan, ”dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2a, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.”
Mereka menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon juga meminta kepada MK untuk memberikan kewenangan pemblokiran oleh pemerintah melalui proses hukum, tidak hanya keputusan sepihak. Menurut dia, penafsiran tentang informasi dan atau dokumen elektronik yang melanggar hukum seharusnya didasarkan pada penafsiran hakim. Sebab, berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, hakimlah yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu melanggar hukum.
”Dengan berlakunya pasal aquo pemerintah berwenang terlalu luas dan mengambil kewenangan hakim atas tafsir informasi dan atau dokumen elektronik yang melanggar hukum,” kata Ade Wahyudin.
Ade juga menjelaskan bahwa seharusnya penentuan informasi dan atau dokumen yang mengandung muatan melanggar hukum dilakukan melalui pengadilan setelah ada relas eksekusi dari jaksa penuntut umum. Setelah itu, baru pemerintah dapat melakukan blokir internet.
”Kami berharap masukan dari majelis hakim pada sidang pendahuluan ini akan menyempurnakan langkah perjuangan untuk menghasilkan kebijakan pengaturan internet berbasis hukum. Sidang hari ini merupakan awal dari langkah serius untuk merevisi kebijakan pemblokiran internet yang kami nilai kebablasan,” terang Ade.