Beberapa bulan terakhir jaksa Pinangki dan Joko Tjandra jadi perbincangan di ruang publik. Selain kasus hukumnya, gaya hidup mewah Pinangki juga ikut dibahas, membangkitkan narasi soal keterkaitan gaya hidup dan korupsi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
Instagram @pinangkit yang diberi atribusi Doktor Pinangki beberapa pekan terakhir ramai dikunjungi pengguna internet. Sebagian dari mereka melontarkan kekesalan dengan mengomentari foto-foto glamor perempuan yang diduga Pinangki. Ada foto perempuan itu sedang berada di kelas bisnis pesawat terbang, makan malam di Per Se, New York, Amerika Serikat, restoran yang mengantongi tiga bintang Michelin.
Ada pula foto ia berpose di kursi taman di Central Park New York. Sebelas unggahan di akun itu bertanggal 16-17 Januari 2020. Selain itu, juga ada foto ia sedang berada di apartemen mewah di Manhattan, kawasan elite di New York. Dari balik kaca jendela apartemen tersebut terlihat sekelumit Central Park. Desain ruangan dan furnitur di foto itu mirip Park View Two-Bedroom Suite dari Trump Hotel di Manhattan.
Kemiripan itu terlihat dari latar pemandangan yang menghadap Central Park, lalu penataan ruang, bentuk dan warna meja serta kursi, berikut lampu meja. Kemudian lampu kristal di ruangan, juga meja makan dan mangkuk buah di atas meja itu. Di laman daring Trumphotels.com, kamar suite itu dibanderol dengan tarif 1.200-1.500 dollar AS per malam. Dengan kurs 1 dollar AS setara Rp 14.700, per malam kamar tersebut seharga Rp 17,6 juta hingga Rp 22 juta.
Seorang pengguna Instagram menulis komentar di salah satu foto: ”Gaji plus tunjangan 13 juta hidupnya mewah banget. Saya dulu dan suami gaji berdua 30 juta hidupnya biasa2 aja”. Pengguna Instagram yang lain menulis; ”Mending bergaya hidup sederhana tapi tdk memakai uang suap bergaya hidup mewah tapi uangnya dari uang suap kmn hati nurani nya buat rakyat kecil”.
Pinangki Sirna Malasari adalah mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, akhir September 2020, dia didakwa terlibat korupsi, permufakatan jahat, dan pencucian uang.
Jaksa mendakwa Pinangki menerima uang dari terpidana kasus pelimpahan hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko Tjandra, sebesar 500.000 dollar AS atau sekitar Rp 7 miliar. Uang itu merupakan consultant fee untuk mengurus fatwa dari Mahkamah Agung. Dari jumlah itu, 50.000 dollar AS diberikan kepada advokat Anita Dewi Kolopaking dan sisanya dikuasai Pinangki.
Pinangki didakwa menggunakan uang itu dengan maksud menyamarkan asal-usul harta kekayaannya, semisal menukarkan uang itu ke mata uang rupiah secara bertahap dengan nilai transaksi tidak melebihi Rp 500 juta agar tidak terendus Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Total yang ditukar 337.600 dollar AS atau sekitar Rp 4,75 miliar.
Dari uang itu, Pinangki membeli mobil BMW X5 warna biru Rp 1,75 miliar. Pembelian dilakukan secara tunai dalam beberapa tahap. Pinangki juga didakwa menggunakan uang itu untuk membayar kartu kredit. Selain itu, juga membayar dokter home care untuk suntik vitamin, membeli rapid test, hingga suntik botoks di muka dan leher.
Jaksa juga mendakwa Pinangki menggunakan uang itu untuk membayar dokter kecantikan di AS. Pembayaran dilakukan melalui rekening terdakwa kepada seorang dokter bernama Adam R Kohler Rp 419 juta. Di AS pula, Pinangki membayar sewa apartemen Trump International Rp 412 juta.
Selain itu, uang dari Joko Tjandra diduga digunakan untuk membayar sewa apartemen The Pakubuwono Signature untuk periode Februari 2020 hingga Februari 2021 sebesar 68.900 dollar AS secara tunai atau setara Rp 940 juta. Pinangki juga didakwa menggunakan uang itu untuk perpanjangan sewa apartemen Essence Darmawangsa 38.400 dollar AS atau Rp 525 juta untuk periode 17 April 2020 sampai 16 April 2021.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menilai, gaji per bulan Pinangki beserta sang suami tak akan dapat memenuhi hal-hal itu. Sementara mereka tidak memiliki sumber penghasilan lain pada periode 2019-2020.
Adapun total gaji, tunjangan kinerja, dan uang makan Pinangki per bulan Rp 18,9 juta. Adapun penghasilan sang suami yang seorang perwira menengah Polri pada kurun waktu 2019-2020 adalah Rp 11 juta.
Dalam sidang eksepsi, kuasa hukum Pinangki, Jefri Moses Kam, menyatakan, banyak hal yang dituangkan di surat dakwaan terhadap Pinangki yang tidak sesuai kenyataan.
”Walaupun tidak jelas mengenai bukti penerimaan uang 500.000 dollar AS, terdakwa tetap diperiksa mengenai tindak pidana pencucian uang. Anehnya, penyidik seakan-akan mencari kecocokan adanya uang itu dari kegiatan transaksi terdakwa, seakan-akan dipas-paskan dengan pengeluaran terdakwa sepanjang November 2019 sampai dengan Juli 2020,” katanya.
Menurut dia, tuduhan bahwa Pinangki menerima 500.000 dollar AS tidak didukung dengan bukti nyata. Bahkan, sampai saat ini pihak pemberi ataupun penerima masih tidak jelas. Terkait dengan dakwaan permufakatan jahat, tim kuasa hukum Pinangki menilai dakwaan tersebut dipaksakan.
Butuh atau ketamakan
Manajer Riset Transparency International Indonesia Wawan Heru Suyatmiko berpandangan, korupsi pada dasarnya digerakkan dua hal, yakni kebutuhan atau ketamakan. Terkait dengan dorongan kebutuhan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemberian remunerasi bagi aparatur sipil negara (ASN), seperti pemberian tunjangan kinerja.
Dengan hal itu, menurut Wawan, mestinya kebutuhan dasar ASN sudah terpenuhi atau tercukupi. Terlebih dalam kasus Pinangki yang mendapatkan gaji per bulan Rp 18,9 juta yang jauh di atas upah minimum regional. ”Maka, kedua adalah karena kerakusan atau ketamakan. Salah satu faktor penyebabnya adalah gaya hidup,” kata Wawan.
Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2019, kata Wawan, harta jaksa Pinangki Rp 6,8 miliar. Hal itu bisa jadi memang benar dan wajar mengingat perjalanan hidup Pinangki selama ini.
Namun, ketika hal itu dihubungkan dengan dakwaan terhadapnya bahwa dia berkali-kali pergi ke luar negeri, termasuk untuk perawatan kecantikan hingga membeli mobil mewah Rp 1,7 miliar, bisa jadi kebutuhan untuk gaya hidup lebih tinggi ketimbang pendapatannya.
Audit kekayaan
Menurut Wawan, semestinya pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) menjadikan LHKPN tak hanya sekadar syarat. Laporan tersebut perlu dikaitkan atau diaudit dengan laporan pajak yang bersangkutan.
Bagi ASN yang memiliki rekening besar, institusi tempatnya bekerja atau Kementerian PAN dan RB dengan menggandeng PPATK dapat menelusurinya dengan menggunakan metode pembuktian terbalik.
Wawan menekankan akan berbahaya jika gaya hidup atau keinginan jadi kaya itu sebagai motivasi menjadi penegak hukum. Menurut dia, institusi penegak hukum dapat mengeluarkan regulasi atau peraturan untuk melarang anggotanya bergaya hidup mewah dan hedonis. Namun, aturan atau regulasi tidak akan bergigi tanpa upaya penegakan aturan yang akuntabel dan transparan.
Terkait kasus Pinangki, lanjut Wawan, lembaga independen, seperti Komisi Kejaksaan, dapat mendalami sisi etisnya. Dengan demikian, perbaikan terhadap institusi kejaksaan tak hanya di jalur penegakan hukum, tetapi dibarengi perbaikan dan penegakan etika seorang jaksa.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak berpandangan, salah satu tugas Komisi Kejaksaan adalah memantau dan menilai perilaku jaksa, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dengan jumlah pegawai kejaksaan yang mencapai 24.000 orang, pengawasan dilakukan melalui regulasi, pengawasan melekat dari atasan, dan laporan masyarakat.
”Peraturan tidak kurang. Demikian pula pengawasan melekat dari atasan seharusnya berjalan. Semisal jika ASN pergi ke luar negeri, itu harus atas izin atasan,” kata Barita.
Secara normatif, kejaksaan telah mengeluarkan peraturan serta memberi pelatihan. Namun, cara yang paling efektif dalam mengawasi perilaku jaksa, termasuk gaya hidupnya, adalah pengawasan lewat atasan dan laporan masyarakat.
Menurut Barita, masyarakat dapat melaporkan ke Komisi Kejaksaan mengenai perilaku dan gaya hidup tak wajar atau mewah berdasarkan foto di media sosial. Komisi Kejaksaan juga telah beberapa kali melakukan penelusuran dan klarifikasi terhadap oknum jaksa berdasarkan foto di media sosial.
”Yang kita harapkan dari masyarakat adalah tumbuh keberanian untuk melaporkan karena yang mengetahui sehari-hari adalah masyarakat. Kami menjamin kerahasiaan pelapor,” ujar Barita.
Kasus Pinangki masih jauh dari usai. Banyak pertanyaan masih menanti jawaban. Namun, di sisi lain, kasus ini perlu jadi bahan pelajaran untuk perbaikan penegakan hukum. Semoga....