Perangi Korupsi Korporasi dengan Sanksi Sosial dan Pencegahan
Korupsi korporasi tidak selalu menyoal tuntutan pidana. Lebih dari itu, sanksi sosial dan upaya mencegah korupsi menjadi lebih penting dalam upaya memerangi korupsi ke depan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Swasta tercatat sebagai jenis profesi terbanyak yang melakukan tindak pidana korupsi. Tidak selalu pemidanaan, sanksi sosial dan upaya pencegahan juga harus diutamakan dalam memerangi korupsi korporasi dan swasta.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga Juni 2020, menunjukkan, swasta merupakan pelaku korupsi terbanyak dengan total 308 orang. Adapun tindak pidana korupsi oleh korporasi tercatat dilakukan enam perusahaan.
Laporan Transparency International Indonesia pada 2019 pun menjelaskan, skor standar transparansi pelaporan perusahaan-perusahaan besar Indonesia hanya 3,5 dari 10 poin. Artinya, sebagian perusahaan kurang transparan dan berpotensi gagal membuktikan keberadaan pencegahan korupsi.
Tak mengherankan, korupsi masih menjadi hambatan utama dalam melakukan bisnis di Indonesia. Data Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam Global Competitiveness Report menunjukkan, skor korupsi sebagai penghambat melakukan bisnis di Indonesia terus meningkat dari 11,7 (2015); 11,8 (2016); hingga 13,8 (2017).
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai, penanganan korupsi di sektor swasta masih memberikan sanksi yang rendah, yaitu maksimal Rp 100 miliar untuk tindak pidana pencucian uang. Sementara keuntungan perusahaan bisa dikatakan tidak terbatas.
”Sanki sosialnya juga rendah, kita bisa lihat dari tidak adanya kepedulian pasar yang tetap membeli produk dari perusahaan yang melakukan korupsi. Padahal, ini (sanksi sosial) akan lebih efektif dibandingkan sanksi pidana,” ujar Pohan dalam kelas intensif Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi, Senin (12/10/2020).
Untuk itu, upaya mendewasakan konsumen juga menjadi poin penting. ”Kalau kita sama-sama peduli, jangan-jangan besok kita bisa membeli obat lebih murah, makanan lebih sehat, bahkan udara tidak seburuk sekarang,” kata Pohan.
Menurut dia, menangani kasus korupsi korporasi tidak selalu harus dibawa ke meja pengadilan. Penerapan sanksi sosial serta membuat perusahaan menjadi patuh dalam mencegah peluang korupsi menjadi lebih penting.
”Sama halnya dengan denda, seberapa pun besarnya (denda) yang diberikan terhadap korporasi yang melakukan korupsi itu bisa diubah menjadi cost (biaya operasional perusahaan). Jika demikian, konsumenlah yang akan kena (karena harga produk akan semakin tinggi),” tutur Pohan.
Perlu adanya ultimum remedium atau pendekatan alternatif untuk menyelesaikan persoalan korupsi swasta. Pencegahan untuk membuat perusahaan lebih taat dalam mencegah terbukanya peluang korupsi harus terus didorong.
Komitmen pimpinan
Anggota Dewan Pembina Indonesian Institute for Corporate Director Betti Alisjahbana mengatakan, pencegahan korupsi di sektor swasta akan efektif jika diarahkan langsung oleh pimpinan perusahaan bersangkutan. Para pemimpin perlu memperjuangkan nilai-nilai tata kelola korporasi yang baik.
”Meski zaman berubah, kejujuran tetap menjadi ekspektasi dari karyawan perusahaan. Seorang pemimpin harus memimpin dengan memberi contoh sehingga dapat menjadi teladan bagi karyawan,” ucap Betti.
Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi menyampaikan, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengadopsi International Organization for Standardization (ISO) 37001 tentang sistem manajemen antisuap dapat menjadi langkah awal menghadapi risiko suap. Pemimpin tertinggi, baik di perusahaan swasta, badan usaha milik negara, maupun lingkungan pemerintah sekalipun, harus berkomitmen memberantas korupsi.
”Memang harus ada komitmen dari pimpinan tertinggi atau disebut setting tone from the top yang menyatakan kepada bawahan atau rekan bisnisnya secara terbuka bahwa perusahaan menolak segala bentuk korupsi,” ujar Amien.