Mengapa Gerakan Mahasiswa Kembali Galak?
Dua kali unjuk rasa dalam jumlah besar selama setahun terakhir, membuktikan bahwa gerakan mahasiswa belum pudur. Mereka bersikap di saat kebijakan pemerintah kian menjauh dari harapan publik.
”Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya” — Soe Hok Gie
Dua kali unjuk rasa dalam jumlah besar selama setahun terakhir membuktikan bahwa gerakan mahasiswa belum pudur. Mereka mampu bersikap di saat kebijakan pemerintah kian menjauh dari harapan publik.
Dua gelombang unjuk rasa itu adalah protes terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada September 2019 dan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja baru-baru ini. Dua isu ini memicu gelombang unjuk rasa di daerah-daerah, termasuk di Ibu Kota.
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sekaligus mantan Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) kawasan Jabodetabek Erfan Kurniawan menjelaskan, revisi atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi di tahun 2019 menjadi titik didih keresahan mahasiswa. KPK yang menjadi lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi dilemahkan dengan revisi tersebut.
”Ditambah lagi, calon pimpinan KPK waktu itu, yang kini terpilih menjadi pimpinan KPK, merupakan sosok yang bermasalah. Korupsi merupakan isu populer di mahasiswa. Ketika ini diangkat menjadi isu bersama, banyak mahasiswa rela datang dari banyak daerah untuk ikut memperjuangkan masalah ini,” katanya ketika dihubungi Jumat (9/10/2020).
Berlokasi di Jakarta, UNJ menjadi salah satu tuan rumah dalam gelaran protes di Ibu Kota. Tak kurang 500 mahasiswa dari daerah-daerah ikut rapat besar di UNJ setelah aksi pertama 23 september 2019. Berbagai halangan dari aparat, seperti mempersulit pengurusan surat pemberitahuan aksi, justru membuat mahasiswa semakin bersemangat.
Baca juga : Mahasiswa: Kalau Tak Ikut Aksi, Bagaimana Nasib Kami Nanti
Tim pengumpul donasi dibentuk. Mereka yang tak bisa ikut aksi bisa menyisihkan sebagian dari uang jajan. ”Teman-teman di daerah juga begitu. Mereka menggunakan duit pribadi untuk ikut aksi, ada sebagian juga yang ongkosnya disubsidi dari anggaran BEM. Jadi semua didanai oleh peserta aksi,” ujarnya.
Konsolidasi antar-BEM yang menguat di tahun 2019 kembali menemukan momentumnya ketika RUU Cipta Kerja disetujui DPR untuk disahkan oleh pemerintah/presiden. Mereka menyimpulkan bahwa RUU sapu jagat ini menjadi isu strategis untuk diperjuangkan.
Berbagai halangan dari aparat, seperti mempersulit pengurusan surat pemberitahuan aksi, justru membuat mahasiswa semakin bersemangat.
Menurut Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, Dinno Ardiansyah, keterlibatan mahasiswa dalam dua unjuk rasa menunjukkan tumbuhnya generasi yang melek kondisi sosial-politik di Indonesia. Minimnya pelibatan publik dalam pembuatan dua RUU tersebut menjadi pemicu.
”Kami mendapat akses informasi yang memadai mengenai isu sosial politik yang sedang berkembang. Jadi, ketika ada hal-hal yang kurang sesuai dan tak sesuai dengan prosedur, kami terpantik dan mau berjuang bersama-sama,” jelasnya.
Di sisi lain, dia menambahkan, fungsi checks and balances di DPR tak berjalan optimal karena koalisi gemuk Presiden Joko Widodo. Pemerintah bisa seenaknya meloloskan peraturan tanpa mendapat hambatan berarti di kalangan wakil rakyat. Minimnya suara oposisi di parlemen, membuat mahasiswa kian meneguhkan posisi politiknya, yakni menjadi mitra kritis pemerintah.
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (PB HMI-MPO), Zuhad Aji Firmantoro menambahkan, protes terhadap revisi UU KPK dan RUU Cipta Kerja memiliki satu variabel yang sama, yaitu minimnya perlibatan publik. ”Suara publik seperti diabaikan dalam prosesnya,” ujarnya.
Baca juga : Gejolak UU Cipta Kerja di Sejumlah Daerah, Azyumardi: Ketidakpercayaan Meluas
Ketika kesimpulan ini sampai di kalangan mahasiswa, lanjutnya, informasi ini menjadi pertimbangan untuk bergerak. Jumlah yang terlibat menjadi berlipat ganda karena isunya tak hanya direspons oleh mahasiswa yang terikat dengan lembaga atau institusi tertentu saja. Mereka yang merasa kesimpulan ini sejalan dengan pendapatnya pun turun ke jalan.
Kami mendapat akses informasi yang memadai mengenai isu sosial politik yang sedang berkembang. Jadi, ketika ada hal-hal yang kurang sesuai dan tak sesuai dengan prosedur, kami terpantik dan mau berjuang bersama-sama.
”Ciri khas generasi sekarang adalah kita tidak lagi diikat erat oleh struktur atau figur tertentu. Kita dipimpin oleh ide dan gagasan. Ketika sebuah masalah dirasa cocok dengan ide kita, maka kita berangkat. Ini ada sisi positif dan negatifnya. Positifnya adalah mereka yang terlibat bisa sangat banyak, tetapi negatifnya akan menjadi tantangan ketika mengontrolnya di lapangan,” jelasnya.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor mengatakan, mahasiswa saat ini mempunyai penilaian dan pendapat sendiri atas sebuah masalah. Mereka yang berkesimpulan gerakan mahasiswa ditunggangi adalah pendapat dari orang putus asa.
Generasi milenial, lanjutnya, turut mengikuti perdebatan mengenai respons terhadap sebuah kebijakan. Mereka mendapat gambaran tentang apa yang menjadi aspirasi masyarakat dan apa pula dasar pemerintah membuat kebijakan tersebut.
Dari gambaran itu, mereka menentukan sikap. Dan sikap itu tergambar dari dua gelombang unjuk rasa dalam setahun terakhir. ”Mereka lebih cenderung mendukung aspirasi dari masyarakat,” kata Firman.
Aksi protes dari mahasiswa, katanya, juga bisa dimaknai sebagai bentuk pembangkangan publik. Ini terjadi karena pemerintah kian menjauh dari harapan masyarakat. Pemerintah bersikukuh dengan apa yang telah digariskan tanpa mau meninjau ulang dan mendengar pendapat publik.
Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa menjadi salah satu elemen penting dalam mengontrol kekuasaan. Mereka selalu turut ambil bagian dalam mendorong perubahan, termasuk pergantian rezim.
Aktivis Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran mengatakan, bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas dari segala arus masyarakat yang kacau. Namun, mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya, yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya apabila keadaan sudah mendesak.
”Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya,” kata Gie.