Tunda Pilkada di Daerah dengan Kepatuhan Protokol Rendah
Pemerintah disarankan untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 di daerah-daerah yang tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatannya rendah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mempertimbangkan opsi penundaan pemilihan kepala daerah serentak di daerah-daerah yang kedisiplinan protokol kesehatannya rendah dan belum mampu mengendalikan penularan Covid-19. Pada tahap awal, pilkada bisa dilakukan di daerah yang dinilai siap sehingga pelaksanaannya bisa menjadi contoh bagi daerah lain.
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo mengatakan, penundaan parsial perlu dilakukan di daerah-daerah yang kepatuhan protokol kesehatannya rendah. Dari 270 daerah yang mengadakan pilkada, dipilih beberapa daerah yang paling siap untuk dijadikan proyek percontohan pelaksanaan pilkada yang aman dari penularan Covid-19.
Penundaan parsial perlu dilakukan di daerah-daerah yang kepatuhan protokol kesehatannya rendah.
Jika seluruh daerah itu menyelenggarakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020, risiko penularannya terlalu tinggi. Ia khawatir masih terjadi pelanggaran protokol kesehatan, terutama di daerah yang tingkat kepatuhan protokol kesehatannya rendah.
”Dengan big data, kita bisa melihat daerah mana saja yang memiliki kepatuhan (protokol kesehatan) tinggi dan tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan memadai sehingga bisa melihat daerah mana saja yang bisa melakukan pilkada pada 9 Desember 2020 dan mana yang harus ditunda pada 2021,” kata Eko saat seminar daring bertajuk ”Pilkada di Masa Pandemi” yang diselenggarakan Universitas Indonesia, Senin (12/10/2020).
Dalam pantauan Badan Pengawas Pemilu pada 10 hari pertama masa kampanye (26 September-5 Oktober), ditemukan 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan di 59 kabupaten/kota yang dilakukan pasangan calon. Kondisi ini menjadi bukti bahwa pelanggaran protokol kesehatan sangat mungkin terjadi dalam tahapan pilkada.
Penundaan itu, lanjut Eko, dimungkinkan karena telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada.
Dalam Pasal 201A Ayat (3) tertulis, Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A.
Kemudian pada penjelasan ayat tersebut ditulis, pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2020 ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Covid-19 belum berakhir.
Mengacu pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada 12 Oktober 2020, masih terjadi penambahan kasus harian sebanyak 3.267 kasus sehingga jumlah kumulatif kasus mencapai 336.716 kasus. Sebanyak 76 persen di antaranya sembuh, 3,5 persen meninggal, dan 19,6 persen masih dirawat.
Jika tetap meneruskan pilkada sesuai jadwal di saat pandemi Covid-19 belum berakhir, menurut Eko, sebaiknya perlu memperhatikan kesiapan penyelenggara, pasangan calon, dan pemilih dalam menerapkan protokol kesehatan. Untuk daerah yang dinilai siap, pilkada dapat tetap diselenggarakan sesuai jadwal. Namun, jika daerah itu dinilai belum siap, pilkada bisa ditunda sekitar satu hingga dua bulan.
”Pilkada asimetris atau bertahap perlu dipertimbangkan,” katanya.
Jika tetap meneruskan pilkada sesuai jadwal di saat pandemi Covid-19 belum berakhir, perlu diperhatikan kesiapan penyelenggara, pasangan calon, dan pemilih dalam menerapkan protokol kesehatan.
Menurut dia, penundaan parsial itu bisa menjadi solusi untuk memastikan penyelenggaraan pilkada yang aman dari penularan. Dari pengalaman pilkada di daerah dengan kepatuhan tinggi, bisa diambil model pilkada yang aman dari penularan.
Dengan demikian, penundaan itu justru berpotensi mampu mendorong partisipasi pemilih. Saat pandemi, dikhawatirkan partisipasi pemilih akan turun karena masyarakat kahwatir terjadi penularan saat pilkada. Ia pun memperkuat argumen itu dengan mengutip survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia, sekitar 20 hingga 46 persen warga enggan mendatangi tempat pemungutan suara pilkada serentak di tengah situasi pandemi Covid-19.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI Valina Singka Subekti menuturkan, pilkada tanpa kerumunan massa adalah sebuah keniscayaan. Jika tidak mampu memastikan kedisiplinan warga menerapkan protokol kesehatan, pilkada sangat berisiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Komisi Pemilihan Umum harus membuat mitigasi risiko untuk menentukan parameter daerah yang bisa melanjutkan dan harus menunda pilkada.
Oleh sebab itu, Komisi Pemilihan Umum harus membuat mitigasi risiko untuk menentukan parameter daerah yang bisa melanjutkan dan harus menunda pilkada. Aturan yang tertuang dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020 dinilai masih belum jelas.
”KPU harus bersuara kuat untuk menjamin semua tahapan berjalan baik karena bisa menentukan pilkada tetap dilanjutkan atau tidak,” katanya.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menegaskan, masih memungkinkan adanya kebijakan alternatif terkait pilkada serentak 2020. Semua itu tergantung dari hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah karena undang-undang telah memberikan ruang untuk penundaan pilkada.
Asisten Deputi Koordinasi Bidang Pengelolaan Pemilu dan Penguatan Partai Politik Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Brigadir Jenderal Yusron Yunus mengatakan, pihaknya tidak memiliki data persentase kepatuhan pelaksanaan protokol kesehatan di daerah, terutama di daerah yang melaksanakan pilkada.
Opsi penundaan pilkada serentak bisa dilakukan ketika terjadi keadaan memaksa atau force majeure.
Namun, opsi penundaan pilkada serentak bisa dilakukan ketika terjadi keadaan memaksa atau force majeure. Jika hal itu terjadi, pemerintah, DPR, dan KPU akan duduk bersama membahas kelanjutan pelaksanaan pilkada. Meskipun demikian, pihaknya telah berupaya agar pilkada bisa aman dari penularan Covid-19, antara lain dengan menerbitkan aturan tentang kampanye serta pemungutan suara yang sesuai dengan protokol kesehatan.
”Kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah hal yang paling utama dalam pelaksanaan pilkada dengan jaminan penegakan hukum protokol kesehatan. Mari bersama-sama mewujudkan pilkada yang sehat, demokratis, dan bebas dari korupsi,” kata Yusron mengutip komitmen Menko Polhukam Mahfud MD.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang menuturkan, terjadi penurunan daerah zona merah atau risiko tinggi penularan Covid-19 di daerah yang menyelenggarakan pilkada. Hingga hari ini, ada 31 daerah zona merah, menurun dibandingkan pada 6 September yang terdapat 45 zona merah. Adapun di daerah yang tidak menyelenggarakan pilkada juga terjadi penurunan dari 25 daerah menjadi 23 daerah.
”Sekarang ada 14 daerah peserta pilkada yang tidak ada zona merah. Kami harap ini dampak dari kampanye yang dilakukan paslon pilkada,” ujarnya.