Meskipun perbaikan draf Undang-Undang Cipta Kerja telah tuntas dan menghasilkan draf akhir dengan 812 halaman, DPR menepis terjadi perubahan substansi draf dari draf yang disetujui dalam Rapat Paripurna DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perbaikan draf Undang-Undang Cipta Kerja telah tuntas dan menghasilkan draf akhir dengan 812 halaman. Draf harus dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo paling lambat Rabu (14/10/2020). DPR juga membantah telah terjadi perubahan substansi draf dari draf yang disetujui dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020 dengan draf akhir hasil perbaikan. Namun, karena akses publik terhadap draf tidak dibuka, klaim itu menimbulkan keraguan di benak publik.
Hingga Selasa (13/10/2020), publik belum dapat mengakses draf resmi melalui laman DPR. Draf terakhir yang diterima Kompas ialah draf 812 halaman yang dikirimkan oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, Senin malam. Draf yang sama dikonfirmasi oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, dalam keterangan pers, Selasa, sebagai draf final yang akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo untuk dimintakan tanda tangan dan pengesahan. Selanjutnya, Presiden memiliki waktu 30 hari untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Jika melebihi tenggat 30 hari, RUU Cipta Kerja itu otomatis menjadi UU dan harus diundangkan di dalam Lembaran Negara.
Dalam keterangannya, Azis membantah sejumlah informasi yang simpang siur di masyarakat terkait dengan proses pembahasan RUU Cipta Kerja. Salah satu yang dipersoalkan ialah mengenai kepastian draf yang dihasilkan oleh DPR dan mekanisme pembahasan yang berjalan di DPR. Sembilan fraksi di DPR telah mengikuti rangkaian rapat kerja, rapat panitia kerja (panja), rapat tim perumus dan tim sinkronisasi, hingga pengambilan keputusan tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) serta rapat pengambilan keputusan tingkat II dalam rapat paripurna.
Azis mengatakan, proses dan mekanisme dalam pembahasan RUU Cipta Kerja itu mengikuti ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Tata Tertib DPR. Draf RUU Cipta Kerja itu akan resmi menjadi milik publik ketika telah dikirimkan kepada Presiden, Rabu ini.
”Kemudian, dalam proses rapat kerja, pimpinan Baleg dan pimpinan panja mengadakan RDPU (rapat dengar pendapat umum). RDPU dilakukan hampir 88 kali, baik fisik maupun secara virtual. Pertemuan-pertemuan dengan tokoh masyarakat, tokoh guru, tokoh pendidikan, tokoh kaum pengusaha, kaum buruh, kaum masyarakat, dilakukan hingga 89 kali. Proses itu dilakukan baik secara fisik maupun secara virtual. Data, rekaman, dan pembicaraan akan kami lampirkan kepada pemerintah,” katanya.
Proses dan mekanisme dalam pembahasan RUU Cipta Kerja itu mengikuti ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Tata Tertib DPR. Draf RUU Cipta Kerja itu akan resmi menjadi milik publik ketika telah dikirimkan kepada Presiden, Rabu ini.
Terkait dengan draf RUU Cipta Kerja yang banyak beredar di masyarakat, Azis menegaskan, draf akhir yang akan dikirimkan kepada presiden ialah draf yang terdiri atas 812 halaman. Draf itu merupakan hasil pengetikan dan editing yang dilakukan oleh Kesekretariatan Jenderal DPR dengan memperhatikan ukuran kertas, ukuran huruf, dan kesesuaian dengan ketentuan lain yang diatur di dalam legal drafting, sebagaimana disebutkan di dalam UU No 12/2011.
”Proses yang dilakukan di Baleg itu pakai kertas biasa. Tetapi, saat sudah masuk ke tingkat dua, masuk ke Kesekjenan pakai legal paper yang sudah menjadi syarat ketentuan dalam UU sehingga besar tipisnya, yang berkembang ada 1.000 sekian, ada tiba-tiba 900 sekian, tapi setelah dilakukan pengetikan final berdasarkan legal drafter ditentukan dalam kesekjenan dan mekanisme, total jumlah pasal dan kertas halaman hanya 812 halaman,” katanya.
Rincian draf akhir itu ialah 488 halaman berisi materi pokok dan sisanya penjelasan. Sebelumnya, Sekjen DPR Indra Iskandar, Senin pagi, mengirimkan draf berisi 1.035 halaman. Menurut Azis, draf itu adalah draf kasar yang belum menggunakan format draf sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam UU. ”Hal-hal ini perlu kami sampaikan untuk menyampaikan klarifikasi supaya tidak membingungkan khalayak dan masyarakat secara luas,” katanya.
Menjawab kekhawatiran publik mengenai penyelundupan pasal atau perubahan substansi di dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, Azis menjamin hal itu tidak akan terjadi. Upaya mengubah substansi RUU yang telah disetujui di dalam rapat paripurna merupakan tindakan pidana. Ia memastikan hal itu tidak akan terjadi dan memercayai proses yang dijalankan oleh Baleg DPR. Setiap tahapan pembahasan RUU Cipta Kerja itu terekam dan terdokumentasikan dengan baik.
Meski demikian, terdapat perbedaan substansi antara draf 1.035 halaman dan draf akhir, 812 halaman, terutama di kluster ketenagakerjaan. Menyoal ini, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, terkait dengan ayat-ayat di dalam Pasal 79, Pasal 88 A, dan Pasal 154 di dalam draf akhir RUU, yang berbeda dengan draf 1.035 halaman, disebutnya bukan merupakan perubahan substansi.
”Sebenarnya itu tidak mengubah substansi karena itu keputusan Panja mengembalikan kepada UU eksisting. Jadi, ketentuan Pasal 161-172 UU No 13/2003 (tentang Ketenagakerjaan) itu disepakati di tingkat panja untuk kembali ke UU eksisting. Sementara pada saat dilakukan editing di dalam itu ternyata disimplifikasi (disederhanakan). Nah, akhirnya kita kembalikan ke posisinya bahwa semua ketentuan Pasal 161 sampai dengan Pasal 172 itu dicantumkan di dalam Pasal 154 RUU Cipta Kerja,” katanya.
Picu keraguan
Wajar jika kemudian publik ragu dan curiga terhadap proses perbaikan draf itu karena tidak ada yang bisa memastikan tidak ada perubahan draf karena publik tidak memiliki acuan dalam mengukur ada tidaknya perubahan substansi draf yang telah disetujui. Akses informasi terhadap draf hanya dimiliki oleh anggota DPR dan pemerintah. Bahkan, hanya segelintir anggota DPR saja yang tahu, termasuk dalam proses perbaikannya.
Dihubungi terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, apa yang disampaikan oleh pimpinan DPR dan Baleg itu belum menjawab kegelisahan publik yang timbul akibat proses pembahasan yang tertutup selama ini. ”Keterangan yang hanya berkutat soal jumlah halaman draf RUU itu, kan, dangkal sekali, sementara yang menjadi pertanyaan publik ialah soal transparansi dan keterbukaan pembahasan RUU Cipta Kerja ini,” katanya.
Menurut Lucius, jika DPR mau, seharusnya pembahasan RUU dengan cakupan luas dengan metode omnibus law ini disampaikan secara terbuka di dalam laman DPR. Artinya, ketika ada perubahan draf dari waktu ke waktu, draf perubahan itu disampaikan secara terbuka melalui laman DPR. Dengan demikian, publik memiliki acuan yang pasti mengenai draf RUU Cipta Kerja. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh DPR sehingga publik terjebak pada pencarian draf dan ketidakjelasan perkembangan perbaikan draf yang serba tertutup.
”Wajar jika kemudian publik ragu dan curiga terhadap proses perbaikan draf itu karena tidak ada yang bisa memastikan tidak ada perubahan draf karena publik tidak memiliki acuan dalam mengukur ada tidaknya perubahan substansi draf yang telah disetujui. Akses informasi terhadap draf hanya dimiliki oleh anggota DPR dan pemerintah. Bahkan, hanya segelintir anggota DPR saja yang tahu, termasuk dalam proses perbaikannya,” kata Lucius.
Proses yang tertutup ini, lanjut Lucius, bukan hanya merugikan publik, melainkan juga menjadi preseden buruk bagi proses legislasi di Tanah Air. Uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menjadi jalan untuk membuktikan sejauh mana proses pembahasan RUU itu sesuai dengan ketentuan. ”Tidak hanya bukti tertulis, tetapi juga DPR harus memaparkan di hadapan MK rekaman audio dan video itu sesuai ataukah tidak dengan pembahasan di dalam draf yang tertulis sehingga tidak hanya menjadi klaim kosong belaka,” ujarnya.