Pihak yang masih keberatan dengan isi RUU Cipta Kerja dipersilakan oleh Presiden untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Penolakan terhadap RUU itu masih terjadi.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS - Presiden Joko Widodo mempersilakan masyarakat yang keberatan dengan materi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang mengajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Presiden menegaskan, lahirnya undang-undang itu untuk kebaikan publik.
”Jika masih ada ketidakpuasan, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK, Mahkamah Konstitusi. Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Jadi, kalau masih ada yang tidak puas dan menolak, silakan diajukan uji materi ke MK,” kata Presiden saat memberikan keterangan secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/10/2020).
Ini merupakan pertama kali Presiden menyampaikan keterangan setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja disetujui untuk disahkan menjadi UU pada 5 Oktober, yang diiringi dengan unjuk rasa menolak RUU ini di sejumlah daerah. Hingga kemarin, aksi penolakan terhadap RUU ini masih terjadi di sejumlah daerah
Sebelum memberikan keterangan, Presiden memimpin rapat terbatas secara virtual membahas RUU Cipta Kerja yang diikuti semua menteri dan gubernur.
Dalam penjelasannya, Presiden menerangkan sejumlah tujuan dan manfaat dari RUU itu. Manfaat itu, antara lain, untuk mendorong reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi. RUU itu juga dimaksudkan menciptakan lapangan kerja yang kini merupakan kebutuhan mendesak, apalagi di tengah pandemi Covid-19.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah termasuk yang berencana mengajukan uji materi RUU Cipta Kerja ke MK.
”NU bersama pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke MK. Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibandingkan dengan mobilisasi massa,” ujar Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini.
Dari sejumlah materi di RUU Cipta Kerja, PBNU, antara lain, menyoroti sektor pendidikan yang semestinya tidak dikelola dengan motif komersial murni karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara.
Upaya menarik investasi juga harus disertai perlindungan terhadap hak-hak pekerja. ”NU bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan jangka waktu paling lama tiga tahun bagi pekerja PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu, Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri,” kata Helmy.
PBNU juga menyesalkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik. PBNU menilai, untuk mengatur bidang hidup yang sangat luas, bahkan melibatkan sekitar 76 UU yang dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kepentingan.
”Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk,” kata Helmy.
Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti menyatakan, pihaknya juga membuka peluang untuk menguji RUU Cipta Kerja ke MK. Namun, sebelum menempuh langkah itu, Muhammadiyah akan terlebih dulu mempelajari materi di dalamnya.
”Muhammadiyah masih akan mempelajari RUU Cipta Kerja setelah secara resmi diundangkan pemerintah. Judicial review dilakukan apabila terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan ada kerugian konstitusional akibat pelaksanaan suatu undang-undang,” katanya
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengklaim, substansi di RUU Cipta
Kerja sudah dibahas dengan optimal.
”Silakan saja jika ada yang merasa UU Cipta Kerja ini belum memenuhi harapannya, dapat mengajukan constitutional review (langkah konstitusional atas pengaturan hal tersebut),” ujarnya.
Penolakan berlanjut
Kemarin, aksi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja masih terjadi, misalnya di depan Gedung DPRD Sumatera Utara, Medan.
Penolakan juga disuarakan setidaknya 77 akademisi dan aktivis lintas universitas yang tergabung dalam komunitas ”Masker”. Mereka menuangkan penolakan dalam ”Manifesto Kewargaan Republik”.
Salah satu yang terlibat, dosen Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, mengatakan, pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan hantaman telak terhadap kedaulatan publik. Publik dinilainya tidak ditempatkan pada posisi paling utama
dalam kehidupan bernegara sesuai nilai-nilai konstitusi, UUD 1945.
Terkait unjuk rasa penolakan RUU yang berakhir ricuh di sejumlah daerah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan, 3.862 orang yang dianggap sebagai provokator aksi telah ditangkap. Mereka ditangkap di sejumlah daerah. ”Jika memang tidak terbukti melanggar hukum, kami pulangkan,” katanya.
Dalam unjuk rasa itu, menurut Argo, tak sedikit pengunjuk rasa yang terluka. Namun, ia membantah polisi telah bertindak berlebihan. Ia mengklaim, polisi sudah mengutamakan pendekatan persuasif.
Argo juga berjanji mengecek dugaan kekerasan yang dilakukan oknum polisi terhadap jurnalis yang meliput unjuk rasa pada Kamis lalu.
Mengenai dugaan kekerasan ini, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) meminta Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis mengusut dan menindak oknum polisi yang melakukannya. ”Tindak oknum yang merusak dan merampas alat kerja wartawan, termasuk penganiayaan dan intimidasi saat meliput, karena itu pelanggaran berat terhadap kemerdekaan pers,” kata Ketua Umum PWI Atal S Depari. (NTA/REK/EDN/DEA/NSA/AIK)